Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Senin, 02 Maret 2015

Seni Lokal, Seni Kontemporer dan “Post-Moderenisme” di Indonesia (bagian 2)

Nasbahry Couto

Sebagai sebuah negara, Indonesia satu. Namun, yang satu ini terdiri atas sekumpulan etnis. Tutur bahasa dan tradisinya beragam, sekalipun terdapat beberapa ciri perilaku mirip. Kesamaan itu salah satunya soal korupsi yang menyebar luas, melampaui sekat etnis, agama, dan partai.
"Seperti apakah manusia Indonesia saat ini?", Kompas, 6 Maret 2014


Bagaimanakah nasib seni lokal di Indonesia? Bukankah seni lokal hanya menjadi seni komersial, dan hanya menjadi konsumsi wisatawan? (littlestream) dan hanya untuk kebutuhan lokal. Sedangkan ‘mainstream seni”yang berkembang adalah seni kontemporer, dan kelanjutan seni modern di Indonesia di papan atas (pusat) yang dipengaruhi oleh berbagai hal (politik, ekonomi dan hegemoni seni di Asia dan Amerika). Nampaknya  gagasan-gagasan  yang berasal dari  seni lokal (budaya lokal) tidak bisa menjadi “mainstream”, dia  hanya sebagai penciri (fitur) dari budaya atau ke nasionalan Indonesia (mainstream). Mereka tetap terpisah dalam bentuk mosaik yang membangun keindonesiaan dalam seni.  Yang menyatukan (mainstream seni) bukanlah seni lokal atau budaya lokal sebagai bahasa visual indonesia, tetapi seni modern dan kontemporer. Sebagaimana musik dangdut yang menyatukan keragaman seni musik lokal di Indonesia. Memang cita-cita keindonesiaan dan kenasionalan dalam (mainstream dalam seni visual) hanyalah utopia, jika seni budaya lokal yang diangkat jadi mainstream. Postmodernisme bahkan memperburuk mosaik itu, sebab yang muncul adalah monster-monster mosaik baru dari budaya lokal.
1.Karakteristik Seni Modern
Seperti yang kita ketahui seni kontemporer di Indonesia di awali oleh seni moderen sebagai pengaruh dari luar. Pengertian “modern” tidak bisa dilepaskan dari prinsip modernisme atau paham yang mendasari perkembangan seni rupa modern dunia sampai pertengahan abad ke-20 yang sifatnya universal. Oleh karena itu kita perlu terlebih dahulu membahas tentang seni modern ini.

Misalnya di Amerika, salah satu tokohnya adalah Hans Hofmann (1880-1966) yang menyatakan hanya seniman dan gerakan di Eropa dan Amerika yang mampu melahirkan seni rupa modern yang memiliki kemampuan untuk maju (“progress”), yaitu gagasan seni yang muncul dari  poros Paris-New-York,  sebagai pusat perkembangan seni rupa modern saat itu.


Seni Modern di Amerika, gaya abstrak: Hans Hofmann (1880-1966), August Light, 1957. Walaupun lukisannya abstrak namun masih mengimajikan impuls-impus alam atau berasosiasi dengan alam. Sumber:http://www.wikiart.org
*) Hans Hofmann, adalah seorang seniman perintis dan guru, dia pindah dari Jerman ke Amerika Serikat pada tahun 1930. Dia membawa pengetahuan yang mendalam tentang seni Prancis, yang dikumpulkan selama waktu hidup di Paris sebelum Perang Dunia I, dan ini terbukti penting dalam menyebarkan gaya modernis Eropa dan gagasan seni ke Amerika Serikat. Dia mengajar Lee Krasner, Helen Frankenthaler, dan Larry Rivers, dan ia bersahabat dengan Jackson Pollock. Gaya seni lukis Hofmann sendiri mewakili perpaduan dari berbagai modus seni, pikiran dan gaya seninya mempengaruhi dan memberi kontribusi yang kuat untuk lahirnya seni lukis Abstrak Ekspresionisme.
Hal ini dapat dilihat dari buku karangan Karen Wilkin, 2003, Hans Hosman: A restrospective. Pertama, menurutnya seniman harus percaya dengan sungguh-sungguh bahwa seorang seniman modern harus tetap setia dengan dukungan bidang kanvas. Untuk menunjukkan kedalaman dan gerakan dalam gambar - untuk membuat apa yang disebut "push dan pull" dalam gambar - seniman harus membuat kontras warna, bentuk, dan tekstur. Pernyataan ini dapat ditafsirkan bahwa dalam seni,seniman membentuk imaji-imajinya melalui medium bidang datar. Pernyataan ini ada benarnya karena bidang datar (kertas, kanvas) adalah alat bantu untuk berimajinasi baik pada bidang maupun ruang. Katakanlah untuk membuat patung (tiga dimensi) atau lukisan (dua dimensi), secara konvensional diawali dengan pembuatan sketsa maupun coretan gagasan. Sejarah seni modern penuh dengan narasi tentang bagaimana seni berawal dan berakhir pada bidang datar atau kanvas sebagai alat imajinasi seniman.

Kedua, menurutnya, Alam adalah asal-usul seni, Hofmann percaya, dan tidak peduli seberapa abstraknya sebuah gambar dikreasikan dan terlihat, umumnya selalu berusaha untuk mempertahankan link-nya ke dunia benda (lingkungan manusia). Bahkan ketika kanvas tampaknya hanya koleksi bentuk dan warna, Hofmann berpendapat bahwa mereka masih berisi gerak isyarat dan impuls alam. 

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa karya seni adalah sebuah medium untuk ditafsirkan baik secara persepsi visual maupun secara narasi. Dan, imaji visual itu tidak hanya ada pada seni visul, tetapi juga musik. Seperti halnya seni musik, dalam menikmati musik manusia dibawa untuk berimajinasi, imajinasi musik adalah imajinasi visual, disamping meningkatkan persepsi emosi yang menstimuli kesadaran ruang dan waktu. Tetapi semuanya akan merangsang munculnya  sebuah gambaran imajinasi visual dan emosi. (lihat artikel ini)Persepsi yang muncul dari mengamati seni , membawa pengamat ke imaji visual dan alam. 

Sewaktu kita  menikmati musik, bisa saja musik itu membawa imajinasi kita tentang gemercik suara air atau keindahan alam, kenangan suatu peristiwa. Disinilah sifat universum seni yg tidak lagi tersekat oleh batasan bawa ini musik atau ini seni sastra atau senilukis.

Kemudian untuk masuk selanjutnya ke narasi tentang apa yang di persepsi itu. Misalnya pergolakan politik, keadaaan sosial, kisah sedih seniman atau tanda-tanda komunikasi (simbolik). Narasi secara umum dapat kita temukan dalam kritik seni (penulisan seni). Hal ini berlaku pada seni lukis yang paling abstrak sekalipun.  Mengenai pengertian persepsi emosi (lihat artikel ini)

Ketiga, meskipun seniman terkenal karena ide-idenya, Hofmann pernah berkata bahwa "pelukis harus berbicara melalui cat, bukan melalui kata-kata." Dan media yang utama untuk berekspresi adalah warna: "Seluruh dunia, seperti yang kita alami secara visual," katanya, "muncul kepada kita melalui ranah mistik warna. Dengan demikian Hofman, sesengguhnya percaya bahwa media seni (kanvas dan cat)  sebagai medium untuk mengungkapkan sesuatu atau narasi yang berasosiasi dengan persepsi yang lain --diantaranya adalah alam -- khususnya warna di alam. Yang terakhir ini mungkin kurang tepat, sebab justru warna yang ada di atas kanvas bukanlah warna alam tetapi berasosiasi dengan warna alam, selebihnya ada jenis warna baru tidak terlihat di alam.

Perubahan Narasi


Bagi yang suka dengan klassifikasi seni, dapat memahami perubahan narasi. Yaitu perubahan narasi karena pengklasifikasian seni atau tidak seni. Dari contoh di atas, cangkir itu tidak bisa lagi dinarasikan sebagai benda kriya dan harus di bahas dalam konteks narasi seni. Sebab kriya adalah tekniknya, sedangkan maksudnya adalah untuk membuat karya seni yang tidak terlepas dari narasi seni. Kiriman Agus Utomo, (ISI) Denpasar, Bali,www.facebook. 31/8/15.
Dengan demikian fungsi seni dapat diasumsikan untuk membawa pengamat ke narasi-narasi atau imajinasi baik yang lama atau baru. Sebuah lukisan adalah suatu pernyataan dari citra pelukis yang selalu mengambang (continuous flux). Artinya, ketika seseorang berkarya seni, ia menciptakan sebuah dunia baru (imajinasi visual) yang bahan-bahannya ia cerap dari dunia sehari-hari atau pengalaman sehari-hari. 

Kemudian seterusnya melahirkan persepsi-persepsi pengamat dan narasi-narasi oleh penulis (yang mungkin sama atau tidak) dengan apa yang dimaksud seniman. Kesadaran seperti ini yang seyogyanya dimiliki oleh seniman modern untuk, dan tidak hanya sekedar untuk menggambarkan atau representasional. Oleh karena itu dia memiliki tugas dan berfungsi untuk membuat sesuatu yang baru, bukan untuk mengulangi apa-apa yang telah ada sebelumnya (foto copy).

Narasi Sejarah: Sejarah yang Berulang menjadi fakta baru


Lukisan Baron Antoine Jean Gros (1771-1835),  "Napoleon". dilukis tahun 
1810, Menggambarkan ekspansi Perancis ke negara-negara Islam di Afrika Utara
Narasi Sejarah berulang ?

Konflik Perancis - Islam yang masih muda, baru tiga abad, sudah dilupakan orang. Padahal jajahan Perancis dari Mesir ke Maroko. Konflik Sunni - Syiah yang sudah lebih dari 10 (sepuluh) abad dengan pemicu peristiwa 14 abad yang lampau, Di Yaman terjadi konflik golongan Sunni - Syiah, berlanjut pada masa kini, yang diadudomba kembali oleh negara Barat dalam politik perebutan ladang-ladang minyak. Lukisan Antoine Jean Gros tahun 1810 berjudul Napoleon. Kiriman Beryl C. Syamwil, https://www.facebook.com, 15/11/15.
Modernisme meyakini bahwa gagasan “progres” (pengembangan, maju, atau kebaruan) itu penting karena norma kebaruan, mengandung makna keaslian dan kreativitas. Prinsip tersebut melahirkan apa yang kita sebut dengan “Tradition of the new” atau tradisi “Avant-garde”(kepeloporan, "avant guard"). Avant garde adalah barisan atau kelompok terdepan dalam bidang apapun, terutama dalam seni visual, sastra, atau musik, yang karya-karyanya ditandai terutama oleh metode yang tidak lazim dan eksperimental. Konsep gaya seni baru ini pada yang awalnya ditolak, namun akhirnya diterima masyarakat sebagai inovasi baru. Seni modern kemudian melahirkan “Conceptual Art” atau Seni Konseptual merupakan gerakan dalam menempatkan ide, gagasan atau konsep sebagai masalah yang utama dalam seni. Sedangkan bentuk, material dan objek seninya hanyalah akibat/efek samping dari konsep seniman.

Namun walaupun kita sering menggunakan istilah seni rupa modern, ada yang berpendapat bahwa seni modern tak pernah sungguh-sungguh berakar di Indonesia. Polemik kebudayan di tahun 30-an sangat mempengaruhi pemikiran perkembangan seni rupa Indonesia. Hal ini dikemukakan oleh Jim Supangkat 1992 bahwa persentuhan seni rupa Indonesia dengan seni rupa modern sebenarnya hanya terbatas pada corak, gaya, dan prinsip estetik tertentu. Pendapat Jim ini ada benarnya jika yang dimaksudnya adalah pemikiran atau filsafat Barat. Sebab orang Indonesia tidak sepenuhnya mengikuti apa yang disebut filsafat Barat itu dalam berseni, sebab sudah memiliki filsafat dan pemikiran sendiri yang berbeda dengan Barat.

Kemudian Jim Supangkat (1992) berpendapat bahwa nasionalisme sebagai sikap dasar persepsi untuk menyusun sejarah perkembangan sejarah seni rupa Indonesia adalah kenyataan yang tak bisa disangkal dan nasionalisme mewarnai pemikiran kesenian dihampir semua negara berkembang. Pendapat ini juga tidak seluruhnya benar, sebab seperti yang di pertanayakan sejak awal tulisan ini, jika seni lokal yang diangkat menjadi mainstream seni Indonesia, akhirnya hanya  menjadi seni komersial. Dilema keindonesiaan dalam seni adalah karena "littlestream" tidak bisa menjadi "mainsream seni". Jika kita berbicara tentang keindonesiaan hanya sebatas lokus, tempat dan itupun bisa sangat terpisah-pisah. Yang bisa menyatukan Indonesia hanyalah komunikasi dan informasi seni dan penyebarannya.

Pada dasarnya yang berlangsung di Indonesia, pada lapis atas (mainstream) dalam seni rupa modern tetap pada eksplorasi dan kebebasan individual yang pada dasarnya adalah prinsip-prinsip seni rupa Barat (tradisi Barat). Logikanya, seni Indonesia bukanlah sambungan dari seni tradisi pemikiran Barat, jika ini yang dimasud Jim Supangkat, memang benar, bahwa di Indonesia itu pemikiran dan filsafat Barat seperti itu tidak seluruhnya teradaptasi, akan tetapi muncul secara terpotong-potong kadang dalam bentuk yang lebih ekstrim. Hal ini, akibat terjadinya kontinuitas dan diskontinuitas dalam seni Indonesia, peralihan dari seni yang nonkomersial (tradisi)  ke seni komersial ikut mewarnai perkembangan infrastruktur seni di Indonesia.



Perkembangan bersifat diskontinuitas dapat juga dilihat dari transformasi seni dan budaya yaitu konsep transformasi oleh Wiyoso Yudosaputro (1995). Seperti yang diperlihatkan pada bagan di datas, seni Indonesia  tidak selalu bersifat kontinuitas karena adanya unsur baru yang masuk ke Indonesia.
Sujoyono, memang dapat dianggap sebagai pelopor seni modern indonesia. Namun seni yang berkembang di jaman kolonial sebelum Sujoyono dapat dianggap modern juga. Dalam taraf tertentu ekspresionisme adalah inti dari gerakan seni moderen. Sujoyono menggunakan seni sebagai alat politik, hal ini sah saja. namun akibatnya penyusunan sejarah seni Indonesia di jaman kolonial tidak pernah tertulis secara benar dan seakan seni rupa modern dan atau ekspresionisme di zaman itu tidak ada, (lihat artikel ini).

Menurut Jim Supangkat (1992), catatan perkembangan pelukis Belanda yang diabaikan adalah catatan yang justru secara mendasar memperlihatkan tanda-tanda perkembangan seni rupa modern di Indonesia

Mungkin dapat dipahami unsur-unsur pembentuk mainstram seni adalah partisipan, seni yang secara teoritis adalah para pengamat seni, produser, interpreter dan kurator seni. Mainstream seni tidak ditentukan semata oleh eksistensi tokoh seniman tanpa keterlibatan elemen partisipan seni. Maksud-maksud dan kepentingan tertentu diantara berbagai partisipan seni terlihat dalam sejarah seni di Indonesia. Menyebabkan terjadinya kontinuitas dan diskontinuitas perkembangan seni Indonesia.

Walaupun  tidak terlalu nyata pergeseran yang terjadi pada tahun 1940-an ini menandakan seniman mulai mempersoalkan bahasa rupa dan cenderung meninggalkan representasi (penggambaran realitas).

Pada tahun 50-an kecenderungan mempersoalkan bahasa rupa itu menegaskan pada karya pelukis Ries Mulder yang waktu itu tinggal di Bandung. Ketika Ries Mulder merintis pendidikan seni rupa di Bandung (ITB), perkembangan seni rupa di alur ini memasuki era penjelajahan masalah bentuk rupa yang secara sadar meninggalkan representasi. Ries Mulder memperkenalkan konsep-konsep seni lukis kubisme yang kemudian sangat berpengaruh di kalangan pelukis pribumi yang belajar padanya. Di tempat lain, ruang seni rupa di Jogjakarta pada saat itu dipenuhi dengan karya-karya realistis. Dari kenyataan inilah maka lahir kubu Bandung yang disebut sebagai pro seni Barat. Hal ini dijelaskan oleh A.D. Pirous sebagai berikut.

“…perguruan tinggi dibentuk dengan gaya, konsep dan teori kesenian Barat modern diajarkan pada mahasiswa, proses itu berjalan sedemikian sehingga pada tahun 50 dan 60-an , karya-karya mahasiswa seni rupa Bandung pernah dicap sebagai hasil laboratorium Barat” (A.D. Pirous, 2003:56)

Akibat dari kedua bentuk perkembangan ini, dikemudian hari muncul istilah kubu Bandung-Jogja yang  memperlihatkan pertentangan dua tradisi besar seni rupa modern di Indonesia, yaitu kontradiksi tradisi seni lukis realis dan modernis.


Lukisan Ries Mulder, Kerk van Bandung,  1958, https://upload.wikimedia.org

2. Seni Rupa Kontemporer di Indonesia

Menurut About Com (2015) Seni kontemporer adalah seni yang dihasilkan pada “waktu saat ini”. Seni kontemporer meliputi, dan berkembang dari, seni postmodern, dimana seni kontemporer merupakan penerus seni modern, lihat Esaak, Shelley. 2013, "What is Contemporary Art?". Dalam bahasa bahasa Inggris sehari-hari, arti "modern" dan "kontemporer" terlihat sinonim, mengakibatkan kerancuan yang muncul dari istilah "seni modern" dan " seni kontemporer " terutama oleh orang-orang yang bukan ahli atau profesi seni. 

Namun ada yang berpendapat bahwa pembedaan konsep  “kontemporer” dengan modern dalam seni hanya sekedar sebagai sekat munculnya perkembangan seni rupa sekitar tahun 70-an dengan menempatkan seniman-seniman Amerika seperti David Smith dan Jackson Pollock sebagai tanda peralihan. Tetapi itu penafsiran yang terdapat di Amerika, di Eropah lain lagi. Bagi seniman yang masih produktif setelah karirnya yang panjang, dan berkelanjutan dalam gerakan seni, istilah ini dapat menimbulkan masalah tertentu; akibatnya galeri dan kritikus sering enggan untuk membagi pekerjaan mereka antara kontemporer dan non-kontemporer (lih. Wikipedia, 2015).

Kebingungan tentang istilah seni kontemporer juga diungkapkan Popo Iskandar (Alm. Eks. dosen, Seni Rupa UPI Bandung). Sebab istilah seni kontemporer dalam arti seni masa kini menurutnya sudah muncul sejak tahun 50-an. Pada waktu itu, karya seni masa kini hanya menyangkut nama-nama Picasso, Matisse, Braque dan lain-lain yang tidak bisa disebut satu persatu apakah tidak mengherankan jika pada tahun 1996 kita harapkan kepada bentuk seni yang sama sekali berbeda dengan tokoh-tokoh yang berbeda pula, namanya masih tetap sama yaitu seni kontemporer apa sebenarnya yang mempertautkan seni kontemporer tahun 50-an yang diwakili Picasso dan kawan-kawannya dengan seni kontemporer di tahun 1996 yang diwakili Pop art, Happening art dan seni instalasi, dan sebagainya dapat membingungkan karena setiap ungkapan seni 10, 20, 50, seratus tahun yang lalu atau yang akan datang, pada zamannya yang bersangkutan tetap merupakan seni kontemporer (Popo Iskandar, 2000:30).

Seperti juga waktu yang akan datang dan pergi, juga ungkapan seni dari waktu ke waktu yang akan pergi masing-masing mempunyai  bentuk, sifat dan kecenderungan  masing-masing yang saling berbeda satu sama lain,  bahkan sering tidak ada kaitan dan kebersamaan titik tolaknya. Periode berikutnya adalah pendobrakan yang lengkap terhadap asas-asas seni rupa tradisi Barat. Bahkan, akhirnya pendobrakan ini semakin beraneka ragam. Dipengaruhi oleh semangat individualisme dengan jumlah pelukis yang semakin banyak maka seni kontemporer ini semakin dipadati oleh seni individual di mana setiap seniman berusaha untuk saling berbeda satu sama lain (Popo Iskandar,  2000, Alam Pikiran Seniman, hal.30)

Penafsiran Seni Kontemporer di Indonesia

Ada satu indikasi yang bisa dijadikan titik terang istilah seni kontemporer, yakni lahir dan berkembang dalam khazanah dan ruang lingkup seni modern. Hal ini di pertegas dalam buku Awas! Recent art from Indonesia: Seni rupa kontemporer muncul setelah seni rupa modern.

…”berlangsungnya perayaan ‘Boom seni lukis’ di akhir tahun 80-an dan awal akhir 90-an…seniman bergerak cepat menembus, melintas batas-batas tradisional negara yang membatasi identitasnya. Kelangsungan seni rupa kontemporer…tidak lagi mengusung semangat hebat, pemberontakan dan penyangkalan seperti pendahulunya di tahun 70-an (seni modern) tetapi melangsungkan negosiasi  dengan berbagai senimanan baru, perubahan-perubahan yang serba cepat, peluang dan tentunya juga gemerlapnya pasar (Rizki A Zaelani, 1999:92).

Untuk melengkapi batasan antara modern dan kontemporer dalam seni rupa, dalam sebuah tulisannya tentang Seni Rupa Indonesia, Setiawan Sabana (pendidik, perupa, dekan FSRD ITB), mengungkapkan bahwa, sesuai dengan hasil penelitiannya mengenai “Seni Rupa Kontemporer Asia Tenggara” yang dilakukannya selama 4 tahun, bahwa yang membedakan antara seni rupa modern dan kontemporer di Asia Tenggara, adalah sebagai berikut ini.

Seni rupa modern
  • memutuskan rantai dengan tradisi masa lalu, pada masa ini tradisi tidak menjadi perhatian yang signifikan dan itu dianggap sebagai seseuatu yang tidak perlu diotak-atik lagi tapi cukup dalam musium saja,
  • adanya high art dan low art ( kesenian dianggap adiluhung),
  • tema-tema sosial cenderung ditolak, dan
  • kurang memperhatikan budaya lokal.
Seni rupa kontemporer
  • tradisi dicoba untuk diangkat kembali misalnya tema lebih bebas dan media lebih bebas,
  • tema-tema sosial dan politik menjadi hal yang lumrah dalam tema berkarya seni,
  • baurnya karya seni adiluhung/high art dan low art,
  • masa seni rupa modern kesenian itu abadi maka masa kontemporer kesenian dianggap kesementaraan,
  • dulu ada istilah menara gading sekarang kesenian merakyat, jadi tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu/harus bertahan, dan
  • budaya lokal mulai bahkan menjadi perhatian
Selanjutnya Setiawan Sabana menyimpulkannya bahwa fenomena seni rupa kontemporer Indonesia hanya merupakan suatu refleksi, pencerminan evaluasi kembali, sikap evaluatif dan pencarian potensi-potensi kultural yang baru di negeri ini  dan  merupakan bentuk kesadaran baru dalam era global.

Akhirnya pendapat ini mirip seperti yang dikemukakan oleh Esaak, Shelley. 2013, "What is Contemporary Art?" bahwa Seni kontemporer adalah seni yang dihasilkan pada “waktu saat ini”. Seni kontemporer meliputi, dan berkembang dari, seni postmodern, dimana seni kontemporer merupakan penerus seni modern. Paling tidak ini terjadi di Indonesia, bukan di Eropah atau Amerika.

Seni Rupa Kontemporer adalah kelanjutan Seni Rupa Baru Indonesia

Ada baiknya menyimak pendapat Jim Supangkat tentang Seni Kontemporer di Indonesia, dia berpendapat sebagai berikut ini (Wawancara tgl.30 September, 2015).
"Memang saya menyebut-nyebut “seni rupa lama” pada pernyataan Gerakan Seni Rupa Baru. Seni rupa lama ini adalah batasan akademis pada pengajaran di semua perguruan tinggi seni rupa di Indonesia waktu itu. Batasan ini mengutamakan seni lukis, seni patung dan seni grafis yang punya kekhasan yang diazaskan. Lukisan, misalnya, harus dua dimensional, dan, patung harus tiga dimensional. Lukisan yang permukaannya terlalu menonjol keluar, atau, patung yang permukaannya dilukis dengan cat, dipertanyakan. 
Gerakan Seni Rupa Baru adalah pemberontakan akademistis pada perguruan tinggi seni rupa di Bandung dan di Yogyakarta. Seni rupa baru adalah seni rupa yang menabrak semua batasan-batasan akademis tadi. Seni rupa baru bahkan membebaskan bentuk karya seni rupa. Membuat karya, tidak harus misalnya, menggunakan high materials seperti kanvas, cat Rembrant, marmer, logam atau hand made paper. Jadi bisa saja membuat karya dari barang jadi (ready mades) bahkan barang-barang bekas. Saya membuat karya-karya seperti ini sejak 1972, waktu masih menjalani pendidikan. 
Seni rupa kontemporer sekarang ini bisa dibilang seni rupa baru bila dilihat dalam konteks Gerakan Seni Rupa Baru. Pada 1975 istilah “contemporary art” dengan pengertiannya yang sekarang, belum meluas bahkan di Eropa dan Amerika Serikat."

Muhammad Hilmi, 2015, Kurasi Seni Bersama Jim Supangkat, (Berbincang dengan Kurator Jim Supangkat): http://www.whiteboardjournal.com


3. Bagaimana Seni Posmodern di Barat (sebagai pembanding)

Sebelum masuk ke masalah selanjutnya, rasanya  perlu untuk memahami bagaimana sebenarnya seni posmo di Barat. Secara umum diketahui bahwa, pengertian seni postmodern di Barat adalah gerakan seni yang berusaha bertentangan beberapa aspek modernisme atau beberapa aspek yang muncul atau dikembangkan setelahnya.

Secara umum, gerakan seni seperti Intermedia, seni instalasi, seni konseptual dan Multimedia, khususnya yang melibatkan video dapat digambarkan sebagai seni postmodern. Ada beberapa karakteristik yang dipinjam seni untuk menjadi postmodern; ini termasuk bricolage, penggunaan kata-kata mencolok sebagai elemen sentral artistik, kolase, penyederhanaan, apropiasi seperti karya Marchel Duchamp, performance art, daur ulang gaya masa lalu dan tema dalam konteks modern, serta pemutus penghalang antara fine art dan seni tinggi dan seni rendah dan budaya populer (pop art).

1. Latar belakang seni posmo di Barat

"Seni modern" biasanya dikaitkan dengan perkembangan seni antara abad 1870-1970 (100 tahun) – dimulai sejak munculnya seni Impresionisme sampai munculnya Pop-Art. Meskipun beberapa bencana global seperti  Perang Dunia I (1914-1918), Penularan Influenza (1918-1919), Depresi Ekonomi Amerika (akhir tahun 1920-an, 1930-an) - yang banyak menggerogoti kepastian moral manusia, seniman modern umumnya dipertahankan berdasarkan keyakinan dalam dasar alasan hukum ilmiah dan pemikiran rasional. Secara garis besar, seperti kebanyakan orang Barat pada periode tersebut yakin dan percaya bahwa makna kehidupan yang baik terkait dengan kemajuan ilmiah; dan yakin pula agama Kristen Barat akan mendominasi seluruh dunia; bahwa laki-laki berada di atas wanita. 

Modernis juga percaya pada makna modern, dan relevansinya dengan perkembangan seni, khususnya seni rupa dan arsitektur. Dengan mengikuti jejak Leonardo dan Michelangelo, mereka percaya adanya "seni tinggi" (h- seni yang mengangkat dan menginspirasi penonton lebih berbudaya- dan bukan "seni rendah" yang (hight art) hanya sekedar menghibur atau menghibur orang banyak. Mereka mengadopsi pendekatan berpikir ke depan, melihat seni sebagai sesuatu yang harus terus maju (progression), yang dipimpin oleh sekelompok seniman avant-gardis yang terkemuka.

Perang Dunia II dan Yahudi Holocaust (pembantaian orang Yahudi) membalikan semua pemikiran modern itu. Sebagai ibukota seni dunia Paris tiba-tiba pindah ke New York. Dengan adanya imaji-imaji tentang kamp konsentrasi yahudi di Auschwitz, dan juga tentang pembantaian orang Yahudi semua seni representasional yang ada, tiba-tiba terlihat tidak relevan lagi, sehingga perubahan seni lukis modern bukan hanya dari segi seni abstrak (meskipun dikemas dengan emosi, simbolisme atau animasi) untuk ekspresi diri. Namun, selama tahun 1950, yang Sekolah Seni New York - menampilkan lukisan Jackson Pollock yang lebih tenang. Kemudian “Bidang Warna” lukisan Mark Rothko – mendapat saluran yang sementara untuk merubah visi seni di kedua benua sisi Atlantik itu. Pelukis avant-garde ini berhasil mendefinisikan ruang seni baru untuk lukisan abstrak, tapi mereka tetap dalam batas-batas modernisme.

Namun tentu saja cara melukis seperti ini akan mengakhiri cara pelukis "modernis" dalam melukis. Imaji-imaji yang muncul dari pengujian bom atom, Krisis Misil Kuba (1962) dan Perang Vietnam (dari tahun 1964), menyebabkan orang menjadi lebih dan lebih kecewa tentang kehidupan (dan seni). Ternyata apa yang dicita-citakan oleh kaum intelektual modernis rusak akibat perang dan dekadensi moral di segala bidang. Akibatnya sesudah pertengahan tahun 50-an, Jasper Johns dan Robert Rauschenberg memunculkan gaya karya post-modern Neo-Dada dan Pop yang pertama. Sebagai ekspresi atas kekecewaan mereka itu. Kemudian di susul oleh arus utama Pop-art  mengantarkan gaya postmodernisme yang lebih pas.

Mungkin situasi ini agak berbeda dengan bidang arsitektur abad ke-20. Dimana desain bangunan modern dipengaruhi oleh keinginan untuk menciptakan gaya baru untuk "manusia modern". Misalnya arsitek modernis ingin menghilangkan semua “referensi sejarah” dan menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Misalnya menghilangkan kolom Yunani, gaya lengkungan Gothic, atau pengingat lain dari gaya 'masa lalu' itu. Ekstrimnya, bahkan dekorasi dianggap sebuah kriminal, demi semboyan "bentuk harus mengikuti fungsi" (form follows function). Hal ini menyebabkan munculnya gaya arsitektur Internasional antara tahun (1920-1970) --(arsitektur yang mirip bentuknya di mana-mana--, yang memunculkan idiom minimalis dengan keteraturan yang membosankan, blok beton apartemen dengan jendela kecil. Untungnya, dari sekitar tahun 1970, arsitek postmodernis mulai kembali memanusiakan arsitektur abad ke-20 dengan merancang struktur dengan fitur menarik, yang diambil dari budaya populer dan dari selebihnya mengambil unsur arsitektur tradisional. Kemudian sering diisebut sebagai posmo dalam arsitektur.

4. Karakteristik Postmodernisme

Ada yang berberpendapat bahwa "Postmodernisme" bukanlah sebuah gerakan, hal ini hanyalah sebuah sikap yang umum saja. Jadi tidak ada daftar yang dapat disepakati tentang karakter yang mendefinisikan "seni modernis". Jadi untuk melihatnya kita harus mulai di suatu tempat, dan dari padanya mungkin muncul beberapa petunjuk.

1. Ideologi Umum

Dari uraian di atas, terlihat bahwa munculnya postmodernisme adalah cermin dari kekecewaan luas atas kehidupan (misalnya kekejaman perang), serta kekuatan nilai-sistem dan / atau teknologi yang ada untuk melakukan perubahan yang menguntungkan. Akibatnya, otoritas, keahlian, pengetahuan dan keunggulan prestasi telah didiskreditkan. Seniman sekarang jauh lebih waspada tentang "ide-ide besar" (misalnya tentang ide 'kemajuan' ). 

Yang paling penting, "seni modernis" terlihat tidak hanya sebagai elitis tetapi juga sebagai “white” sebagai hegemoni ras kulit putih, didominasi laki-laki dan tidak tertarik pada kaum minoritas. Itulah sebabnya para unggulan seni postmodernisme muncul pada Third World (Dunia Ketiga), dan atau kaum feminis dan seniman minoritas. Namun, kritikus mengatakan bahwa - meskipun ada "penolakan" terhadap ide-ide seni besar - gerakan postmodern tampaknya memiliki banyak ide-ide besar sendiri. Contohnya termasuk: "semua jenis seni yang sama-sama sah"; "seni dapat dibuat dari apa saja"; dengan perkataan lain "demokratisasi seni adalah hal yang baik".

2. Pengaruhnya pada Pendidikan Seni

Akibat dari munculnya pemikiran tentang postmodernisme, jelas mengubah prioritas pendidikan di berbagai perguruan tinggi seni. Selama tahun 1970-an, seni lukis (dan pada tingkat lebih rendah patung), dipandang sebagai yang sudah usang. Selain itu, ide seni yang telah dipelajari selama empat tahun untuk menguasai keterampilan yang diperlukan seni rupa tradisional ini, dianggap sebuah kemunduran atau jalan di tempat saja. 

Seni, diyakini, harus dibebaskan dari pikiran elitis dan terbuka untuk umum. Akibatnya sekolah seni mulai merubah produk pendidikannya, tidak sama lagi dengan yang lama- orang mulai akrab dengan gaya dan bentuk postmodernis. Singkatnya, "kreativitas" individu dianggap lebih penting daripada akumulasi keterampilan pengrajin.

Disamping itu, munculnya "seni postmodernis" bertepatan dengan kedatangan beberapa teknologi baru berbasis representasi baru, misalnya televisi, video, Sablon, komputer, internet dan sangat besar manfaatnya bagi seni baru ini. Dengan adanya video dan citra fotografi, hal ini  telah mengurangi pentingnya keterampilan menggambar, dan dengan memanipulasi teknologi baru ini seniman (terutama mereka yang terlibat dalam media baru, seperti instalasi, video dan seni berbasis lensa) telah mampu memotong proses tradisional yang terlibat dalam "membuat seni," tapi mereka masih menciptakan sesuatu yang baru. Hal ini digambarkan dengan fotografi dokumenter Diane Arbus, yang berfokus pada anggota kelompok minoritas di New York City, dan seni video dari Korea-Amerika Nam June Paik (1932-2006).

3. Fokus postmodernis pada budaya Pop dan budaya Rendah

Istilah "budaya tinggi" sering digunakan oleh kritikus seni ketika mencoba untuk membedakan "budaya tinggi" dari lukisan dan patung (dan seni rupa lainnya), dari "rendah",  dan budaya populer dari majalah, televisi, “fiksi pulp” dan seni massal lainnya sebagai komoditi. Modernis, bersama dengan pendukung  mereka yang berpengaruh seperti Clement Greenberg (1909-1994), dianggap budaya rendah akan kalah dengan budaya tinggi. Sebaliknya, postmodernis - yang mendukung ide yang lebih 'demokratis' seni - visual, dan "budaya tinggi" sebagai lebih elitis. Jadi Pop-art - adalah gerakan postmodernis pertama - membuat seni dari barang-barang konsumsi biasa (hamburger, kaleng sup, paket bubuk sabun, komik) yang langsung dapat dikenali oleh publik seni. Seniman Pop dan lain-lain bahkan melangkah lebih jauh dalam upaya mereka untuk demokratisasi seni, dengan mencetak "seni" mereka pada mug, tas kertas, dan T-shirt: metode yang pada dasarnya contoh keinginan postmodernis untuk meruntuhkan orisinalitas dan keaslian seni.

4. Pencampuran Genre dan Gaya

Sejak munculnya “Neo-Dada”, Seni postmo telah menikmati pencampuran berbagai hal - atau menyuntikkan elemen baru ke dalam bentuk-bentuk tradisi seni modern – misalnya untuk membuat kombinasi baru dan elemen yang pastiches (serumpun), misalnya  Fernando Botero menciptakan lukisan gaya “obesitas primitif”nya; Georg Baselitz lukisan angka terbalik. Gerhard Richter mengkombinasikan seni foto dan lukisan di 'foto-lukiskan' tahun 1970-an, sementara Jeff Koons menggabungkan berbagai citra bentuk balon dengan teknik skluptur, misalnya karyanya patung pop “Balloon Dog” (1994-2000). Sementara Andreas Gursky menggabungkan fotografi dengan imaji komputer untuk membuat karya seperti “Rhein II” (1999, MOMA, New York), sementara Jeff Walls menggunakan proses digital photomontage dalam kreasi “pictorialist postmodernis”- nya.


Fernando Botero menciptakan lukisan gaya “obesitas primitif


Richard Winkler , Gaya obesitas primitif  Bali, pada Bazar  Art Jakarta (2014).https://www.facebook.com/richardwinklerbali/photos

4. Postmodernis Multiple-Makna

Munculnya pikiran bahwa  dalam seni bukan hanya seniman sebagai source (seniman sebagai sumber ide), tetapi juga receiver (pengamat sebagai perespon yang memiliki ide sendiri). Seniman postmodern telah membuang gagasan bahwa sebuah karya seni hanya memiliki satu makna yang melekat yang bersumber dari seniman. Sebaliknya, mereka percaya bahwa penonton adalah penilai yang sama pentingnya untuk memaknai. Fotografi surealis cindy Sherman, misalnya, menyoroti gagasan bahwa sebuah karya seni dapat diartikan dalam berbagai cara. Memang, beberapa seniman - seperti artis performan Marina Abramovic- bahkan mengizinkan penonton untuk berpartisipasi dalam 'karya seni' mereka, atau bahkan memerlukan intervensi oleh penonton untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. 

5. Dekat dengan Kebutuhan Konsumen dengan hiburan

Pertumbuhan konsumerisme dan kepuasan yang instan selama beberapa dekade terakhir abad ke-20 juga telah memiliki dampak besar pada seni visual. Konsumen sekarang ingin kebaruan. Mereka juga ingin hiburan dan tontonan. Sebagai seni responsif, banyak seniman postmodernis, kurator dan profesional lainnya telah mengambil kesempatan untuk mengubah seni menjadi sebuah "produk hiburan".

Pengenalan jenis seni baru, misalnya - seperti seni performace, happening dan Instalasi - bersama dengan subyek baru - termasuk hal-hal seperti tontonan “hiu mati”, lalat yang sekarat, patung es yang besar, kerumunan tubuh telanjang, bangunan yang tampak bergerak, , pulau terbungkus kain polypropylene warna pink, badan yang dicat, citra seram yang diproyeksikan pada bangunan umum, dan sebagainya - telah memberikan penonton dengan berbagai hal baru (kadang-kadang memberikan pengalaman mengejutkan). Apakah ini adalah bentuk seni yang disebut benar-benar baru merupakan masih menjadi isu "seni" yang hangat. Kelompok seniman  konseptualis postmodern akan mengatakan "Ya", yang ada pula yang mengatakan "Tidak".

6. Fokus pada Tontonan

Dengan tidak adanya makna nyata untuk hidup - terutama ketika kita dibombardir siang dan malam oleh radio dan iklan TV sementara pada saat yang sama dipaksa untuk mendengarkan politisi menjelaskan bahwa dua ditambah dua sama dengan tiga - postmodernis lebih suka fokus pada gaya dan tontonan, mereka sering menggunakan bahan dan teknik iklan agar memperoleh pengaruh yang maksimal. Misalnya membuat seni melalui metode pencetakan komersial, citra gaya-billboard dan citra warna primer dari Pop-artis seperti Roy Lichtenstein dan James Rosenquist. 

Fokus pada permukaan adalah fitur utama seni postmodernis, dan kadang-kadang berangkat dari maksud agar mendapatkan citra melodramatis, mempesona, dan bahkan untuk mengejutkan. Misalnya, fotografi fesyen Nick Knight dan David LaChapelle. Sejak tahun 1980, penggunaan komputer dan teknologi lainnya telah merevolusi seni multimedia (misalnya animasi), dan telah menciptakan peluang yang ada di daerah-daerah seperti arsitektur dan video mapping.

