Oleh: Andibachtiar Yusuf
Lukisan karikaturis pelukis dan Ustad, Serambi Sultan, Lulusan UIN, Ciputat, Jakarta, Sumber: kiriman, https://www.facebook.com. Menggambarkan pengaruh budaya Amerika ke masyarakat di Indonesia, yang mayoritas beragama Islam.
1. Sosok Budaya Nasional Indonesia
Bagaimana sosok budaya nasional di Indonesia? Sejujurnya hingga kini tidak ada yang bisa diklaim sebagai budaya bangsa, karena semua merupakan fraksi dari seni dan budaya etnis. Kita perlu formulasi baru budaya bangsa. “Anda tak perlu masuk ke wilayah budaya, karena disitu bukan wilayah kemampuan Anda,” tukas seorang budayawan senior pada saya saat kami berdiskusi tentang sinema Indonesia. Saat ia bertanya “Mengapa film Indonesia jaman sekarang jelek-jelek?” Dari mulai menjelaskan bahwa ada pergeseran cara pandang pada sinema, juga bahwa kiblat generasi kini jelas berbeda dengan generasi lampau. Kami sangat Amerika, karena itulah gaya hidup mulai dari pakaian, musik, cara berinteraksi sampai dialek bahasa Inggris yang benar yang kami pahami adalah dari Amerika Serikat.
Amerika Serikat adalah negara adidaya yang sangat
kuat. Mereka mampu melumat Vietnam hanya dengan satu orang saja (lihat film Rambo),
sanggup menemukan peradaban baru di angkasa luar (lihat film Star Trek), sanggup
memenangkan peperangan melawan invasi makhluk angkasa luar (lihat film Independence Day).
Atau yang paling elementer, bahasa Inggris ala Amerika tak hanya kita gunakan
sehari-hari, tapi juga oleh para Alien yang baru mendarat di bumi.
Itulah budaya kita, karena itulah yang kita lihat
sehari-hari lewat berbagai media audiovisual lewat propaganda budaya yang rutin
mereka lakukan dan menjadi industri terpenting kedua disana.
2. Budaya Nasional?
Lalu apakah kita punya budaya sendiri? Saya sih
tidak sepakat bahwa kita punya yang namanya budaya Indonesia. Masing-masing
etnis di Nusantara memang benar punya budaya dan seninya sendiri-sendiri, tapi
saya yakin kesemuanya itu sesungguhnya bukanlah budaya Indonesia.
Jika memang "Wayang Orang" adalah budaya
kita, lalu mengapa pertunjukan hariannya di kota Solo harus sepi? Sudah banyak
artikel, esai foto sampai dokumenter menceritakan kegelisahan bahwa grup Wayang
Orang di kota berbudaya sangat Jawa ini nyaris tewas! Lalu, berapa banyak sih
etnis Jawa yang betulan mampu menari Jawa atau orang Minang yang sanggup
merandai sebuah kisah rakyat.
Lalu jika adalah kelompok Tari Kecak tampil di kota
Bonn, Jerman, apakah Rivo Sikumbang di Bukittinggi merasa terwakili? Mungkin
dia bangga karena Bali adalah bagian dari Indonesia, tapi terwakili? Nanti dulu
dong. Karena memang kekayaan Nusantara itu faktanya bukan budaya Indonesia.
Mengapa Dewa 19 harus muncul ngepop, karena jika
band asal Surabaya ini muncul dengan corak pentatonik ala Jawa Timur saya yakin
popularitasnya tak akan sebesar sekarang. Jika saja Peter Pan muncul
menggabungkan musik Minang (karena Ariel beretnis Minang) dengan gamelan Sunda
(karena band ini berdomisili di Bandung) apakah mereka akan bisa mencapai
popularitas sebesar sekarang?
Percayalah... Jawabannya tidak. Kemudian jika ada
band-band membawakan musik dengan pengaruh langgam Melayu yang kuat macam
Armada, ST 12 dan lainnnya bisa populer di Nusantara, saya rasa karena memang
kebiasaan dan keseharian kita sangat dipengaruhi kultur Melayu dan India.
Bahkan genre yang disebut asli Indonesia seperti dangdut, sejatinya adalah
perkawinan sempurna antara musik Timur Tengah, gendang India dan alunan nada
Melayu.
3. Formulasi Budaya
Lalu apakah budaya Indonesia itu? Nyatanya, kita
selalu berteriak bahwa kita sangat beragam. Nah jika tanpa sadar bahwa telah
berkiblat pada Amerika Serikat, mengapa tidak sekalian saja cara
memformulasikan budaya kita tempuh cara yang sama dan bahkan lebih terencana.
Mc Donald: Import budaya makanan Amerika
Korea Selatan telah melakukannya, mereka tak pernah
benar-benar mempromosikan tarian mereka yang memang lamban dan membosankan
untuk bisa dinikmati secara massif. Mereka muncul dengan film bunuh-bunuhan,
bacok-bacokan, kisah cinta penuh tangis atau lewat musik via Gangnam Style, G
Dragon sampai budaya K-Pop yang mampu melampaui penetrasi teknologi dan budaya
Jepang di barat sana.
Blue Jean Impor budaya cowboy AS
Lewat cara yang di negeri ini akan dicibir sebagai
“tidak mengindahkan unsur kearifan lokal,” para warga dunia berbondong-bondong
ingin melihat seperti apa negara bernama Korea itu, ada apa dibalik sikap
dingin Utara dengan Selatan, apaan sih Gangnam itu sampai ketertarikan
Hollywood untuk memboyong Lee Byung Hun atau Jang Dong Gun menjadi bintang
utama mereka.
Patut diingat, film produksi Indonesia paling
dikenal di barat sana bukanlah yang berisi tari-tari Bali, pemandangan pantai
dengan nyiur melambai apalagi pegunungan yang menghijau, bukan juga kebiasaan
baca "bismillah" sebelum melakukan korupsi. Tapi adalah The Raid yang
80% kontennya praktis adalah kekerasan, walau tetap sang jagoan harus shalat
dulu sebelum beraksi.
Di musim dingin November 2013 saya sedang mencari
sarung tangan di sebuah toko pakaian di kota Belfast. Saya yang berada di dalam
toko tidak mendengar musik The Corrs apalagi U2, tapi Gangnam Style dari Korea
Selatan. Itulah penetrasi budaya, karena bahkan kebiasaan ngamen di depan
warung saja adalah produk budaya. Apalagi Film!!!
Ditulis pada
Biografi Singkat:
Andibachtiar Yusuf Siswo adalah seorang produser
dan sutradara film independen dari perusahaan Bogalakon Pictures. Dia membentuk
jalur distribusinya sendiri ketika ia membuat film panjangnya mengenai para
supporter bola di Jakarta, yang berjudul "Jakarta Is Mine". Film-film
Yusuf selanjutnya, yaitu The Jaks dan Romeo Juliet, mendapatkan kesuksesan
box-office di bioskop-bioskop terkemuka di Indonesia.
Andibachtiar Yusuf dilahirkan di Jakarta pada
tanggal 15 Januari 1974 , alumnus jurusan Jurnalistik Universitas
Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat. Memulai karier dalam dunia film pada tahun
2003 Film dokumenter pendeknya dipilih sebagai Elemen Resmi dari Piala
Dunia Sepakbola pada tahun 2006. Dua buah film dokumenter panjangnya yang
berjudul The Jak (2007) dan The Conductors (2008) telah diputar di berbagai
festival dan di antara penggemar sepakbola di seluruh dunia. Romeo Juliet
(2009) adalah film fiksi panjang pertamanya di mana dia berkarya sebagai
seorang sutradara.
Filmografi :
Jakarta Is Mine! (2003),
Hardline (2004),
To Die For (2005),
60 Years (2005),
Live Under The Same Sun (2006),
The Jak (2007),
The Conductors (2008),
Romeo & Juliet (2009),
Hari Ini Pasti Menang (2013)
Pencapaian :
Film The Conductors meraih penghargaan Special
Mention Award di Pusan International Film Festival 2008 (Korea Selatan),
Film The Conductors meraih pemenang kategori Film
Dokumenter Terbaik pada pemenang Festival Film Indonesia (2008)
Sumber:http://www.dw.com/id/apakah-kita-punya-budaya-bangsa/a-18295193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar