Diramu oleh Nasbahry Couto
1.Distribusi Pekerjaan Seni
2. Galeries sebagai Kritikus dan Kurator Seni
Menurut Usha Nathan, karir Marjorie telah mencakup lebih dari tiga dekade lamanya, Marjorie adalah veteran di bidang seni visual dan industri seni rupa Singapura. Menueut pendapatnya Apakah bahwa industri itu sendiri belum membuat langkah besar dalam periode ini, dia menjelaskan bahwa seni itu adalah industri diam, dan sulit untuk mengatur parameter untuk mengukur keberhasilannya.
3. Beberapa Gaya dan Konsep Seni Kontemporer Asia Tenggara Menurut Marjorie Chu
1.Distribusi Pekerjaan Seni
Seniman menurut Becker[1] perlu cara untuk mendapatkan dukungan publik dan menghasilkan uang untuk menghidupi dirinya sendiri. Misalnya karya seni rupa yang dikembangkan itu dapat memiliki sistem distribusi yang terikat kepada sistem ekonomi yang lebih besar. Distribusi itu, sering melibatkan perantara khusus (misalnya dealer dalam seni lukis). Sampai batas tertentu, sistem distribusi seni tercipta karena seniman dapat membatasi apa yang mereka buat adalah khusus untuk yang dapat dijual, tetapi sistem dapat mengakomodasi beberapa perubahan, seniman dapat pergi ke luar dari sistem itu, dan sistem distribusi beberapa jenis seni mungkin ada dalam dunia seni secara bersamaan.
Distribusi memiliki efek yang kuat pada reputasi seniman. Dalam dunia seni, seniman dapat mendukung diri dan kehidupannya dari pada hasil seni, tetapi beberapa diantaranya harus mendukung diri dengan pekerjaan sehari-hari yang lain dari pekerjkaan seni, mungkin atau tidak mungkin dihubungkan ke keterampilan seni mereka.Patron/pola menurut Becker merupakan salah satu modus distribusi. Hubungan seniman dengan pemerintah mungkin dapat menjadi sebuah patron. Pemerintah mungkin menjadi pelindung seni, biasanya mendukung alur kerja seniman, seniman dengan sponsor bekerja untuk sponsor.
Namun demikian di masyarakat umum atau publik, kelompok seniman atau seniman bisa jadi semata tergantung dari kekuatan pasar, untuk mendapatkan orang untuk membeli apa yang mereka suka, atau seniman memiliki hubungan dengan memiliki distributor (dengan seni yang dapat didistribusikan), meskipun beberapa seniman menemukan saluran alternatif.
Berbeda dari galeri kecil yang hanya mendistribusikan karya satu seniman, untuk lembaga budaya seperti industri film dsb. Distributor bisa bekerja mendidik masyarakat, membentuk selera mereka (menciptakan selera baru), dapat berinvestasi "dengan bijaksana," mendasarkan pengarahan kritikus dan seniman-seniman.
Dealer membutuhkan kolektor. Agen Galeri umumnya terkait dengan museum. Dalam seni pertunjukan, memiliki impresario dimana disiapkan uang terlebih dahulu untuk sebuah pertunjukan, mereka perlu menjual tiket mencarai dana dsb. Budaya industri berurusan dengan masyarakat yang rasanya mereka tidak bisa benar-benar tahu-sampai batas tertentu apa yang diperoleh seniman atau masyarakat. 2. Galeries sebagai Kritikus dan Kurator Seni
Sesuai dengan pendapat Becker di atas, menurut Usha Nathan,[2] seni bisa saja dilihat berdasarkan visi/pandangan pemilik gallerists, seorang fasilitator (kurator), penulis, dan melalui usaha orang yang berada di balik tirai yang mengatur visi itu. Seni tidak hanya menurut pandangan ahli seni atau museum seni, tetapi juga bisa menurut banyak anggota-anggota masyarakat, dimana dia dapat menawarkan perspektif yang segar dan isu-isu tertentu dalam menilai seni itu dan mengangkatnya ke permukaan berdasarkan pengalaman pribadi mereka.
Usha Nathan mencontohkan misalnya Marjorie Chu dari Singapura tidak asing dari dunia seni, dia dikenal sebagai kolektor seni dan pemilik galeri yang telah menulis buku "Memahami Seni Kontemporer Asia Tenggara" (Understanding Contemporary Southeast Asian Art) yang diterbitkan di Singapore, tahun 2003. Dalam buku itu dia mendokumentasikan ruang lingkup dan makna koleksi seninya.
