Peran Balai Lelang
Vivi Yip South East Asia Painting
Department Sotheby’s
Vivi menjelaskan, boom seni rupa terjadi sejak 1999 di
Indonesia. Ketika itu Indonesia mengalami krisis moneter, akhirnya orang
mencari alternatif investasi yang lain, maka diliriklah karya seni rupa. Namun,
menurut Vivi, fenomena ini makin meningkat sejak 2001/2003. Dan, yang paling
banyak terkena dampak yang fantastis ini adalah grup modern art.
Sementara seni kontemporer sendiri naik daun mulai tahun
2007. Dan hal ini dimulai dengan terjualnya karya Putu Sutawidjaja seharga
setengah miliar rupiah tadi. “Dia pelukis pertama yang mencapai harga itu,”
ujar pemilik Vivi Yip Art Room ini. Sejak itu, harga lukisan Indonesia
mengalami lonjakan tinggi.
Tak hanya I Nyoman Masriadi yang menikmati harga lukisan yang
melambung di Tanah Air. Vivi Yip, wanita yang bekerja di South East Asia
Painting Department Sotheby’s dan memimpin Acting Representative Office
Sotheby’s di Indonesia, mengungkapkan, karya Putu Sutawidjaja laku seharga Rp
500 juta dalam sebuah event yang diselenggarakan oleh Sotheby’s.
Sebagai gambaran, pada lelang musim gugur Christie’s akhir
tahun ini menampilkan karya-karya terbaiknya. Rencananya, karya-karya ini tidak
hanya ditampilkan di kawasan Asia, tetapi juga seluruh dunia, termasuk Abu
Dhabi, Bangkok, Beijing, Genewa, Jakarta, Moskow, New York, Seoul, Shanghai,
Singapura, Taipei dan Tokyo. Contohnya, I Nyoman Masriadi dengan karyanya
Soccer diperkirakan harganya berkisar US$ 44.900-64.100.
Lalu, Handiwirmawan Sahputra dengan karyanya Seri Kertas
Lipat II yang dihargai US$ 25.600-35.900. Sementara Hendra Gunawan (almarhum)
dengan karyanya Flower Vendors diperkirakan harganya US$ 25.600-35.900. Harga
tersebut terlihat bersaing ketat dengan produk lukisan asal Cina. Sebutlah, Xin
Haizhou dengan karyanya yang berjudul Raving Goldfish Meeting diperkirakan
berharga US$ 25.600-32.100. Lalu, bandingkan pula dengan Kuo Wei Guo dengan
karyanya yang berjudul Sofa’s Codeword yang bertengger di angka US$
20.500-30.800. Adapun Pan Dehai memiliki karya yang berjudul The Laborer No 15
bernilai Rp 38.500-51.300.
Vivi menjelaskan, saat ini di kancah bisnis lukisan
di Tanah Air, ada sebutan bagi sejumlah pelukis berharga mahal dari grup modern
art. Namanya, Grup Jendela. Mereka adalah I Nyoman Masriadi, Yunisar, Alfie,
Yusra, dan Agus Suwage. Mereka disebut sebagai Big Boys dengan a lot of zero
number. Artinya, karyanya berharga miliaran. Selain mereka, ada nama lain
seperti Rudi Manthovani, Handi Firman, Jumaldi Alfi, Rudi Kustarto, Heridono,
Budi Kustarto, dan Samsul Arifin.
Mereka umumnya pelukis jebolan perguruan tinggi
dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya. ”Hanya Agus Suwage yang alumni ITB,”
ujar Kuss Indarto, pengamat bisnis lukisan asal Yogya.
