Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Selasa, 10 November 2015

Seni Rupa Lokal di Indonesia: Jalan di Tempat atau Progresif ? (bagian 1)


Oleh: Nasbahri Couto

Tulisan ini terdiri dari tiga bagian dimana tiap bagiannya bisa berasal dari penulis yang berbeda beda. dua bagian pertama ini penulisnya adalah Nasbahry Couto., sedangkan pada bagian ketiga penulisnya adalah Oleh: Andibachtiar Yusuf



Seni Komersial: Toko Seni lukis di Mall Ciputra Kuningan Jakarta (2015)
Seniman lokal adalah sinonim dari seniman di daerah tertentu di Indonesia. Jadi ada seni lokal dan vernacular dan ada pusat pemikiran seni (mainstream). Penamaan ini sebenarnya relatif, sebab seniman di daerah tertentu bisa juga menjadi seniman di pusat-pusat seni seperti Jakarta (pusat). Pada suatu even seni tertentu, daerah juga bisa menjadi pusat kegiatan seni. Jadi ada regangan atau tarik ulur, yang menyebabkan istilah ini dipakai, dan tekanannya kepada arus besar pemikiran seni (mainstream). Istilah-istilah seni nasional, seni kontemporer, seni modern dan posmo, adalah contoh arus besar pemikiran seni. Dan Galeri Nasional dianggap sebagai barometer pusat seni.  
Jadi bagaimana ciri-ciri seni lokal itu? apakah dia tidak nasional, modern, dan kontemporer? Jawabnya bisa ya atau tidak. Tergantung kita menafsirkannya. Namun ada pemain-pemain yang berperan dalam menentukan seni itu bisa menjadi pusat perhatian pemikiran, misalnya oleh peran institusi seni (lembaga), Taman Budaya, Sekolah Seni (PT Seni), atau nonlembaga seperti kurator, pasar seni, kolektor,, arts shop dan sebagainya. Dimana mereka berperan sebagai penentu dan memiliki sistem nilai sendiri di Indonesia. Hal ini dari sudut pandang sosiologi bisa terjadi secara alamiah dan bisa juga oleh berbagai faktor seperti hegemoni pemikiran dan informasi media dan nonpemikiran seperti gejala pasar (market) dan atau uang. Untuk menjelaskan seni lokal ini penulis tentu tidak mampu sendiri dan terpaksa menghimpun berbagai pemikiran yang telah dikembangkan oleh para pakar seni.

Kestatisan dan Keprogresifan
Seperti yang sudah saya kemukakan pada tulisan terdahulu, ada dua kepentingan dalam dunia seni, yaitu maksud seni untuk seni (fine art) dan maksud seni untuk seni komersial (visual arts), keduanya bisa bertentangan atau bisa rancu, sebab kedua-dua tujuan ini bisa terpisah, dan saling tumpang-tindih. (lihat artikel ini) dan perlu pemisahan jika ingin melihat infrastruktur seni.


Fine arts adalah seni untuk tujuan kreatif yang di landasi oleh intelektualisme, imajinasi pribadi dan estetik, sedangkan visual art, adalah ekspansi FA ke wilayah sosial yang disebut dengan seni visual yang muncul dalam berbagai wajah, diantaranya sebagai seni komersial. Dua wajah ini kadang hanya dibedakan dalam maksud (goal), misalnya jika seniman ingin bertanding dalam hal prestasi seni dia harus bertindak sebagai pelaku fine arts misalnya seniman profesional dan akademis, yang dilandasi oleh kemajuan pemikiran seni, imajinasi pribadi dan pembuktian nilai estetik yang tinggi. Tetapi seorang pelukis bisa berperan sebagai seniman profesi tertentu. Misalnya sebagai illustrator majalah, maka dia masuk ke wilayah seni visual yang tujuannya komersial. Atau lebih jauh lagi sebagai pelukis di art shop. Pada hal yang dikerjakan sama. Fine arts tidak bisa diterjemahkan seni murni (walaupun sering diperlakukan demikian), tetapi seni yang ideal karena berasal intelek pribadi, bukan dari  kehendak orang lain atau pesanan seperti komersial.
Seni rupa sebagai medium bukanlah fine art, tetapi dapat menjadi fine art maupun visual arts yang dibedakan hanya oleh maksud, misalnya dari pelukis ke ilustrator majalah. Bagan ini setidaknya membantu untuk menjelaskan terminologi seni yang dipakai selama ini, yang mengalami friksi dan diskrepansi.

Seni rupa adalah terminologi tradisi  akademik untuk menyatakan kegiatan fine arts maupun visual arts melalui media lukisan, patung keramik dan grafis. Pada gerakan seni rupa baru, ruang lingkup dan batasan seni rupa di luaskan, sampai akhirnya di Indonesia, disebut sebagai seni kontemporer atau posmo. Perluasan itu terlihat dari pemakaian berbagai media, dan tidak lagi sebatas media yang dipakai oleh seni rupa selama ini. Dan hal itu menurut Jim Supangkat (2002), telah dimulai sejak era Seni Rupa Baru tahun 1975.

Untuk menetapkan keberhasilan seorang seniman tidak lepas dari peran berbagai pihak. Pertama tentu partisipan seni, yang formal seperti penikmat seni, kurator, atau interpretator yang berasal dari akademi atau sekolah seni. Yang kedua partisipan independen seperti seniman otodidak, kolektor, pasar (market) baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Tegangan dan regangan kepentingan kedua kutub inilah yang mewarnai seni di Indonesia (lihat tulisan-tulisan kurator yang ada seperti tulisan Jim Supangkat, Kus Indarto, M.Dwi Marianto dan sebagainya. Atau kolektor yang rajin menulis seperti Syakieb Sungkar dan sebagainya) dan hal ini juga dapat ditelusuri gelaja yang terjadi sejak satu dekade kebelakang (lihat di sini).

Dalam mencermati seni rupa lokal di Indonesia seperti di Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Nusatenggara Timur dan sebagainya ada dua isu (pemikiran) yang sering diungkapkan yaitu “jalan di tempat” dan “maju (progresif)”. Misalnya tulisan Kus Indarto (2011 )[1] tentang "Pameran Perupa Borneo yang Kurang “Exotico” di situs Indonesia Art News, yang menyoroti masalah yang sudah klasik pada setiap pameran yang berlangsung yaitu: (1) kurang tepatnya seleksi karya terpilih (2) Event organizer/ EO jika diperlukan yang akan mengatur proses pameran sejak awal, (3) kuratorial yang akan menentukan progres karya yang akan dipamerkan, (4) pendanaan untuk membiayai pameran, dan (5) terakhir penyusunan katalog dan sebagainya seperti masalah akomodasi, penginapan dan transportasi. 

Masalah seperti ini dapat menjadi presenden bagi pameran-pameran sejenis, pemicu masalah ini timbul diantaranya karena sulit untuk menyatukan pendapat (pemikiran) kelompok-kelompok seniman di propinsi yang sama, dan menilai mana pameran seni yang “jalan di tempat” atau “progres”, seperti istilah Kus Indarto itu. Tulisan ini adalah rangkaian pemikiran tentang perkembangan seni di beberapa daerah masa kini yang seyogyanya mengandung aspek-aspek historis dan juga filosofisnya.

Tentang “kestatisan” pada seni rupa lokal,  bisa ditafsirkan seni yang hanya mengulangi apa yang telah di kreasikan pada masa lampau. Imaji-imaji yang di tampilkan dalam seni seperti ini merupakan pengulangan, reproduksi, copian dan atau pikiran-pikiran seni yang sudah ada --istilah yang umum adalah tidak “progress walaupun karya seni ini sangat artistik sekalipun. Dan hal ini bisa berlanjut beberapa dekade pada seni lokal. Saya kurang setuju dengan istilah tidak kreatif Kus Indarto (2011)  karena  pekerjaan seni progres atau tidak umumnya kreatif juga, dan atau tidak bisa di dakwa tidak kreatif. Misalnya seniman yang bergelut dengan dekorasi umumnya adalah pengulangan-pengulangan juga dan seniman jenis ini tidak bisa di klaim tidak kreatif dan tentu memiliki sistem penilaian sendiri dalam menilai kemajuan dan kebaruannya.

Mengenai kestatisan dan keprogresifan seni ini lihat tulisan Michelle Chin (2004) sebagai berikut ini.

"Bali sepertinya penuh dengan galeri-galeri seni rupa, lokasi yang dipilih pun utamanya di daerah wisatawan; Ubud, Kuta, Sanur dan Jimbaran, serta beberapa galeri lain yang berlokasi di kota Denpasar. Bagaimanapun juga, dari banyaknya "galeri-galeri seni rupa" lebih sering dianggap seperti "art shops" yang mana sejak era 1970-an dan era 1980-an hanya untuk memenuhi penjualan karya dan souvenir kepada wisatawan asing. Galeri-galeri dan "art shops" di Bali itu kebanyakan muncul dalam tahun tujuh puluhan dan delapan puluhanan yang orientasinya banyak memenuhi permintaan pasar lukisan tradisional dan neo-traditional. Beberapa ada yang tertarik dengan karya seni rupa kontemporer, tetapi mereka lebih memberi prioritas pada lukisan yang menggambarkan tema-tema tradisional kehidupan desa orang-orang Bali, tarian, upacara pembakaran mayat (ngaben), atau keindahan sawah".(michellechin.net, 2004).

Ketut Sana, dalam sanggarnya di Bali (2015)

Jadi “Seni yang jalan di tempat” selanjutnya bisa ditafsirkan sebagai seni komersial, sebab maksudnya tidak dikaitkan dengan berbagai motivasi dan masalah lain selain agar seni itu laku di pasarkan. Misalnya Ketut Sana di Bali berkarya di sanggarnya adalah untuk tujuan komersial. Seni semacam ini bisa saja mengulangi bentuk-bentuk kreasi seni yang telah ada sebelumnya, tidak ada masalah. Kita dapat berpendapat bahwa karya-karya Ketut Sana (2015), yang guru SMK itu dan memiliki sanggar sendiri di Bali, bukanlah menggambarkan atau mewakili perkembangan seni Bali pada masa kini. Yang disinyalir  murni mengikuti seni rupa kontemporer di Bali hanyalah beberapa galery seperti Darga Gallery di Sanur dan Komaneka Gallery di Ubud, dan sebagainya. 

Jadi jika Ketut Sana ikut pameran dan akan mewakili perkembangan seni Bali masa kini dia harus memilih dan mengkreasi karya-karya yang dapat “menyambung” kepada – yang dianggapnya—mewakili perkembangan seni Bali masa kini (kontemporer) dan keluar dari wilayah seni komersial yang digelutinya selama ini. Sebagaimana seni komersial yang lain, masalah estetik mungkin salah satu hal yang penting, agar karya itu dapat menarik konsumen seni.



Balinese Girl (2015), karya Ketut Sana, Pensil warna di atas Kertas












Mengangkat Potensi Seni dan Budaya Lokal

Seperti yang digembar-gemborkan dalam industri kreatif adalah mengangkat potensi seni budaya daerah, Tetapi nampaknya masalahnya tidak sederhana. Perlu pemikiran dan keahlian bagaimana mengangkat potensi itu, dan masuk ke kawasan pemikiran seni moderen. Hal ini disebabkan, masalah maju atau tidak progresif bukan soal indah atau tidak indah, artistik atau tidak. 

Jadi apa yang menjadi ukuran kemajuan sebuah kreasi seni, atau katakanlah sebuah kreasi seni yang muncul dan berangkat dari kultur dan lokus masing-masing daerah di Indonesia? Jawaban tentang masalah ini tentunya tidak sederhana, dan hal ini juga sangat tergantung dari kemampuan panitia penyelenggara pameran, kurator seni, dan kritikus seni untuk menafsirkan karya seni yang dipamerkan ini mewakili progres seni yang diminta atau hanya bisa jatuh dan mencitrakan seni komersial.  Artinya jika tidak hati-hati, apalagi jika kuratorial seninya tidak matang, maka sebuah pameran sepertinya akan nampak sebagai toko seni atau galery seni, dan atau pasar seni yang menjual berbagai pernik-pernik kepentingan wisatawan untuk memperoleh barang souvenir, yang menjadi kenangannya dalam berwisata.


Sterotipe seni lukis komersial Bali masa kini, karya Ketut Sana: konsumsi Wisatawan. Hanya pengulangan imaji seni masa lampau


Ketut Sana, "Breakfast" 2015, Gambaran sosial Bali masa kini, masih dalam konteks representasi sosial, nilainya lebih baik sebab merupakan dokumen gambaran sosial, yang mungkin tidak terulang lagi (terlihat) pada masa yang akan datang

“Seni yang jalan di tempat” juga bisa ditafsirkan sebagai seni yang tidak menyambung kepada perkembangan seni yang ada di daerahnya sendiri (perkembangan seni lokal) dan perkembangan  seni Indonesia, bahkan seperti yang sering dikemukakan oleh kurator Jim Supangkat “yang dapat menyambung kepada pemikiran-pemikiran konstelasi seni internasional”.



Karya Nyoman Erawan dari Komaneka Fine Art Gallery,"Archetype Re-reading" (2013).https://wasabiwhatsupbali.wordpress.com

Untuk memahami perkembangan seni lokal tentu perlu diskursus dan kalkulasi antar kelompok seni yang ada di daerah, sampai dimana, tokoh mana saja yang sudah dapat pengakuan seni dalam event seni tertentu, jadi dibutuhkan data dan mengkalkulasi kelemahan dan peluang untuk maju berpameran. 

Peran dan Mutu Kurator Seni Melemah

Menurut Jim Supangkat (2015), tradisi atas hubungan kurasi dengan sebuah pameran, bukan tradisi asli Indonesia, sehingga hubungan ini nampaknya bukan tidak jarang dipersoalkan, apakah pameran harus dikurasi atau tidak. Dasar kurasi adalah keyakinan adanya nilai-nilai karya seni rupa berada di wilayah pemikiran tertentu, disamping pengalaman untuk membaca nilai-nilai karya seni. Akibatnya jika ada seniman yang merasa punya kemampuan melakukan sendiri kuratorial pada dasarnya mereka tidak memerlukan kurator, walaupun hal ini janggal. Hal inilah yang di kritik Kus Indarto pada Pameran seniman Borneo seperti yang di uraikan di atas.

Jadi kalau ada seniman atau kelompok seni lokal atau propinsi tertentu mengaku bahwa karya seninya sudah bertaraf internasional, rasanya ini bisa ditafsirkan macam-macam, yang jelas pernyataan seperti ini hanya “bergurau” saja. Sebab seperti yang dikemukakan oleh Jim Supangkat, ukuran seperti ini hanya ke arah berpikir komersial, terjual kepada orang asing atau tidak. Selanjutnya untuk menyambung kepada pemikiran-pemikiran konstelasi seni skala nasional, hal ini sangat tergantung siapa penyelenggara pameran, kurator seni yang mengusung kelompok itu sebagai nakhoda untuk menafsirkan karya seni yang diproduksi atau dipamerkan.

Seperti yang disinyalir oleh Jim supangkat (2015), ada kurator yaitu yang mengabdi kepada kepentingan publik (mis. kurator museum) yang sangat ketat mengikuti aturan-aturan (etika) kuratorial. Kemudian muncul  jenis kurator independen yang datang kemudian. Yang terakhir ini seperti yang dikatakan Jim Supangkat  profesi independent curator tidak lagi terikat pada etika kuratorial.

Dalam perkembangan sekarang isitilah ini dimaknai harafiah di mana predikat “independent” membebaskan kurator dari tanggung jawab publik. Maka praktek apa pun yang dilakukan “kurator-kurator bebas” ini tidak bisa disalahkan. Di Tiongkok misalnya independent curator malahan berfungsi sekaligus sebagai art dealers.

Keterbatasan Peran Lembaga dan Sekolah seni

Dalam teori dikatakan bahwa salah satu peran lembaga dan sekolah seni adalah sebagai infrastruktur seni bahkan barometer tentang kemajuan seni. Namun dalam praktiknya peran lembaga dan sekolah seni juga terbatas. Sebab banyak lembaga sekolah seni bertugas hanya di lingkungannya sendiri dan hanya bertindak sebagai fasilitator. Demikian juga Pemda. Selebihnya diserahkan kepada individu untuk aktif atau tidak. Dan juga tidak jarang di abaikan.

Sekolah atau PT berperan hanya untuk mengantarkan pebelajar sampai lulus dengan baik. Selebihnya terserah kepada mereka untuk aktif atau tidak dalam dunia seni atau profesi lain dalam masyarakat.  

Untuk mengantarkan pebelajar kepada dunia seni, bisa terlihat dalam pameran tugas akhir yang nampak sebagai simulasi. Pameran-pameran semacam ini kadang di gadang-gadang dan di pamerkan ke publik sebagai pencapaian prestasi mereka dalam studi. Namun pameran seperti ini bukanlah pameran yang terikat dengan nilai atau evaluasi seni dalam konteks mainstream seni. Sebetulnya sebuah tugas, katakanlah tugas akhir mahasiswa atau siswa adalah sebuah simulasi, yang keberhasilannya hanya terikat dengan sistem nilai yang dimiliki si pemberi tugas.

Simulation (simulasi) adalah pekerjaan tiruan, misalnya sebuah simulasi film-film yang menggambarkan peristiwa penembankan di jalanan. Simulasi adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain - itu bukan hal yang nyata. Berkarya juga dapat disimulasikan, yaitu seakan-akan bertindak sebagai desainer (bidang desain), seakan-akan bertindak sebagai guru (dalam tugas pengalaman lapangan untuk menjadi guru), dan seakan-akan bertindak sebagai seniman (tugas akhir berkarya seni). Dalam kontek ini tentu ada juga simulasi kuratorial.

Sebuah simulasi sangat dekat maknanya dengan eksperimentasi, dan hanya berguna untuk sebuah latihan dalam berkarya. Tugas Akhir seorang mahasiswa sebenarnya sebuah simulasi. Hal yang sama juga terjadi pada tugas akhir mahasiswa jurusan seni.

Pameran dan diskusi memang diperlukan untuk pengembangan wawasan. Diskusi dan Himpauan Mahasiswa Seni Rupa Universitas Negeri Padang (UNP) prodi Desain Komunikasi Visual (DKV) yang tergabung dalam Komunitas Jembatan Pelangi menggelar Pameran Stencil, pemutaran film, diskusi serta bedah film dokumenter berjudul 98 Movement di Sekretariat Rumah Ada Seni, Jalan Parupuak Tabing, Padang, Kamis (12/11/2015).
Sebagai penutup pada halaman ini dapat disimpulkan bahwa seni rupa lokal, berada dalam dua kutub kepentingan baik skala lokal maupun skala nasional. Di skala nasional tentu masalahnya lain lagi, karena pelaku-pelaku yang berperan tentu berpikir dalam konteks kepentingan nasional, seperti Galeri Nasional. Tetapi hal yang menjadi klasik adalah bagaimana seni lokal juga berperan, bukan hanya ditingkat lokal tetapi juga nasional.

Barangkali Bali  bisa menjadi model dalam hal ini, dengan adanya dua macam sifat kegiatan (galery) yang ada di sana --seperti apa yang di tulis oleh  Michelle  Chin (2004). -- ada yang mengikuti mainstream seni atau tidak, Hal ini nampaknya terjadi secara alamiah saja, sebab kegiatan seni yang dilandasi oleh pemikiran hanya atau selalu akan muncul dari pemikiran seniman akademik seperti yang dicontohkan di Bali.

Lihat sambungannya


Seni lokal (budaya lokal) tidak bisa menjadi “mainstream”, dia hanya sebagai penciri (fitur) dari budaya atau ke nasionalan Indonesia (mainstream). Mereka tetap terpisah dalam bentuk mosaik yang membangun keindonesiaan dalam seni. Yang menyatukan (mainstream seni) bukanlah seni lokal atau budaya lokal sebagai bahasa visual indonesia, tetapi seni modern dan kontemporer. Sebagaimana musik dangdut yang menyatukan keragaman seni musik lokal di Indonesia. Memang cita-cita keindonesiaan dan kenasionalan dalam (mainstream dalam seni visual) hanyalah utopia, jika seni budaya lokal yang diangkat jadi mainstream. Postmodernisme bahkan memperburuk mosaik itu, sebab yang muncul adalah monster-monster mosaik baru dari budaya lokal.


Sambungan:

[1] http://indonesiaartnews.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Disukai Pengunjung