Dia mengepalai Asosiasi Galeri Seni dan menurut Nathan, merupakan salah satu direksi yang fair dari ART Singapore. Dia juga pengajar pada Friends of Museum, sebuah organisasi non-profit yang menyokong secara sukarela kepada Museum Dewan Warisan Nasional (National Heritage board), menurut Nathan, Marjorie adalah orang yang berpengalaman sebagai gallerist, seniman, penulis dan pemikir.
Menurut Nathan seni bukanlah pilihan yang tiba-tiba dari Marjorie. Sebagai orang yang selalu terpesona oleh seni, ia selalu menghadiri pameran, mengunjungi galeri, dan museum dan berbicara kepada seniman. Membuka galeri adalah hal yang muncul secara alamiah ketika ia memutuskan meninggalkan profesinya dan hanya bekerja dekat dengan rumahnya, dia menganggap kualifikasi akademik akhirnya hanya sebuah alat saja, menjadi akuntan atau insinyur tidak masalah bagi Marjorie dan dia menggunakan sifat-sifat sebagai seorang akuntan sebagai fasilitator dan menyatu dalam profesinya sebagai galleris dan dalam kehidupan sehari-hari.
Galerinya, Art Forum memiliki sejarah lebih dari 35 tahun, dengan koleksi eklektik (campuran) diantara lain seni lukis, keramik, patung, hasil print dan foto. Hal ini sangat bermanfaat sebagai galeri tertua di Singapura. Marjorie Art Forum sebagai ruang bagi para seniman muda yang potensial. Galeri Art Forum sangat terkenal, mapan, dan memiliki reputasi sebagai media untuk menyalurkan bakat seniman muda.
Pada galerinya, Art Forum sesuai dengan pandangan Marjorie bahwa "kita tidak boleh dibatasi oleh waktu dan ruang" terpaksa mengumpulkan seni Asia Tenggara pada awal" tahun 1970-an, yang tidak membatasi hanya koleksi seni yang diproduksi di Singapura. Sudut pandangnya yang lebih luas telah membantu kembali mengamati berbagai kesejajaran dalam perkembangan seni rupa kontemporer di seluruh wilayah Asia Tenggara. Menurut Marjorie, ada kecenderungan analog yang signifikan dalam bahasa seni Asia Tenggara. Hal ini logis karena Singapura dan kawasan Asia Tenggara telah memiliki hubungan sejarah melalui perdagangan dan perdagangan selama 2000 tahun lamanya.
Menurut Usha Nathan, karir Marjorie telah mencakup lebih dari tiga dekade lamanya, Marjorie adalah veteran di bidang seni visual dan industri seni rupa Singapura. Menueut pendapatnya Apakah bahwa industri itu sendiri belum membuat langkah besar dalam periode ini, dia menjelaskan bahwa seni itu adalah industri diam, dan sulit untuk mengatur parameter untuk mengukur keberhasilannya.
Namun dia percaya bahwa dalam industri diam itu selalu ada penonton yang datang secara bertahap, namun industri ini tidak bisa dibangun setengah hati sebab dia berada pada “dalam waktu yang berarti” Dia menambahkan, "Orang-orang harus siap untuk menerima seni, seperti engsel pada agama dengan iman tertentu, " Galerinya seperti galeri lainnya, adalah terbuka untuk umum untuk datang dan mengambil bagian dari pengalaman seni. Visinya luas untuk seni terlihat di balik semua upaya ke arah yang mempromosikan dan mendukung seni.
3. Beberapa Gaya dan Konsep Seni Kontemporer Asia Tenggara Menurut Marjorie Chu
Menurut Marjorie Chu, ada beberapa kecendrungan seni kontemporer Asia Tenggara, beberapa diantaranya adalah tentang fokus perhatian seniman yang kembali ke elemen-elemen dasar seni visual yang dipakai sebagai medium pengungkapan pengalaman batin seniman, hal ini menjadi perhatian dari Marjorie Chu berikut ini.3)
1/Irama
(rhythm) dalam
Lukisan
|
|||
Gaya dan Konsep Seni menurut Marjorie Chu
|
Seniman dan Spesifikasi Karya Seninya
|
Contoh Karya Lukisan
|
|
Yunizar menggunakan garis sensitif untuk membangun
keheningan desanya.