“Harga bisa tinggi, jika demand dan supply-nya
tidak seimbang, hukum ekonomilah. Tapi setahu saya, memang ada pihak yang
membuat agar demand dan supply-nya tidak seimbang. Istilahnya digoreng,
diciptakan,” ujar Vivi. Namun, harga karya seni yang tinggi karena proses
natural dengan yang prosesnya diciptakan sangat berbeda. Yang diciptakan, ia
yakin tak akan bertahan lama. Harga natural tercipta karena demand-nya banyak
dan harga memang terjadi di situ. Toh, “Seni akan selalu punya tempat. Seniman
yang baik selalu punya tempat di hati kolektornya. Kolektor yang benar akan
melihat kualitas, bukan hanya dilihat nilai uangnya,” papar Vivi.
Unggulan
Balai Lelang: Nyoman Masriadi, Lee Ufan, dan Zeng Fanzhi
Dewi Ria, Posted 18 September, 2013.
http://www.sarasvati.co.id/auction-market/09/penghargaan-asia-society-untuk-nyoman-masriadi-lee-ufan-dan-zeng-fanzhi/
Ketiga seniman ini tak hanya mewakili perkembangan karya dari negaranya,
namun juga memberikan gambaran penting tentang perjalanan perkembangan seni
rupa kontemporer di Asia.
Bukan tanpa maksud ketika Asia Society memberikan penghargaan khusus kepada
tiga seniman dari tiga negara berikut ini: China, Korea Selatan, dan Indonesia
dalam sebuah perhelatan yang berlangsung pada Mei 2013. Tiga negara ini dalam
satu dasawarsa ini, memperlihatkan perkembangan yang terus menanjak baik dalam
hal pencapaian estetika maupun dalam art market.
Zeng FANZHI’s, Hospital Series, 1994, oil on canvas, 179.1 x 199.4 cm
Di balai lelang-balai lelang internasional, harga karya seni dari tiga
negara ini, mencatat angka penjualan yang cukup signifikan. Namun di luar itu,
sebagai lembaga nirlaba, Asia Society tentu saja lebih menekankan pada
pandangan capaian kualitas artistik ketimbang art market, meski
salah satu ukuran pengakuan kualitas adalah nilai nominal karya tersebut.
Landasan pencapaian kualitas inilah yang melatarbelakangi Asia Society
untuk memilih Lee Ufan (Korea Selatan), Zeng Fanzhi (China) , dan Nyoman
Masriadi (Indonesia). Ketiganya merupakan seniman yang memiliki reputasi
internasional dan berhasil menjadikan karya-karya mereka sebagai bagian penting
perjalanan perkembangan seni rupa kontemporer di Asia.
Lee Ufan misalnya. Meski berasal dari Korea Selatan, ia justru tercatat
sebagai seniman yang menancapkan reputasinya di Jepang. Lahir di Korea Selatan
pada tahun 1936, ia pindah ke Jepang pada tahun 1956 dan kemudian mendapatkan
gelar sarjana filsafat dari Nihon University. Pada tahun 1960-an dan 1970-an,
ia terkenal sebagai praktisi gerakan avant garde Mono-ha, yang
muncul pertama kali di Jepang sebagai gerakan seni kontemporer pada akhir
1960-an. Gerakan ini mendasarkan diri pada aktivitas berkesenian yang
antiformal dan bereksperiman pada pengolahan materi.
Dikenal dengan julukan philosopher-artist, Lee Ufan telah
banyak berpameran di tingkat internasional sejak tahun 1967. Salah satu pameran
yang memperlihatkan perhatian Barat pada karya-karyanya adalah ketika Solomon
R. Guggenheim Museum mengadakan pameran retrospeksi lima dekade perjalanannya
sebagai seniman pada Juni 2011 dengan judul Lee Ufan: Marking Infinity.
Selain sebagai seniman, sejak tahun 1973, Lee Ufan mengajar di Tama Art
University di Tokyo.
Reputasi internasional juga dimiliki Zheng Fanzhi, yang harga karyanya
paling tinggi di antara pelukis China kontemporer lainnya. Bahkan berdasarkan
Contemporary Art Market 2011/2012 dari ArtPrice, karya Fanzhi
berada di posisi dua, tepat di bawahnya Jean-Michel Basquiat. Harga karyanya
bahkan mengungguli Christopher Wool dan Damien Hirst.