Pentingnya bahwa posisi seni postmodernisme umumnya mendapatkan perhatian penonton yang sempurna hal ini tergambar pada  “taktik-shock” oleh sekelompok Mahasiswa Goldsmiths - sebagai Artis muda Inggris - di London selama akhir 1980-an dan 1990-an. Mereka terkenal oleh tiga  pameran - Freeze (1988) dan Modern Medicine (1990), keduanya dikuratori oleh seorang mahasiswa disebut Damien Hirst, dan pameran Sensation (1997) - yang dikecam karena rasa tidak enak dan mengejutkan itu, namun beberapa (Rachel Whiteread, Damien Hirst, Douglas Gordon, Gillian Wearing, Chris Ofili, Steve McQueen, Mark Wallinger) kemudian memperoleh hadiah Turner Prize-, sementara yang lain (Jake dan dinosaurus Chapman, Tracey Emin, Marc Quinn dan Jenny Saville) juga mendapat ketenaran dan keberuntungan dari pameran mereka.



Damien Hirst: Bangkai sapi di awetkan dan dikemas menjadi karya senihttps: //www.flickr.com

5. Tiga Prinsip "Seni  Postmodernis"

1. Bermakna Instan

Lukisan minyak umumnya pudar dalam menggambarkan peristiwa  mitologi Yunani, dan untuk  untuk memperoleh senyum penuh arti dari kultur penonton. Sebaliknya sejak awal gerakan Pop-art, lukisan postmodernis dan patung itu mencitrakan berani, cerah dan dapat langsung dikenali, instan. Tema dan gambar sebagian besar dipinjam dari barang konsumen yang berharga, majalah, iklan grafis, TV, film, kartun dan komik. Untuk pertama kalinya, semua orang mengerti seni yang dipamerkan. Meskipun postmodernisme telah berkembang sejak Pop-art, tujuan utama tetap untuk pengakuan tentang instan.

Namun, beberapa karya "seni postmodernis" lebih "langsung dipahami" daripada yang lain. Ambil contoh Equivalent 1 (1966, Kunstmuseum, Basel) oleh Carl Andre. Ini adalah salah satu karya seni yang perlu dijelaskan oleh seorang ahli sebelum dapat diapresiasi. Karya ini adalah patung minimalis postmodernis yang terdiri dari 120 batu bata bangunan biasa. Batu bata diletakkan di atas satu sama lain di lantai dua lapisan 60 bata, diatur dalam konfigurasi persegi panjang yang tepat dari tiga unit dengan dua puluh unit. 

Pada pandangan pertama, karya ini seni kontemporer terlihat seperti sesuatu yang Anda mungkin melihat pada sebuah bangunan situs super-rapi. Untungnya, katalog galeri seni Anda memberitahu Anda bahwa Andre mengambil keputusan radikal untuk membuat seni di lantai datar pada tahun 1965, ketika berkano di sebuah danau di New Hampshire, dan bahwa tumpukan megah ini batu bata mencontohkan keyakinan artistiknya bahwa "bentuk = struktur = tempat." Seperti yang terjadi, asli Equivalent 1, "hancur" pada tahun 1966 dan "dibuat ulang" pada tahun 1969.

2. Seni dapat dibuat dari apapun

Melanjutkan tradisi Marcel Duchamp – dari karyanya urinoirnya yang  berjudul "Fountain" (1917) adalah contoh yang terkenal pertama dari sebuah objek biasa yang dibuat menjadi sebuah karya seni - postmodernis telah membuat titik dimana menciptakan seni dari bahan yang paling mungkin dan potongan-potongan sampah (junk). Misalnya Junk Art. Kelompok seniman pematung, installationists telah membuat seni dari besi scrap, topeng-gas, felt, tengkorak manusia, darah manusia, lalat mati, neon-lighting, karet busa, kaleng sup, beton, karet, kain lama, kotoran gajah dan sebagainya. Ide di balik ini adalah untuk mendemokratisasikan seni dan membuatnya lebih mudah diakses.

3. Ide berbagai hal lebih dari karya seni itu sendiri

Secara garis besar, sampai tahun 1960-an, seniman (termasuk Picasso, Pollock dan Lichtenstein) percaya bahwa tanpa produk jadi, tidak ada seni. Jadi sejumlah besar perhatian dicurahkan pada kualitas pekerjaanfinihsing seni, dan keahlian yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Hari ini, mungkin terdpat hal-hal yang berbeda. 

Postmodernis biasanya memiliki keyakinan kuat dalam konsep di balik produk jadi, bukan produk itu sendiri. Itulah sebabnya banyak "seni postmodernis" dikenal sebagai "Seni Konseptual" atau "konseptualisasi". Pendekatan baru ini dicontohkan oleh karya seni konseptual oleh Martin Creed, yang berjudul "227: The Lights Going On dan Off" (2001), yang memenangkan Hadiah Turner pada tahun 2001. Bentuk lain dari konseptualisasi no-produk termasuk instalasi (yang murni bersifat sementara), termasuk performance art, happening (kejadian), seni proyeksi, dan sebagainya.

Mungkin contoh utama dari seni konseptual adalah pameran diadakan pada bulan Maret 2009, di Museum Nasional Perancis Seni Kontemporer di Pompidou Centre di Paris. Berjudul " The Specialisation of Sensibility in the Raw Material State into Stabilised Pictorial Sensibility ", yang terdiri dari sembilan kamar benar-benar kosong, dan tidak ada yang lain.



I Nyoman Masriadi: My Adventure Ended After I Met Your Mother, acrylic on canvas, 150 x 200 cm, Ciri khas seni posmodernisme, tidak dapat dibedakan lagi antara produk sehari-hari, poster, iklan, dan seni lukis. Dengan cara ini Nyoman menjadi pelukis paling mahal di Indonesia saat ini.  http://www.escapeintolife.com

I Nyoman Masriadi, Shangri-la, http://inyomanmasriadi.com 

6. Kritik Terhadap Gagasan Posmodernisme

Seperti yang dkemukakan bahwa Ciri pemikiran di era pascamodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya.[1] Pascamodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.Oleh karena itu seniman bebas dalam mengungkapkan seninya. 

Kritik terhadap posmodernisme diantaranya tentang azas-azas idiom estetik yang telah ada seolah-olah dihancurkan, yang dulunya karya seni itu harus indah dan menyenangkan, sekarang bisa sebaliknya. Ada pendapat bahwa seni itu setidaknya masih mempertimbangkan etika sosial, etika agama atau etika-etika yang lain, namun sekarang dianggap tidak penting.

Namun ada yang berpendapat bahwa secara tradisional karya seni adalah hasil dialog (renungan) manusia dengan lingkungan sosial dan alam, oleh karena itu dalam setiap penciptaan seni mampu memberikan dampak bagi lingkungan dan masyarakat. Kebebasan seniman berkreasi pada posmo tidak bebas, sebab akan selalu direspon oleh masyarakat, oleh karena itu karya seni tidak bebas nilai, dan  seyogyanya mengandung aspek etika disamping aspek lainnya.

Seperti yang dikemukakan Jhon Paul Lester, ada 6 cara memandang imaji-imaji  visual, dimana aspek etika ada di dalamnya. Menurut Lester, Anda akan menemukan bahwa setiap imaji visual memiliki sesuatu yang dapat memberitahu kita tentang dunia, artinya setiap imaji visual  memiliki beberapa makna untuk dikomunikasikan. Seperti yang diuraikannya dalam bukunya. Pembuat gambar seperti desainer atau seniman telah membingkai objek  gambar secara khusus karena sebuah alasan yang penting. Menurut Lester semua perspektif untuk melihat gambar, dapat dirangkum kepada 6 bentuk pemikiran cara menganalisis imaji atau gambar. Enam Perspektif itu adalah.
  1. Perspektif pribadi berkaitan dengan pendapat subjektif emosional. "Apa yang saya pikirkan tentang gambar itu'. Ini adalah respon pertama atau pikiran pertama yang melintasi pikiran Anda pada melihat gambar. Ini ada ruang untuk terjadinya bias pribadi dan prasangka.
  2. Perspektif sejarah membantu untuk menentukan pentingnya pekerjaan komunikasi visual berdasarkan jangka waktu yang diciptakan pada. "Kapan ini dibuat? Apa setting latar sosial pada periode waktu itu ?
  3. Perspektif teknis mencoba untuk menarik relasi hitam putih dan atau menengah dari pesan. 'Medium Apa yang telah digunakan untuk membuat pesan? Bagaimana pencipta menyatakan dirinya melalui media yang dipilih itu.
  4. Perspektif etika melihat tanggung jawab moral dan etika seniman. "Apa tanggung jawab moral pencipta? Apakah peran lukisan atau gambar itu etis atau tidak sesui dengan kacamata sosial budaya yang berlaku?
  5. Perspektif budaya berkaitan dengan lambang-lambang atau simbol sosial maupun pribadi yang dipakai dan disampaikan kepada masyarakat. "Apa simbol yang dipakai? Apa pesan atau sistem penandaan yang disampaikan kepada mereka?
  6. Perspektif kritis adalah kesimpulan rasional (logika) secara kritis, bahwa penerima stimuli (receiver) juga menilai imaji sebuah gambar atau lukisan. Ini juga termasuk reaksi pribadi, namun bisa bebas dari bias dan prasangka. Karena karya itu dibahas melalui respon kritik yang rasional.
7. Model Postmodenisme dalam Seni dan arsitektur

1. Dalam Arsitektur lihat tulisan ini (1.eklektik)(2.regionalisme), (3. Konsep Desain), (4. Konsep Desain)
2. Dalam SeniRupa lihat tulisan ini (1.Kritik pada Posmo)


8. Memahami Tradisi seni Rupa Lama Indonesia Menuju tradisi Baru

Imitasi dan narasi pada seni primitif, seni tradisi dan lokal

Imitasi dan imajinasi adalah alat utama dalam seni. Munculnya seni karena manusia memiliki alat indra untuk mempersepsi lingkungannya, imajinasi menghasilkan persepsi tentang seni. Manusia bukanlah robot tanpa imajinasi. Imajinasi tentang keindahan adalah isu sentral dari seni, yang melahirkan estetika (flsafat seni). Dalam sejarahnya, manusia mengungkapkan imajinasi seninya melalui narasi (bercerita). Salah satu contoh narasi dalam seni adalah pikiran-pikiran manusia yang bercerita hal-ihwal seni yang di alami seseorang, misalnya tentang Popo Iskandar (1927-2000) sebagai berikut ini.
"Dalam catatan hariannya yang disusun dan diketik ulang oleh almarhum Mamannoor, Popo mengatakan, sebuah lukisan adalah sebuah bagian dari serangkaian lukisan-lukisan yang merupakan manifestasi dari pengejawantahan gagasan-gagasan dan citra pelukis. Jadi, ia tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian integral dari setiap upaya pelukis dari masa lalu, masa kini, dan yang akan dilakukannya di masa mendatang. Betapa pun ia bukanlah rekaman dari apa yang ia lihat, melainkan suatu interprestasi dari apa yang ia hayati melalui subject-matter-nya. Oleh karena itu, sebuah lukisan adalah suatu pernyataan dari citra pelukis yang selalu mengambang (continuous flux). Artinya, ketika seseorang berkarya seni, ia menciptakan sebuah dunia baru yang bahan-bahannya ia cerap dari dunia sehari-hari atau pengalaman sehari-hari. Dengan demikian, apa yang disebut karya seni adalah sebuah dunia rekaan (kreasi baru), sebagaimana dikatakan Prof. Dr. A. Teeuw, tepat adanya. Sekalipun apa yang dibicarakan A. Teeuw dalam konteks tersebut adalah untuk karya sastra. 
Mengenang 10 Tahun Popo Iskandar: Totalitas pada Proses Kreatif. Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Februari 2010
Jadi dalam membuat lukisan atau seni, pertama manusia menghayati lingkungannya, merenungkannya. Artinya manusia tidak lepas dari lingkungan luar dirinya. Apa yang dikatakan baik oleh seniman maupun pengamat seni adalah narasi. Sebaliknya apa yang diciptakan seniman tidak lepas dari imitatif, walaupun dalam bentuk yang paling abstrak sekalipun.




Popo Iskandar, 1997, Dua Macan Memandang Bulan. Sumber:http://www.pennywen.com

Dari Imitasi yang paling kuno: Seni primitif Indonesia

Imitasi adalah peniruan sedangkan fantasi adalah khayalan. Konsep imitasi murni seperti pada seni moderen tidak ditemukan pada  masyarakat prasejarah dan primitif di Indonesia. Ada beberapa alasan imitasi itu tidak dilakukan secara sempurna.

Pertama, keterbatasan alat  dan teknik untuk melakukan imitasi (peniruan); hal ini bukan saja ditemukan pada era  prasejarah tetapi juga pada era moderen. Ukiran masyarakat moderen misalnya, walaupun pengkriya menyadari bentuk-bentuk yang diimitasi, tetapi tidak mampu sampai kepada imitasi murni seperti yang dicapai oleh teknik lain misalnya teknik lukis atau gambar. Untuk sampai kepada imitasi murni dibutuhkan kesadaraan yang tinggi tentang bentuk-bentuk alam, tetapi keterbatasan pengetahuan seperti anatomi, proporsi, perspektif, ruang seperti jauh dan dekat dan sebagainya menyebabkan  masyarakat primitif hanya sampai kepada  transformasi bentuk yang sering disalah artikan dengan stilasi bentuk alam.

Kedua adalah transformasi bentuk, yaitu perobahan bentuk, yaitu suatu cara dimana yang diambil adalah unsur-unsur yang dianggap penting dari bentuk (sari patinya) dan meninggalkan bagian-bagian lain. Dapat dikatakan seni prasejarah atau primitif terlihat lebih abstrak dari seni moderen sekalipun. Seni abstrak seperti oleh pelukis Picasso (di  Eropah) banyak mengambil contoh dari seni  primitif Afrika atau Timur lainnya.


Imitasi kapal pada seni songket lampung, sumber: http://4.bp.blogspot.com

Ketiga adalah narasi. Tujuan dekoratif dan ornamentasi umumnya muncul bersamaan dengan tujuan naratif (bercerita) dan  simbolis. Hal ini dibuktikan pada beberapa lukisan primitif di Kalimantan dan juga lukisan gua di beberapa tempat di Indonesia. Setiap bentuk imitasi  seperti gambar binatang, tumbuh-tumbuhan, alam dan manusia bukanlah demi bentuk yang ditiru itu tetapi cendrung dipakai sebagai lambang-lambang untuk menceritakan  sesuatu  seperti alam roh, nenek moyang, atau peristiwa magi. Hal ini dapat  dipahami karena belum ada tulisan saat itu. Beberapa bentuk  motif hias prasejarah ini antara lain:
  • jenis burung seperti ayam, enggang, merak,
  • jenis binatang di darat seperti: kijang, kuda, gajah, harimau, babi, kerbau, anjing
  • binatang reptil dan yang hidup di air  seperti:  cecak, kadal atau biawak, ular/naga, kura-kura, katak
  • alam benda seperti gunung, matahari, bulan bintang dan sebagainya
  • bentuk manusia.
Tiap masyarakat suku di Indonesia memiliki mitos tersendiri  mengenai binatang ini yang erat hubungannya dengan totemisme (kepercayaan asal-usul nenek moyang) yang sifatnya arkaik (berhubungan dengan masa lampau). Salah satu  contoh interpretasi ini  adalah burung enggang dianggap sebagai lambang kelahiran manusia ke dunia.

Pada suku Dayak dan Batak burung ini sebagai lambang dunia roh, dan dipakai sebagai dekorasi di  dinding rumah, pada ujung atap bangunan dan juga di perahu.


Imitasi bentuk kadal pada bangunan tradisi Nias. Sumber:liusluahambowo.

Ikon-ikon dan simbol binatang kerbau lazim ditemukan pada dekorasi atap bangunan dan dekorasi benda lainnya. Demikian  juga bagian tubuh manusia sudah menjadi daya tarik (pesona) sejak masa prasejarah. Misalnya wajah, tangan atau alat kelamin. Pada tulisan ini tidak akan diuraikan makna-makna dekorasi di atas, karena sudah banyak ditulis dalam buku lain, dan juga untuk menghindarkan interpretasi yang berlebihan.

Pengaruh seni Luar

Pengaruh seni luar banyak masuk ke Indonesia, misalnya pada zaman Hindu-Budha, Islam, dan Barat. Selain itu juga dari utara seperti dari Cina (Tiongkok). Umumnya seni di Indonesia adalah seni campuran dari berbagai pengaruh. Seni campuran ini kemudian berevolusi menjadi seni lokal yang kita kenal sekarang. Untuk tidak mengulangi apa yang telah di tulis sebelumnya  ( lihat tulisan ini), tentang kontinuitas dan diskontinuitas seni di Indonesia.

Sebagai contoh, misalnya seni Dayak di Kalimantan yang  terlihat dari gaya  lengkung dan sulur berjalin yang khas. Gaya lengkung ini terdapat pada bangunan dan peralatan yang memperlihatkan garis-garis lengkung simetris berjalin. Gaya seni  ini, masuk dan mempengaruhi seni dayak melalui produk porselin dan tembaga. Dan masuk ke pedalaman Kalimantan pada masa pemerintahan Chou Akhir di Cina, sehingga gaya seni ini sering juga disebut dengan gaya seni Chou akhir

Ornamen suku Dayak Kalimantan, yang diterapkan pada hiasan tubuh, benda pakai, tameng dsb. adalah pengaruh seni Cina, zaman Chou Akhir. Sekarang banyak dijadikan objek lukisan oleh pelukis Kalimantan. Seni lokal hanya menjadi "littlestram", menjadi fitur atau penciri dari seni lokal, Bukan mainstream, dalam bahasa seni visual Indonesia.
9. Narasi dalam Seni Moderen Indonesia: Dari meniru alam ke abstraksi

Narasi pada seni

Narasi pada seni adalah seni yang menceritakan sebuah cerita, baik sebagai momen opname dalam cerita yang sedang berlangsung atau sebagai urutan kejadian berlangsung dari waktu ke waktu. Beberapa bukti awal seni manusia menunjukkan bahwa orang bercerita dengan gambar. Namun, tanpa pengetahuan tentang kisah makhluk yang di ceritakan akan sulit untuk membaca gambar kuno karena mereka tidak terorganisir secara sistematis seperti kata-kata di halaman, melainkan dapat terungkap dalam berbagai arah sekaligus.

Gambar statis di media artistik secara tidak alami telah dipinjam untuk menceritakan kisah-kisah naratif dari menurut urutan waktu (diakronis) dan kadang lukisan/gambar terlihat sekaligus (sinkronik). Meskipun ada beberapa fitur umum untuk semua seni narasi, budaya yang berbeda telah mengembangkan cara istimewa untuk membedakan tindakan narasi dari gambar. Sebelum munculnya melek seni, narasi dilakukan dalam gaya narasi simultan dengan organisasi yang menyeluruh. Setelah huruf dikembangkan di berbagai belahan dunia, gambar mulai diolah sepanjang garis mendaftar, seperti garis-garis pada halaman buku kuno, yang membantu menentukan arah dari narasi. Metode ini juga terlihat pada kumpulan adegan sebagai cara lain untuk bercerita pada abad ke-20, yaitu pada koran, komik dan buku komik.

Narasi dalam lukisan

Dalam lukisan di tradisional seni Barat sejak zaman Renaissance, lukisan sejarah mencakup konsep adegan yang sangat dianggap naratif, misalnya menceritakan cerita Nabi Adam pada ceiling kubah gereja. Narasi umumnya lebih mudah digambarkan melalui lukisan dan ketimbang dengan patung atau relief, gambaran tokoh dapat menjadi rumit.

10. Bentuk-bentuk narasi dalam seni rupa Indonesia Moderen

Imitasi (mimesis) dan narasi

Seni realis sebenarnya adalah imitasi juga, misalnya lukisan-lukisan pada tahun 1930-an, dimana tradisi ini tekanannya melukis melalui “meniru.” Seni adalah meniru, kata Plato. Misalnya Lukisan  “Di Depan Kelamboe Terbuka” karya Sudjojono. Lukisan lanskap sebenarnya imitasi dan sering juga dapat dianggap naratif, misalnya menceritakan perjalanan seseorang di alam terbuka.

Lukisan Cadio Tambora: Gadis Dayak, masih dalam rangka seni representasi, untuk menggambarkan budaya asli Dayak Kalimantan.

Lukisan moderen dengan objek suku asli Indian Amerika, lukisan seperti ini banyak dibuat untuk seni komersial di Amerika pada masa kini. sumber: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com. Bandingkan dengan lukisan di atas.
Lukisan Cadio Tambora (Pelukis Kalimantan Timur): masih dalam rangka seni representasi, namun lebih maju karena narasinya adalah kritik sosial. Pelukis ini sangat suka simbolisme, dan digambarkan dengan sangat detail. Orang tua keriput digambarkan sudah membatu dengan tempat duduk melambangkan waktu yang berkarat. Sementara di luar terlihat minyak pribumi di kuras habis oleh perusahaan asing. Penduduk pribumi hanya mengais ranting kayu untuk memasak. Lukisan bukan lagi sebuah murni representasi, tetpi sebuah perumpamaan yang masuk ke surealisme-simbolik (metafora sosial). Lukisan ini tidak lagi jalan di tempat.
Lukisan abstrak dan narasi

Lukisan abstrak mulai berkembang di tahun 1950-an di Indonesia. Tradisi ini melihat kanvas (medium) sebagai bidang datar yang harus dibebaskan dari cerita atau narasi, yang sering berangkat dari tradisi imitasi juga. Yaitu mengabstaksikan realitas yang dilihat seniman. Contohnya adalah  seperti yang telah dikemukakan di atas tentang lukisan Hans Hofmann.

Oleh karena itu tradisi seni imitasi dan atau representasi bisa sama-sama memiliki narasi dalam karya seninya, namun dalam tradisi imitasi (realisme) narasinya bersifat representasional (penggambaran), sedangkan dalam tradisi seni abstrak, narasinya sudah bersifat  non-representasional (tidak melalui gambar, tetapi simbol atau tanda).

Narasi pada Tradisi seni posmodern

Seperti yang telah dikemukakan di atas, seni posmo mencampur adukkan ke dua tradisi di atas (imitasi dan abstraksi). Seni postmodern tidak memiliki batasan-batasan yang tegas antara keduanya. Namun pembacaan seni posmo dapat dilakukan melalui semiotika (ilmu tanda) sebab, kalau di Indonesia mengambil referensi kepada budaya lokal.


Ada yang berpendapat bahwa perubahan paradigma modern ke postmodern inilah yang harus disadari betul oleh para kurator, dan penulis seni, misalnya dijadikan dasar pemahaman untuk melakukan evaluasi serta penulisan seni.


Sebuah art galery, khusus menjual lukisan-lukisan (seni komersial) dengan objek Indian native di Amerika, sumber. https://jivanch.files.wordpress.com
Sambungan (ke hal berikutnya)

Oleh: Andibachtiar Yusuf (17/8/15)
Bagaimana sosok budaya nasional di Indonesia? Sejujurnya hingga kini tidak ada yang bisa diklaim sebagai budaya bangsa, karena semua merupakan fraksi (bagian dari politik) seni dan budaya etnis. Kita perlu formulasi baru budaya bangsa. “Anda tak perlu masuk ke wilayah budaya, karena disitu bukan wilayah kemampuan Anda,” tukas seorang budayawan senior pada saya saat kami berdiskusi tentang sinema Indonesia. Saat ia bertanya “Mengapa film Indonesia jaman sekarang jelek-jelek?” Dari mulai menjelaskan bahwa ada pergeseran cara pandang pada sinema, juga bahwa kiblat generasi kini jelas berbeda dengan generasi lampau. Kami sangat Amerika, karena itulah gaya hidup mulai dari pakaian, musik, cara berinteraksi sampai dialek bahasa Inggris yang benar yang kami pahami adalah dari Amerika Serikat.




[1] Bambang Sugiharto., Postmodernisme - Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Disukai Pengunjung