Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Sabtu, 22 Agustus 2015

Apakah Kita Punya Budaya Bangsa? (bagian 3)

Oleh: Andibachtiar Yusuf


Lukisan karikaturis pelukis dan Ustad, Serambi Sultan, Lulusan UIN, Ciputat, Jakarta,  Sumber: kiriman, https://www.facebook.com. Menggambarkan pengaruh budaya Amerika ke masyarakat  di Indonesia, yang mayoritas beragama Islam.

1. Sosok Budaya Nasional Indonesia
Bagaimana sosok budaya nasional di Indonesia? Sejujurnya hingga kini tidak ada yang bisa diklaim sebagai budaya bangsa, karena semua merupakan fraksi dari seni dan budaya etnis. Kita perlu formulasi baru budaya bangsa. “Anda tak perlu masuk ke wilayah budaya, karena disitu bukan wilayah kemampuan Anda,” tukas seorang budayawan senior pada saya saat kami berdiskusi tentang sinema Indonesia. Saat ia bertanya “Mengapa film Indonesia jaman sekarang jelek-jelek?” Dari mulai menjelaskan bahwa ada pergeseran cara pandang pada sinema, juga bahwa kiblat generasi kini jelas berbeda dengan generasi lampau. Kami sangat Amerika, karena itulah gaya hidup mulai dari pakaian, musik, cara berinteraksi sampai dialek bahasa Inggris yang benar yang kami pahami adalah dari Amerika Serikat.

Amerika Serikat adalah negara adidaya yang sangat kuat. Mereka mampu melumat Vietnam hanya dengan satu orang saja (lihat film Rambo), sanggup menemukan peradaban baru di angkasa luar (lihat film Star Trek), sanggup memenangkan peperangan melawan invasi makhluk angkasa luar (lihat film Independence Day). Atau yang paling elementer, bahasa Inggris ala Amerika tak hanya kita gunakan sehari-hari, tapi juga oleh para Alien yang baru mendarat di bumi.

Itulah budaya kita, karena itulah yang kita lihat sehari-hari lewat berbagai media audiovisual lewat propaganda budaya yang rutin mereka lakukan dan menjadi industri terpenting kedua disana.

2. Budaya Nasional?

Lalu apakah kita punya budaya sendiri? Saya sih tidak sepakat bahwa kita punya yang namanya budaya Indonesia. Masing-masing etnis di Nusantara memang benar punya budaya dan seninya sendiri-sendiri, tapi saya yakin kesemuanya itu sesungguhnya bukanlah budaya Indonesia.

Jika memang "Wayang Orang" adalah budaya kita, lalu mengapa pertunjukan hariannya di kota Solo harus sepi? Sudah banyak artikel, esai foto sampai dokumenter menceritakan kegelisahan bahwa grup Wayang Orang di kota berbudaya sangat Jawa ini nyaris tewas! Lalu, berapa banyak sih etnis Jawa yang betulan mampu menari Jawa atau orang Minang yang sanggup merandai sebuah kisah rakyat.


Lalu jika adalah kelompok Tari Kecak tampil di kota Bonn, Jerman, apakah Rivo Sikumbang di Bukittinggi merasa terwakili? Mungkin dia bangga karena Bali adalah bagian dari Indonesia, tapi terwakili? Nanti dulu dong. Karena memang kekayaan Nusantara itu faktanya bukan budaya Indonesia.

Mengapa Dewa 19 harus muncul ngepop, karena jika band asal Surabaya ini muncul dengan corak pentatonik ala Jawa Timur saya yakin popularitasnya tak akan sebesar sekarang. Jika saja Peter Pan muncul menggabungkan musik Minang (karena Ariel beretnis Minang) dengan gamelan Sunda (karena band ini berdomisili di Bandung) apakah mereka akan bisa mencapai popularitas sebesar sekarang?

Percayalah... Jawabannya tidak. Kemudian jika ada band-band membawakan musik dengan pengaruh langgam Melayu yang kuat macam Armada, ST 12 dan lainnnya bisa populer di Nusantara, saya rasa karena memang kebiasaan dan keseharian kita sangat dipengaruhi kultur Melayu dan India. Bahkan genre yang disebut asli Indonesia seperti dangdut, sejatinya adalah perkawinan sempurna antara musik Timur Tengah, gendang India dan alunan nada Melayu.

3. Formulasi Budaya

Lalu apakah budaya Indonesia itu? Nyatanya, kita selalu berteriak bahwa kita sangat beragam. Nah jika tanpa sadar bahwa telah berkiblat pada Amerika Serikat, mengapa tidak sekalian saja cara memformulasikan budaya kita tempuh cara yang sama dan bahkan lebih terencana.



Mc Donald: Import budaya makanan Amerika

Korea Selatan telah melakukannya, mereka tak pernah benar-benar mempromosikan tarian mereka yang memang lamban dan membosankan untuk bisa dinikmati secara massif. Mereka muncul dengan film bunuh-bunuhan, bacok-bacokan, kisah cinta penuh tangis atau lewat musik via Gangnam Style, G Dragon sampai budaya K-Pop yang mampu melampaui penetrasi teknologi dan budaya Jepang di barat sana.

Blue Jean Impor budaya cowboy AS

Lewat cara yang di negeri ini akan dicibir sebagai “tidak mengindahkan unsur kearifan lokal,” para warga dunia berbondong-bondong ingin melihat seperti apa negara bernama Korea itu, ada apa dibalik sikap dingin Utara dengan Selatan, apaan sih Gangnam itu sampai ketertarikan Hollywood untuk memboyong Lee Byung Hun atau Jang Dong Gun menjadi bintang utama mereka.

Patut diingat, film produksi Indonesia paling dikenal di barat sana bukanlah yang berisi tari-tari Bali, pemandangan pantai dengan nyiur melambai apalagi pegunungan yang menghijau, bukan juga kebiasaan baca "bismillah" sebelum melakukan korupsi. Tapi adalah The Raid yang 80% kontennya praktis adalah kekerasan, walau tetap sang jagoan harus shalat dulu sebelum beraksi.

Di musim dingin November 2013 saya sedang mencari sarung tangan di sebuah toko pakaian di kota Belfast. Saya yang berada di dalam toko tidak mendengar musik The Corrs apalagi U2, tapi Gangnam Style dari Korea Selatan. Itulah penetrasi budaya, karena bahkan kebiasaan ngamen di depan warung saja adalah produk budaya. Apalagi Film!!!

Ditulis pada 


Biografi Singkat:


Andibachtiar Yusuf Siswo adalah seorang produser dan sutradara film independen dari perusahaan Bogalakon Pictures. Dia membentuk jalur distribusinya sendiri ketika ia membuat film panjangnya mengenai para supporter bola di Jakarta, yang berjudul "Jakarta Is Mine". Film-film Yusuf selanjutnya, yaitu The Jaks dan Romeo Juliet, mendapatkan kesuksesan box-office di bioskop-bioskop terkemuka di Indonesia.


Andibachtiar Yusuf dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 1974 , alumnus jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat. Memulai karier dalam dunia film pada tahun 2003 Film dokumenter pendeknya dipilih sebagai Elemen Resmi dari Piala Dunia Sepakbola pada tahun 2006. Dua buah film dokumenter panjangnya yang berjudul The Jak (2007) dan The Conductors (2008) telah diputar di berbagai festival dan di antara penggemar sepakbola di seluruh dunia. Romeo Juliet (2009) adalah film fiksi panjang pertamanya di mana dia berkarya sebagai seorang sutradara.

Filmografi :
Jakarta Is Mine! (2003),
Hardline (2004),
To Die For (2005),
60 Years (2005),
Live Under The Same Sun (2006),
The Jak (2007),
The Conductors (2008),
Romeo & Juliet (2009),
Hari Ini Pasti Menang (2013)

Pencapaian :
Film The Conductors meraih penghargaan Special Mention Award di Pusan International Film Festival 2008  (Korea Selatan),

Film The Conductors meraih pemenang kategori Film Dokumenter Terbaik pada pemenang Festival Film Indonesia (2008)

Sumber:http://www.dw.com/id/apakah-kita-punya-budaya-bangsa/a-18295193




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Disukai Pengunjung