Meski belum memiliki kelas setinggi Lee Ufan dan Zeng Fanzhi, Nyoman
Masriadi juga termasuk seniman “berharga mahal” di Indonesia. Pada ajang Art
Stage Singapura 2013 Januari lalu, karyanya berada di posisi kedua setelah
karya Hiroshi Senju dari Jepang.
Di Contemporary Art Market 2011/2012 dari ArtPrice, Masriadi
berada di posisi nomor 95, turun dari posisi 82 yang diraihnya pada tahun 2011.
Dalam catatan penjualan karya tahun 2012 tersebut, Masriadi merupakan seniman
Indonesia kedua dalam 100 peringkat setelah Ay Tjoe Christine di posisi 90.
Karya Masriadi memiliki ciri khas yang kerap menggambarkan figur-figur superhumanyang
berakar pada sejarah budaya Indonesia. Dengan gaya witty dan
menyindir, Masriadi menyampaikan komentar sosial dengan meminjam bahasa ungkap
budaya pop. Pada tahun 2008, Singapore Art Museum menggelar pameran 10 tahun
kariernya sebagai perupa.
Dengan latar belakang seperti itu, wajar jika ketiganya terpilih oleh Asia
Society untuk mendapatkan penghargaan yang baru pertama ini dilakukan. Melissa
Chiu, Direktur Asia Society Museum di New York dan Vice President of the
Society’s Global Arts Programming ketika ditanya alasan pihaknya memilih
ketiganya, menyatakan bahwa masing-masing dari mereka merepresentasikan
lintasan dan praktik-praktik artistik yang berbeda.
Lee Ufan, From Line, Pigment suspended in glue on canvas, 18 x 20 inches
“Lee Ufan dinilai sebagai salah satu figur kunci dalam sejarah seni rupa di
Asia, dan dihormati atas tulisan dan karya seninya, terutama dengan gerakan
Mono-ha di Jepang pada tahun 1960-an. Zeng Fanzhi telah memainkan peran penting
dalam pembentukan ranah seni kontemporer di China, terutama saat negara ini
mendapatkan pengakuan internasional pada tahun 1990-an. Dan Masriadi, meski
karya-karyanya baru-baru ini saja mendapatkan perhatian internasional di luar
Indonesia, ia telah melukis selama dua puluh tahun dengan karya-karya yang
substansial,” ujar Melissa Chiu.
Penghargaan yang baru pertama kali ini dilakukan sempat memunculkan dugaan
bahwa yayasan ini baru memberikan pengakuan ketika pasar seni rupa dunia saat
ini tengah memutar arah ke Asia – terutama jika dikaitkan dengan perkembangan
ekonomi dunia. Apalagi pemberikan anugerah ini dalam bulan dan kota yang sama
dengan digelarnya Art Basel Hong Kong – art fair yang memang
bertujuan untuk kegiatan perdagangan – yang berlangsung pada 23-26 Mei.
Sementara acara anugerah dari Asia Society ini berlangsung pada 20 Mei di
kantor pusat Asia Society di Hong Kong.
Namun anggapan ini langsung disanggah oleh Melissa Chiu yang menyatakan
bahwa penghargaan ini bertepatan dengan keberadaan kantor baru Asia Society di
Hong Kong. “Asia Society sudah terlebih dahulu mengenali karya-karya seni
kontemporer Asia. Program pameran kami telah dimulai pada 1990-an – jauh
sebelum muncul banyak museum dan jauh sebelum ada sistem galeri di pasar seni
rupa. Dengan gedung pertama kami di Hong Kong, kami ingin melanjutkan usaha
perintisan ini dengan memberikan penghargaan kepada beberapa seniman yang telah
membuat kontribusi nyata di bidang ini,” kata Chiu sambil menambahkan bahwa
pihaknya merencanakan pemberian anugerah ini sebagai acara tahunan.