|
Yunizar (Indonesia,
b. 1971)
Untitled, 2003
acrylic and pencil on canvas, 200 x 250 cm
|
||
Jeremy Sharma adalah seniman muda dan ia memakai semir sepatu hitam pada kertas untuk membuat seni abstrak dan sapuan kuas dengan intensitas yang berbeda. |
Jeremy
Sharma (Singapore)
Heroes and Metaphors Do Not Exist, 2003 shoe polish on paper, 158 x 180 cm |
|
|
Rudi Mantovani menangkap irama atap. Ini juga merupakan subjek favorit yang banyak dinikmati seniman terhadap susunan genteng tanah liat yang terjemur dari buatan tangan. |
Rudi Mantofani (Indonesia, b. 1973) Rumah-Rumah Coklat, 2005 |
||
Lukisan Tran Van Thao adalah tekstual dan kedap air, tidak ada gerakan dalam pekerjaan. Marjori mengunjunginya di kota Ho Chi Minh dan diamelihat bahwa ia melukis pintu rumahnya dengan cara yang sama, tanpa irama. Tran VanThao (Vietnam, b. 1961) Black and White 2, 1998 mixed media on canvas, 150 x 200 cm |
Tran Van Thao (Vietnam, b. 1961)
Black and White I, 1999
mixed media on canvas 110 x 85 cm
Tran VanThao (Vietnam, b. 1961) Black and White 2, 1998 mixed media on canvas, 150 x 200 cm |
|
|
Ang Yian San melukis dengan
tinta dan kuas untuk menciptakan latar belakang dua panil dan ia menerapkan sapuan warna
atas hitam dan putih. Tekstur dan irama menjadi lebih kaya dan lebih
kompleks.
|
Ang Yian San (Singapore, b. 1964)
Sliding, 1998 mixed media on rice paper , 180 x 130 cm |
|
|
2 / Kebeningan Sebuah
Lukisan
|
|||
Yusra Martunus memakai warna terang dan berbagai sentuhan
untuk menciptakan bentuk organik
|
Yusra Martunus (Indonesia, b. 1973)
05207 (Landscape Series), 2005 acrylic on canvas, 120 x 120 cm |
|
|
3/ Teknik Tinggi yang dipakai oleh
beberapa Seniman Kontemporer
Asia Tenggara
|
|||
Le Pho adalah seniman yang paling dicari di Vietnam dan itu tak heran bila karyanya
indah dipandang mata. Gayanya lembut dan dengan detail yang cukup untuk
memberikan ide tentang waktu, ruang dan perasaan.
|
Le Pho (Vietnam, 1907-2001)
Motherhood, c. 1938 gouache and ink on silk, laid down on paper, 72 x 52 cm |
|
|
Anwar Zakii Anwar adalah master dalam hal ilusi dan
suasana dan ia menggoda kolektor nya dengan lukisan yang menggambarkan suasana hatinya.
|
|
[1] Buku karangan Howard S., Becker (Worlds Art, 1982 ), lihat dalam buku Pengantar Sosiologi Seni, karangan Nasbahry dan Indrayuda.2013, Penerbit: UNP Press, Padang.
[2] Lih. http://www.sagg.com.sg/page/index.php?option=com_content&task=view&id=726
[3] http://www.artforum.com.sg/owner_profile/lectures/style_and_concept/style05.html
Biografi: Marjorie Chu
Marjorie Chu was born in Shanghai, China in 1940 and is now a Singapore citizen. She has been an art dealer and gallery owner since 1971.
Marjorie has organised field trips with artists to Ubud, Bali; Outback Australia (camping); Yunnan, China; the desert towns of Rajasthan, India; Glenlivet, Scotland; Xinjiang, China; and Umbria, Italy.
Marjorie is a Founder Member of the Art Galleries Association of Singapore; Lecturer to Friends of the Museum, Singapore; and External Lecturer at Temasek Polytechnic, Singapore. She established the National Museum Shops, Singapore.
Marjorie was the Fair Organiser of ARTSingapore 2002 & 2004, and was also one of the Fair Directors of ARTSingapore in 2005, 2006, 2007 and 2008.
Biografi: Marjorie Chu
Marjorie Chu was born in Shanghai, China in 1940 and is now a Singapore citizen. She has been an art dealer and gallery owner since 1971.
Marjorie has organised field trips with artists to Ubud, Bali; Outback Australia (camping); Yunnan, China; the desert towns of Rajasthan, India; Glenlivet, Scotland; Xinjiang, China; and Umbria, Italy.
Marjorie is a Founder Member of the Art Galleries Association of Singapore; Lecturer to Friends of the Museum, Singapore; and External Lecturer at Temasek Polytechnic, Singapore. She established the National Museum Shops, Singapore.
Marjorie was the Fair Organiser of ARTSingapore 2002 & 2004, and was also one of the Fair Directors of ARTSingapore in 2005, 2006, 2007 and 2008.
In
2005, she was President of the Art Galleries Association, Singapore. From
2005-2007 she was President of the Southeast Asian Ceramic Society(Singapore).