Berdekatannya acara Asia Society dengan Art Basel, menurut peraih gelar PhD
tentang seni kontemporer China dari University of Western Sydney ini, lebih
dikarenakan supaya para crowd seni rupa bisa datang ke Hong
Kong dalam waktu yang berdekatan.
Meski menampik bahwa acara gala penganugerahan ini tidak berkaitan dengan art
market, namun Asia Society menempatkan beberapa pemilik galeri dan kolektor
sebagai dewan kehormatan (honorary chairs). Mereka adalah Silas Chou –
pengusaha yang masuk 50 orang terkaya di Hong Kong, Deddy Kusuma – kolektor
dari Indonesia, Yoshiko Mori – Chairperson dari Mori Art Museum, Maggie Me-Hui
Tsai, Larry Gagosian – American Art Dealer, Li Lanfang, Hyun Sook Lee dari
Kukje Gallery, dan Jasdeep Sandhu dari Gajah Gallery SIngapura.
I Nyoman Masriadi, Pretending to be Prudent, 2010, acrylic on canvas, 200 x
300 cm
Terhadap hal ini, Chiu menilai bahwa keterlibatan kalangan “art market”
justru memperlihatkan sebuah pertumbuhan, dan hal ini merupakan bagian penting
dalam sebuah ekologi yang dewasa dan beragam yang sudah seharusnya melibatkan
organisasi seniman, museum, galeri, dan balai lelang. “Kekayaan dalamart
fair merefleksikan pertumbuhan art market secara
global. Saya tidak melihat hal ini sebagai perkembangan positif atau negatif.
Ketika dunia seni berekspansi dengan lebih banyak museum, galeri, dan art
fair, kita memiliki lebih banyak peluang untuk menikmati seni,” ujar
perempuan kelahiran Darwin, Australia ini.
Latar Belakang Tokoh I Nyoman Masriadi
Pengalaman hidup I Nyoman Masriadi mulai sejak menawarkan
produknya sendiri ke pasaran Bahkan, ia sempat pindah ke Bali dan memproduksi
lukisan potret penari legong untuk cenderamata dan dijual di Pasar Kintamani.
Tahun 1998, ia mencoba membuat lukisan serius, tapi tak satu pun pemilik galeri
di Bali yang mau menerimanya karena dianggap murahan. Akhir 1998, ia balik ke
Yogya dan tinggal di rumah kontrakan yang sederhana di kawasan Sonosewu,
Bantul. Kenangan yang tak terlupakan setelah balik ke Kota Gudeg itu, sebuah
karyanya terjual dengan harga Rp 1,5 juta oleh Siswanto, kolektor lukisan yang
juga bos Mirota.
Nama Nyoman mulai menanjak setelah ada pihak lain yang
mengajaknya kerja sama. Tahun 2000-2003, ia sempat bekerja sama dengan seorang
pedagang lukisan bernama Eddy Djoen. Setelah lepas dengan Eddy Djoen, ia
digandeng Edwin Gallery yang berakhir tahun 2006. Selama dua tahun terakhir,
Nyoman direngkuh Jasdip, pengelola Gajah Gallery dari Singapura yang ternyata
bekerja sama dengan seniman lain dari Yogya, Yunizar. Sejak itu, Nyoman
mengalami lompatan luar biasa. Namanya mulai berkibar di luar negeri. Jasdip
memang tidak tanggung-tanggung mempromosikan Nyoman Masriadi, baik dengan
melakukan pameran di berbagai negara maupun promosi lewat media luar negeri.
“Pak Jasdip benar-benar kerja keras untuk membesarkan saya,” ujarnya.
Main games jadi bagian dari keseharian I Nyoman Masriadi
belakangan ini. Maklum, pelukis asal Yogya ini sekarang menjadi OKB alias orang
kaya baru. Sejak harga lukisannya menembus angka Rp 10 miliar dalam sebuah
pameran tunggal di Singapura beberapa waktu lalu, namanya kian beken. Sayang,
lukisan itu bukan miliknya lagi, melainkan seorang kolektor yang menjualnya
kembali. Toh, dampaknya luar biasa. Setelah kejadian itu, ia berhasil menjual
lukisannya yang berjudul Aku Dapat seharga Rp 1,8 miliar kepada pebisnis asal
Semarang, Dedy Kusuma. Karena membuat lukisan tidak setiap hari, Nyoman punya
waktu banyak, di antaranya untuk main games. “Kadang, kalau sudah main games
bisa berlama-lama, hitungannya bukan jam, tapi hari. Ia bisa lupa dengan apa
saja,” kata Anna, sang istri, yang juga diamini pelukis berusia 35 tahun itu.
Kegiatan main games sebenarnya bukan tanpa alasan. Pria yang
baru saja membeli rumah bergaya kubisme seharga Rp 5 miliar di Kota Gudeg itu
mengungkapkan, saat ini makin banyak orang yang mencari karya lukisannya,
bahkan antre. Hal ini memacunya untuk selektif dalam berkarya. Ayah dari Bangsa
Ganisha (10 tahun) dan Pucuk Cemara (6 tahun) ini merasa perlu melakukan kontemplasi.
Kalau sedang tidak mood, ia tidak ingin memaksa diri untuk melukis. Pada saat
seperti itu, ia lebih suka bermain video games, sebuah fasilitas yang sudah
tersedia lengkap di rumahnya.
Berdasarkan pengamatan Kuss Indarto, Nyoman merupakan seniman
yang fenomenal. Ia melesat dalam tempo yang terbilang singkat. Dalam dua tahun
ini, harga lukisannya melesat bak meteor. Karya yang dinilai lebih dinamis dan
memiliki karakter ini banyak dinanti para kolektor, baik di dalam maupun luar
negeri. Yang jelas, karya-karya Nyoman berbeda dari karya seniman Bali pada
umumnya yang bergaya abstrak ekspresionisme. Akibatnya, ada yang menunggu
lukisannya hingga tiga tahun. “Nyoman memilih gaya kubisme, ia meninggalkan
pola yang selama ini dianut kawan-kawannya sesama seniman Bali,”
Pendapat Kus Indarto tentang
Balai Lelang
Menurut Kuss Indarto, saat ini dunia seni lukis dikuasai
pelukis-pelukis muda. Mereka dianggap lebih dinamis dan bisa memenuhi selera
para penikmat seni lukis. Munculnya sederet nama pelukis top tersebut, tidak
lepas dari peran pengelola galeri yang bekerja keras untuk bisa memasarkan
karya mereka. Dan agaknya, untuk menggapai sukses, bagi seorang pelukis,
bekerja sama dengan pengelola galeri, menjadi syarat wajib.
Berdasarkan pengamatan Kuss Indarto, pola kerja sama tersebut
biasanya berdasarkan bagi hasil. Berapa pun harga lukisan terjual, akan dibagi
dua antara pelukis dan pihak galeri. Besarnya persentase tergantung pada
kesepakatan di antara mereka. Yang lazim, persentasenya 50:50 atau 40:60 dari
harga jual riil lukisan. Sebagai gambaran, sebuah lukisan yang laku Rp 100
juta, dibagi dua Rp 50 juta untuk pelukis dan Rp 50 juta sisanya untuk
pengelola galeri. “Selama ini, kami sepakat untuk berbagi 50:50 dengan Pak
Jasdip,” kata Nyoman.
Berbicara tentang persentase, Vivi yang terhitung baru
mendirikan galeri ini memiliki komposisi bagi hasil galeri 40% dan 60% bagi
pelukisnya. “Bagi saya, yang terpenting saya suka dulu dan saya harus yakin
dengan perupanya,” ujar lulusan Desain Grafis Universitas Trisakti, Jakarta
ini. Pengalamannya selama 10 tahun di Sotheby’s banyak digunakan untuk
mengembangkan galerinya, seperti networking klien.
Menurut I Nyoman Masriadi, wajarlah pihak galeri mendapat
bagian sebesar itu, karena perannya memang sedemikian besar untuk membesarkan
seorang pelukis. Pihak galerilah yang mengeluarkan semua biaya untuk pameran
ataupun promosi lainnya, termasuk membayar kurator agar lukisan laku terjual.
Toh, Vivi berpendapat, hanya sedikit galeri yang mau
mempromosikan para pelukisnya. “Galeri itu bukan hanya wadah jualan
barang-barang seni, tapi juga harusnya mempromosikan karya yang disimpannya,
yang menjadi represent-nya,” ujar wanita yang pernah bekerja di bidang
kehumasan ini. Oleh karena itu, ia berpendapat rumah lelang di Indonesia –
terutama rumah lelang internasional – sangat membantu terkereknya harga karya
lukisan. Menurutnya, dari 10 galeri, hanya satu yang mau melakukan promosi,
selebihnya hanya tempat jualan ataupun transaksi.
Peran rumah lelang ini dikritik Kuss. Menurutnya, belakangan
ini sistem pemasaran lukisan di Indonesia rusak. Hal ini terjadi karena sudah
tidak mengikuti mekanisme pasar. Seharusnya karya lukis dijual lewat galeri,
tapi kenyataannya sekarang justru banyak rumah lelang yang memburu lukisan
langsung ke seniman secara door-to-door. “Sebenanrya ada aturan bahwa sebuah
karya lukis baru bisa dijual setelah lima tahun, tapi kenyataannya baru rampung
dilukis sudah ditunggu pembeli dari rumah lelang,” ujar Kuss.
Dari pengamatan Kuss, selama ini pelukis yang berkembang
pesat rata-rata merupakan pelukis yang menjalin kerja sama dengan galeri yang
punya koneksi di dalam dan luar negeri. Mereka antara lain, Budi Kustaro yang
dikontrak Sokka Art Spice Taiwan. Ada tiga seniman lagi, Putu Sutawidjaja, Eko
Nugroho dan Handi Firman yang dimanajemeni Willy Valentine Arts Space milik
Willy Valentine di Kuala Lumpur dan Singapura.
Adapun nama-nama galeri besar di Indonesia yang menjalin
kerja sama dengan galeri di luar negeri adalah Nadi Gallery (milik Biantoro),
Vannesa (milik Vannesa), Canna Gallery (Sutomo), Langgeng Gallery-Magelang,
Edwin Gallery, Mon Décor (Martha Gunawan), Linda (Linda Ma) yang banyak pameran
di Cina, dan ARK (Ronald Akili bekerja sama dengan Jansen Gunawan).
Fenomena di Indonesia ini tak bisa dihindari. Dalam pandangan
Kuss, di era sekarang, area perdagangan karya seni lukis tidak lagi mengenal
batas wilayah negara. Kini event-event pameran dan lelang karya pelukis asing
sering digelar di dalam negeri. Sementara itu, tidak sedikit pula seniman dalam
negeri yang mengadakan pameran ke luar negeri. Sehingga, terjadilah persaingan
bebas antara seniman, baik di dalam maupun luar negeri. Ini tentu menjadi
tantangan tersendiri bagi para seniman di dalam negeri, bukan hanya dalam upaya
meningkatkan kualitas karya seninya, melainkan juga profesionalitas dalam
manajemen penjualan. Apalagi, para kolektor kini bebas menentukan pilihan untuk
mengoleksi karya lukis yang dikehendaki. Mereka memilih karya dari kualitas,
bukan dari asal negara pelukisnya. “Sekarang ini, banyak kolektor dalam negeri
yang menyimpan karya pelukis asing,” ujar alumni ISI Yogya itu.
Gairah bisnis lukisan di Indonesia, seperti diungkapkan Kuss,
ternyata tidak lepas dari boom bisnis lukisan di Cina. Menurut Kuss, sejak
beberapa tahun terakhir, banyak orang kaya baru di Cina yang hobi menjadi
kolektor lukisan. Ini didorong kebijakan pemerintah yang mendirikan ribuan
museum seni di berbagai kota di Negeri Tirai Bambu itu.
Hal ini diamini Vivi. Ia melihat, karya kontemporer Indonesia
kecipratan dari Cina. Karena itulah, jika strukturnya tidak kuat, dikhawatirkan
pelukisnya yang akan menjadi korban. Apalagi jika para perupa itu tidak
dikelola oleh siapa pun dan tidak diwakili oleh galeri.
Walaupun pasar di luar negeri bergairah, di Indonesia sendiri
dianggap lahan yang cukup subur untuk pasar lukisan, karena memang banyak
kolektor top yang siap menampung karya lukisan terbaik. Kolektor yang cukup
dikenal antara lain Haryanto Adikoesoemo, Fransiscus Affandi, Rudy Akili,
Philip Augier, Fauzi Bowo, Ciputra, Tossin Himawan, Sutanto Joso, Eddy
Katimansyah, Cahyadi Kumala, Dedy Kusuma, Oei Hong Djien, Helmut & Henny
Paasch, Alexandra Prasetio, James Riady, Sunarjo Sampurna, Budi Setiadharma,
Poppy H. Setiawan, Ismail Sofyan, Inka Utan, dan Yusuf Wanandi. “Saat ini, Hong
Djien merupakan kolektor terbesar karena menyimpan tiga ribu lukisan di museum
pribadinya,” ujar Kuss. Membuat musem pribadi, tambahnya, menjadi tren beberapa
kolektor. Selain Oei Hong Djien, ada nama Rudy Akili, bos Smiling Tour, yang
juga memiliki museum pribadi.
Vivi menuturkan, karya Indonesia di Asia berada di posisi
keempat setelah Cina, Jepang dan Korea. Indonesia memiliki banyak talenta,
terutama dibanding negara di Asia Tenggara. Dijelaskan Vivi, Sotheby’s
membangun seni rupa kontemporer mulai dari Indonesia. Alasannya, perupa
Indonesia secara kualitas sudah jadi. Galeri-galeri di Indonesia dinilai aktif
dibanding negara tetangga lainnya. Ketika Sotheby’s mencoba section karya
kontemporer, Vivi yang kala itu bertanggung jawab atas proyek tersebut, tidak
kesulitan mencari perupa-perupa yang akan mendukung hajat Sotheby’s. Ketika itu
ia memulai dengan 15 perupa asal Indonesia seperti Nasirun, Agus Suwage, Rudi
Manthovani dan Yunisar. “Kami melihat waktu itu, suplai karya seni rupa masih
kurang. Dalam arti jika melihat karya Sudjojono, Affandi, Hendra dan nama besar
lain, terbatas karyanya dan sudah tiada. Sedangkan kolektor makin banyak, tapi
karyanya terbatas,” tutur Vivi.
Pendapat Taufik Razen
Fenomena lukisan booming di Indonesia tak luput
dari pengamatan Taufik Razen, pengamat perkembangan seni rupa di Indonesia
sekaligus kurator dan budayawan. “Sekarang, tiba-tiba seni atau industri
kreatif dijadikan ukuran dalam masyarakat yang sangat masif ini,” ungkap
Taufik. Hal ini terjadi karena ia melihat karya seni rupa bisa menjembatani dua
hal, diakui banyak orang (artinya orang tahu atau menyaksikan harga suatu karya
seni mahal) dan menjadi simbol nilai pertukaran kekayaan. Taufik mengatakan,
mereka yang overlikuiditas meletakkan kekayaannya di seni rupa. Pasalnya, seni
rupa bendanya ada, seninya bisa dilihat, bisa bertahan lama dan bisa dijadikan
spekulasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar