Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Selasa, 08 April 2014

Jim Supangkat : Model Kurator Seni Modern Indonesia

Artikel Terkait

Tantangan Seni Rupa di era GlogalSeni Modern - Tradisional -Indonesia Diramu oleh Nasbahry Couto

Catatan :  Jim adalah teman seangkatan waktu kuliah di ITB dahulu (angkatan 1970), penulis masuk jurusan Komunikasi, sedangkan Jim jurusan patung. Sekolah bisa sama, tapi nasib berlainan. Rasanya menarik untuk menuliskan tentang  orang yang satu ini. Di bawah ini disertakan artikel kuratorial Jim tentang lukisan "realisme" gaya Yogya, Chusin Setiadikara.
Catatan penulis. Ini hanya sebuah analogi, hal yang agak istimewa, sejak awal sekolah seni di Yogya memang melatih murid-muridnya untuk menggambar secara benar. Walaupun Chusin bukan alumni Yogya, sebab dia pada dasarnya otodidak dan pernah belajar pada pelukis Lee Man Fong.

Jim Supangkat bernama lengkap Jim Abiyasa Supangkat Silaen. Pria yang lahir 2 Mei 1948 di Makassar, Sulawesi Selatan ini banyak mewarisi darah seni dari paman dan kakeknya. Sehingga wajar bila sejak kecil ia telah mulai melukis dan bercita-cita menjadi pelukis. Kehidupan berkesenian memang telah dirasakannya sejak kecil. Terlebih lagi, ayahnya adalah kolektor benda seni. Tahun 1975, Jim menyelesaikan pendidikan seni dari Fakultas Seni Rupa ITB, Bandung.
Pada tahun 1970-an Jim menjadi penggagas Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, yang diikuti oleh banyak seniman pada masa itu. Gerakan itu merupakan bentuk pemberontakan terhadap seni rupa pada masa itu, yang dianggap cenderung bersifat amatir.

Jim Supangkat adalah seniman yang awalnya juga berprofesi sebagai wartawan. Ia bahkan sempat menduduki jabatan Redaktur Pelaksana Majalah Tempo. Namun kecintaannya pada dunia seni rupa, membuat ia akhirnya lebih memilih profesi sebagai kritikus seni dan kurator. Dalam pembelajarannya sebagai kurator, Jim banyak melakukan perjalanan ke luar negeri, antara lain ke sejumlah museum seni rupa di Jepang. Di akhir 80-an, Jim bekerja penuh sebagai kritikus dan kurator. Ia melakukan praktik kuratorial secara independen, seperti banyak kurator di Eropa dan Amerika Serikat. Telah banyak tulisan kritik dan buku seni rupa yang ditulisnya. Sebagai kurator, ia telah menjadi kurator bagi banyak sekali pameran seni di Indonesia. Jim Supangkat dikenal sebagai pekerja keras. Ia juga berani memperjuangkan hal yang dianggapnya benar.

Jim Supangkat memulai karier seninya sebagai pematung. Namun, karya yang dihasilkan tidak hanya patung, namun juga lukisan. Karyanya yang terkenal yaitu Pengumuman (lukisan), Salib Gereja (patung), dan Ken Dedes (lukisan 1975 direstorasi tahun 1990)

Karya-karya Jim

Sebagai seniman, sekaligus pengamat dan kritikus seni, serta kurator, Jim Supangkat banyak menulis buku yang berhubungan dengan dunia seni dan seniman. Berikut adalah beberapa karangannya antara lain.
  • 1975. Seni Rupa Baru Indonesia, (editor)
  • 1995. Lukisan, patung dan grafis G. Sidharta, , pen. Rekamedia Multiprakarsa
  • 1997. Indonesian modern art and beyond, Indonesia Fine Arts Foundation, ISBN 9789799513908
  • 1999. Entang Wiharso, Bentang Budaya,
  • 2001. Nyoman Nuarta,
  • 2002. Bunga Jeruk, Edwin's Gallery,
  • 2005: Urban/Culture, ISBN 9789799100351
  • 2005: Provocative bodies, interpreting the works of Mochtar Apin, 1990-1993, with Mochtar Apin, ISBN 9789799909107
  • 2005: Gregorius Sidharta Sugijo : figurative works, with I Wayan Sukra, Lita and Arif B Prasetyo
  • 2006. Seni Serat Biranul Anas (ditulis bersama Rizki Akhmad Zaelani)
  • 2008: Self & reality Josephine Linggar, Nus Salomo, Davy Linggar, with Mia Maria, Adi Setiadi and Linggarseni
  • 2009. Qi Zhilong 19922009, (bersama Li Xianting, Qi Zhilong)
  • 2009: Emmitan Gallery & ArtSocietes present solo exhibition of Willy Himawan : Fusion of Paradoxes, Emmitan Gallery
  • 2010: Pleasures of Chaos, Inside New Indonesian Art, with Primo Giovanni Marella, ISBN 9788862081313
  • 2010: Love me or die: Entang Wiharso, with Arif Suryobuwono and Christine E Cocca, ISBN 978-9792563733
  • 2011: Chusin's realistic painting: a thesis, with Henny Rolan, National Gallery, Jakarta
  • 2011: Edopop, with A Anzieb, Henny Cecilia Rolan and Rachel Saraswati, ISBN 978-6029701579
Di bawah ini adalah salah satu contoh pengantar kuratorialnya pada tahun 2011 tentang  pelukis Chusin.

Chusin Sang Pelukis Realis
 Artikel Kuratorial oleh: Jim Supangkat
(untuk lukisannya  lihat di slide)
  
Pengantar
LUKISAN realistik dalam perkembangan seni rupa Indonesia sekarang ini tidak bisa lagi diamati dari satu sudut pandang. Dasar pemikirannya sangat beragam kendati di permukaan memperlihatkan kesamaan. Berbagai jenis lukisan realistik yang sekarang berkembang  seperti melepaskan diri dari wacana seni lukis realistik yang umum dikenal—akademisme, neo-klasisisme, naturalisme, sur-realisme dan realisme. Keragaman lukisan realistik ini berpangkal pada perubahan kedudukan fotografi terhadap seni lukis realistik.

Sejarah menunjukkan bahwa fotografi lahir dari seni lukis realistik yang sudah menerapkan penggunaan camera obscura sejak Abad ke 17. Ketika fotografi pertama kali muncul pada Abad ke 19 fungsinya tidak bisa disangkal menggantikan lukisan realistik; membuat potret-potret kaum bangsawan dan orang-orang penting. Namun pada Abad ke-20 fotografi melepaskan diri dari latar belakang sejarah ini. Fotografi berkembang di banyak sektor di luar seni rupa. Penggunaan fotografi di surat kabar dan periklanan membuat fotografi muncul sebagai gejala baru yang jauh dari persoalan seni lukis realistik.

Ketika lukisan realistik muncul kembali pada akhir 1960an di Inggris—di Indonesia pada pertengahan 1970—dasarnya adalah perkembangan fotografi Abad ke 20 itu. Lukisan realistik ini—diidentifikasi sebagai foto-realisme—lebih sesuai dikaji sebagai penggunaan rupa-realistik (realistic images) untuk membangun komunikasi. Rupa-realistik ini bisa disamakan dengan bahasa pada sebuah teks. Seperti bahasa literal pada teks, rupa-realistik punya makna jelas dan bisa dibaca karena commonality dan kesamaan persepsi.

Pada perkembangan era 2000 ini referensi foto-realisme tidak lagi terbatas pada fotografi. Foto-realisme ini dipengaruhi juga komik realistik, salah satu tanda popular culture. Pangkal meluasnya komik jenis ini adalah penghidupan kembali komik-komik realistik yang menampilkan superheroes.Komik ini lahir pada awal Abad ke 20—Superman lahir pada 1938, Batman pada 1939 dan Captain Marvel pada 1940. (1) Sekarang pengaruh komik superheroes ini—yang sebenarnya membawa tanda-tanda Perang Dunia II—terlihat paling nyata pada computer game dan digital art.

Di lingkungan digital art terjadi perkembangan substansial dalam membuat lukisan dan gambar realistik. Pangkalnya adalah kemungkinan yang disodorkan teknologi komputer yang tidak ada sebelumnya, yaitu kemampuan komputer mengkonversikan foto menjadi lukisan atau gambar realistik. Maka seniman bisa menghasilkan lukisan atau gambar realistik mengandalkan struktur gambar/lukisan realistik yang disediakan foto. Seniman tinggal mengolah detail tanpa susah-susah membuat sketsa atau bagan gambar/lukisan realistik. Di lingkungan digital art olahan ini dikenal sebagai renderosity (berasal dari istilah rendering).

Di masa lalu kemampuan melukis secara realistik dipahami sebagai (1) kemampuan membuat struktur atau skesta gambar/lukisan realsitik, dan, (2) kemampuan menyelesaikannya sehingga terujud sesuatu lukisan realistik. Tanpa kedua kemampuan ini seseorang dianggap tidak bisa melukis secara realistik. Namun sekarang terungkap bahwa kedua kemampuan ini ternyata terpisah. Seorang seniman yang tidak mempunyai kemampuan membuat struktur, bagan, sketsa gambaran realistik ternyata bisa menghasilkan lukisan/gambar realistik. Kenyataan ini menunjukkan bahwa renderosity berkaitan dengan kemampuan dan kepekaan tersendiri yang tidak menyatu dengan kemampuan membuat struktur, bagan, sketsa gambar/lukisan realistik.

Dalam perkembangan seni rupa di Indonesia, kemungkinan yang disodorkan teknologi komputer itu lebih banyak memunculkan lukisan realistik (di atas kanvas) karena digital art—yang lazimnya hadir dalam bentuk print atau buku—tidak populer. Menggunakan perangkat in-focus, lukisan atau gambar yang sudah diolah di komputer diproyeksikan ke kanvas untuk proses pengkopian. Di sini renderosity bukan hasil penggunaan program komputer, tapi hasil melukis secara realistik yang tidak berbeda dengan melukis secara realistik yang konvensional.

Rendorosity itu tampil sebagai lukisan realistik yang sudah umum dikenal. Kesamaan ini membuat renderosity pada lukisan realistik ini diamati seperti mengamati lukisan realistik konvensional. Kendati kedudukannya hanya bahasa pada sebuah teks yang tidak secara langsung menentukan isi(content), kecermatan pembuatannya mempengaruhi penilaian; pengerjaannya yang tidak cermat membuat seluruh karya terkesan jelek. Sejumlah seniman di Indonesia menyiasati persoalan ini dengan melibatkan artisan yang memiliki kemampuan melukis secara realistik. Kemampuan artisan ini disadari para seniman ikut menentukan baik-buruknya karya. 

Pada kritisisme yang menekankan pembacaan teks, sesuatu gambaran realistik akan dilihat sebagai upaya menampilkan “tanda” yang diukur keterbacaannya (readibility). Namun pada kritisisme yang menempuh pembacaan lebih kompleks, readibility bukan satu-satunya persoalan. Pada pembacaan ini lukisan realistik yang cermat dan bagus akan dirasakan sebagai “bahasa yang plastis” pada teks. Gejala ini bisa dipadankan dengan bahasa plastis yang digunakan pada penulisan novel, cerita pendek, atau esei bahkan artikel. Plastisitas bahasa ini membangun kesenangan (pleasure) membaca dan bisa membuat pembaca terikat (semacam kecanduan). Pesona ini ikut mengukuhkan narasi, namun sebenarnya merupakan persoalan di luar alur cerita.

Di antara semua bahasa rupa—termasuk bahasa tanda—yang digunakan untuk menyusun sesuatu teks (karya seni) hanya rupa-realistik yang bisa disamakan dengan bahasa literal karena rupa-realistik sangat dikenal. Kesamaan persepsi dalam memahami bahasa ini dibentuk oleh tradisi seni lukis realistik yang panjang dan juga perkembangan fotografi sebagai referensi. Penggunaan bahasa ini berbeda dengan penggunaan benda, tanda, simbol, barang temuan atau artefak dalam menyusun teks yang pembacaannya bertumpu pada pengetahuan tanda-tanda (semiotisme). Gejala ini menunjukkan penggunaan rupa-realistik dalam bentuk lukisan sebagai bahasa tidak bisa dilepaskan dari seni lukis realistik yang sudah dikenal.

Lukisan realistik Chusin Setiadikara
Chusin Setiadikara, seorang pelukis yang menguasai pembuatan struktur, sketsa, atau bagan gambar/lukisan realistik dan sekaligus menguasai teknik melukis secara realistik (renderosity).Kemampuannya membuat sketsa/bagan meyakinkan. Sekadar contoh, untuk pembuatan sketsa lukisan realistik berukuran besar ia mengatasi keharusan maju mundur (untuk menyesuaikan jarak pandang) dengan cara membuat skesta dari jarak jauh. Ia memancangkan konte pada ujung tongkat sepanjang satu setengah meter dan dengan tongkat ber-konte ini ia membuat sketsa dari jarak jauh.

Chusin tidak pernah menggunakan perangkat in-focus pada pembuatan sketsa maupun penyelesaian detail gambar/lukisan realistik. Ia tidak memerlukan perangkat ini karena menguasai teknik menggambar realistik (drawing) maupun teknik melukis realistik. Keduanya berkembang paralel dan sejak tahun 2002 ia menyatukan gambar dan lukisan realistik sebagai bahasa ungkapannya; keduanya tampil dalam kesatuan pada lukisan-lukisannya.

Kecermatan pada lukisan realistik Chusin itu memperlihatkan “plastisitas bahasa rupa-realistik”. Plastisitas ini bukan cuma akibat kemampuan melukis secara realistik. Plastisitas ini mempesona karena inovasi-inovasi bahasa. Pada awal debutnya Chusin menampilkan lukisan realistik yang rinci dan “tajam” seperti tercermin pada lukisannya yang terkenal, Pasar Kintamani I (1995). Pada tahun 2002 ia mengubah color policy pada lukisan-lukisannya dengan cara mengurangi spektrum warna. Ia mencoba menampilkan “bahasa subtil” yang mengandalkan nuansa. Chusin membangun gambaran realistik dengan warna putih di atas bidang putih (dikenal sebagai white on white series). Sekarang ini karya-karyanya kembali memperlihatan perubahan color policy. Paralel dengan perkembangan menggabungkan drawing dan lukisan realistik ia mengembangkan spektrum warna primer yang menghasilkan warna-warna mencorong.

Bahasa rupa-realistik Chusin itu kembali bisa dipadankan dengan bahasa literal pada novel-novelbest seller yang dikenal kaya dengan inovasi bahasa. Dari gejala di dunia sastra ini muncul istilah “bahasa yang plastis.” Plastisitas bahasa rupa-realistik yang diperlihatkan lukisan-lukisan Chusin, tidak pernah diamati pada wacana seni lukis realistik karena lukisan realistik selalu dilihat sebagai upaya menyalin realitas, yang berkaitan dengan perkembangan pemikiran di dunia filsafat.

Lukisan realistik mencerminkan konsep “representasi” yang paling awal pada perkembangan filsafat di mana ketepatan menyalin realitas merupakan persoalan mendasar. Di sini, representasi adalah “bangunan” yang persis sama dengan “bangunan” realitas, bedanya yang satu artifisial (diskripsi atau penggambaran) yang lainnya real. Dari keyakinan tentang kesamaan ini muncul kepercayaan bahwa penemuan kebenaran pada representasi bisa diartikan penemuan kebenaran pada realitasnya. Perdebatan panjang dan ruwet tentang realisme mencerminkan keyakinan ini; paham-paham realisme, realisme sosialis, realisme facis, magic realism, dan, sur-realisme “bertarung” karena masing-masing merasa telah menemukan kebenaran (yang absolut dan satu-satunya) pada realitas. Padahal kebenaran ini kebenaran ideologis.

Persepsi tentang lukisan realistik seperti itu yang membuat penemuan fotografi diyakini sebagai tanda berakhirnya seni lukis realistik. Dibandingkan foto, upaya menyalin lewat lukisan yang bagaimana pun tepatnya akan kalah akurat. Di samping itu, foto dianggap bisa menampilkan obyektivitas, sementara lukisan realistik dicurigai mengakomodasi subyektivitas dan ideologi. Dalam tulisan “The Ontology of the Photographic Image,” (1967) André Bazin menyatakan kematian seni lukis realistik. Ia menegaskan, penemuan fotografi adalah peristiwa paling penting dalam sejarah seni rupa. Fotografi membebaskan seni rupa dari obsesi menghubungkan ungkapan seni dengan realitas (mendasari wacana realisme yang merumit) dan mengembalikan seni rupa  ke persoalan estetik yang otonom. (2)

Lukisan realistik Chusin Setiadikara yang menekankan plastisitas tidak didasarkan persepsi itu. Karena itu lukisan realsitiknya berada di luar wacana seni lukis realistik yang umum dikenal. Chusin tidak menggunakan lukisan realistik sebagai bahasa untuk menyusun representasi. Ia tidak pernah mencari kebenaran pada kerja melukisnya. Maka tidak relevan untuk menanyakan apakah ia percaya pada pencarian kebenaran absolut pada penyalinan realitas seperti terjadi pada semua paham realisme. Jangankan kebenaran absolut, bahkan pencarian kebenaran saja tidak ada pada mind set dan keyakinannya tentang seni. Karena itu keyakinannya pada lukisan realistik sama sekali tidak terganggu ketika seni lukis realistik dinyatakan “mati” setelah munculnya fotografi. Ia tetap melukis secara realistik.

Bahasa metaforis
Wacana seni lukis realistik harus dikaji ulang bila lukisan-lukisan realistik Chusin diperhitungkan. Dengan memasukkan cara Chusin melukis, seni lukis realistik berkaitan dengan dua bahasa. (1) Bahasa untuk menyalin kenyataan yang dasar pemikirannya tidak bisa dipisahkan dari filsafat. (2) Bahasa ungkapan yang menyediakan kemungkinan pengembangan plastisitas bahasa. Karena wacana seni lukis realistik sampai sekarang hanya mempersoalkan bahasa yang pertama, bahasa yang kedua—yang digunakan Chusin—bisa dilihat sebagai thesis (sampai kini belum pernah diangkat sebagai persoalan) pada wacana seni lukis realistik yang tentunya memerlukan argumentasi.

Langkah pertama pada penyusunan argumentasi itu adalah menguraikan kebedaan kedua bahasa. Tidak bisa lain upaya ini harus dimulai dengan mengkaji perkembangan filsafat karena pemahaman wacana seni lukis realistik yang dikenal tidak bisa dilepaskan dari persoalan “representasi” yang disebut Arthur C. Danto,  central concept of philosophy.  Pemikiran pada filsafat yang bisa menunjukkan kebedaan kedua bahasa bisa ditemukan pada pemikiran filosof Indonesia, Bambang Sugiharto. (4) tentang Bambang Sugiharto (lihat disini), dan tulisannya (lihat di sini)

Bagian dari pemikiran Bambang Sugiharto yang membawa tanda-tanda itu adalah pandangannya yang mengontraskan “bahasa literal”, dan, “bahasa metaforis”. Pemikiran Bambang Sugiharto menggali pemikiran-pemikiran dalam filsafat yang mengkaji bahasa metaforis ini. Ia melihat bahasa ini seringkali tampil pada ungkapan seni—filosof ini memang dekat dengan dunia kesenian di Indonesia. Bahasa metaforis ini bisa didekatkan dengan bahasa ungkapan Chusin Setiadikara.

Bahasa literal adalah bahasa yang bersifat lugas, deskriptif, tersistem (mengenal kategori-kategori, klasifikasi) dan digunakan pada pemikiran dengan bingkai episteme (ilmu). Sejak berabad-abad lalu bahasa ini (dalam bentuk tulisan) digunakan untuk mendeskripsikan realitas dalam upaya mencari kebenaran, hingga perkembangan filsafat tidak bisa dipisahkan dari perkembangan teks. Karena itu perkembangan mencari kebenaran pada filsafat menelusuri dua jalur. Di jalur pertama, mencari kebenaran pada realitas dan di jalur kedua mencari kebenaran pada himpunan teks.

Pencarian kebenaran di jalur pertama tidak pernah mengalami kemajuan karena kebenaran pada realitas sangat kompleks dan karena itu tidak pernah sesungguhnya bisa dibuktikan. Pencarian kebenaran dalam filsafat kemudian bergeser ke jalur kedua, yaitu teks. Bahasa yang tadinya digunakan untuk mendeskripsikan kenyataan menjadi wilayah untuk mencari kebenaran. Muncul kemudian filsafat bahasa.

Filsafat bahasa merupakan bagian dari pemikiran modern yang dominan pada Abad ke 20. Filsafat ini berkembang paralel dengan llmu pengetahuan (science). Seperti semua cabang science yang masing-masing mempunyai sistem bahasa yang sangat kompleks, filsafat mengembangkan sistem bahasa literal yang kompleks pula untuk mencari kebenaran. Melalui sistem yang kompleks ini filsafat bahasa, dan juga science, mengklaim telah menemukan kebenaran.

Namun kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran yang bersifat spesifik yaitu kebenaran yang berada “di dalam” lingkaran masing-masing ilmu. Kebenaran ini ditegakkan di wilayah masing-masing berdasarkan kepastian sistem pengukurannya (comensurability). Kepastian sistem pengurukuan ini bertumpu pada kesepakatan di “lingkaran tertutup” dan karena itu tidak berlaku secara umum.

Seperti kebanyakan pemikiran post modern, Bambang Sugiharto mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang diklaim filsafat bahasa. Penegakan kebenaran ini korup karena filsafat bahasa mencoba menghubungkan kebenaran intra-linguistik (kebenaran bahasa) dengan kebenaran ekstra-linguistik (kebenaran umum). Upaya ini dilakukan dengan menata logika rumit yang koheren, tidak ambigu, dan, lepas dari status tulisan agar terkesan transparan dan bisa menampilkan makna dan kebenaran umum. Inilah puncak upaya filsafat menggunakan bahasa literal untuk menemukan kebenaran absolut.

Upaya itu gagal dan filsafat mengalami keguncangan setelah terjadi kehebohan yang berawal pada pembacaan de-konstruktif Jacques Derrida—ia menguji komponen-komponen bahasa yang tidak bermakna pada teks dan menemukan bahwa di balik setiap makna ada makna lain. Ini salah satu penyebab munculnya isu “post-modernisme” yang bukan isme baru tapi tanda terjadinya disorde pada semua pemikiran modern yang dominan pada Abad ke 20.

Seni rupa modern Abad ke 20 ikut terguncang. Sebagai bagian dari pemikiran modern yang dasar-dasarnya tercermin pada filsafat bahasa, seni rupa modern mengembangkan juga bahasa spesifik yaitu bahasa rupa. Bahasa rupa yang terkurung pada wacana modernisme ini memunculkan problematik rupa yang spesifik pula. Ini yang dimaksudkan André Bazin sebagai persoalan estetik yang otonom. Paralel dengan seluk beluk science yang rumit dan tidak dimengerti masyarakat, karya-karya seni rupa modern menjadi esoterik.

Keguncangan seni rupa modern itu memunculkan perkembangan baru yang disebut-sebut seni rupa kontemporer (pemahamannya masih goyang sampai sekarang). Pada perkembangan ini muncul upaya membongkar teks dan melepaskannya dari kaidah-kaidah spesifik dan memunculkan cara membaca yang umum dan lebih “terbuka” melalui pendekatan semiotik dan hermenetik yang ternyata rumit juga. Di sini lukisan realistik—bersama benda-benda—dilihat sebagai bahasa yang membawa makna umum. Bahasa ini bisa dibaca karena persamaan persepsi dan pengetahuan tentang tanda-tanda. 

Menghadapi perubahan besar itu, Bambang Sugiharto termasuk filosof yang mencoba kembali ke dasar pemikiran yang menyatakan pemikiran adalah upaya memahami realitas. Filsafat bukan satu-satunya pemikiran memahami realitas. Ia bersikap kritis pada pemikirian logosentris (memburu kebenaran) karena berpendapat, pemikiran sepanjang sejarah umat manusia tidak pernah menangkap realitas secara utuh. Dengan sikap ini ia menoleh ke persoalan bahasa metaforis yang selama ini tersingkir di dunia filsafat karena tidak menampilkan makna-makna pasti.

Berbagai pemikiran tentang bahasa metaforis dalam perkembangan filsafat melihat bahasa ini lahir dari imajinasi kreatif, pengalaman estetik, rasa sublim, sikap kritis, kepekaan bahkan pengalaman mistik. Bahasa ini memunculkan metafor yang tidak tampil sebagai proposisi yang memburu kebenaran. Dalam pengamatan Bambang Sugiharto, metafor mencari “kebenaran ideal” yang muncul karena melihat berbagai kondisi “tidak ideal” pada realitas. Kebenaran ideal ini tidak punya pretensi menemukan kebenaran absolut karena itu hadir dalam tegangan dengan berbagai kebenaran ideal lain. Selain pada pemikiran—termasuk filsafat—metafor banyak ditemukan pada karya seni.

Metafor seringkali tampil sebagai keanehan yang memancing pertanyaan-pertaynyaan karena metafor cenderung menabrak kategori-kategori pemahaman. Namun justru keanehan ini yang membuat metafor bisa dilihat membawa gejala realitas yang belum dikenali atau belum disadari. Karena itu keanehan ini membangkitkan rasa ingin tahu yang merangsang pemikiran.

Metafor bukan pengetahuan tentang realitas tapi sumber pengetahuan tentang realitas. Karena itu, semua metafor memerlukan pembacaan, bahkan penafsiran radikal. Maknanya baru jelas bila dibongkar dan diterjemahkan ke bahasa literal. Penerjemahan ini yang memunculkan kesadaran tentang sesuatu realitas yang tadinya tidak disadari. Dalam pengamatan Bambang Sugiharto, metafor mempunyai posisi sentral dalam kehidupan manusia karena metafor adalah karakter fundamental bahasa dalam menandai realitas. Pola pemahaman melalui metafor terjadi pada semua pemikiran, temasuk filsafat. Penggunaan bahasa literal untuk mendeskripsikan realitas pada awalnya adalah upaya menerjemahkan bahasa metaforis.  

Melihat lukisan realistik Chusin sebagai bahasa metaforis, tidak segera masuk akal. Proposisi ini akan mudah diterima bila lukisan Chusin misalnya simbolik, atau memperlihatkan distorsi, atau bahkan abstrak. Lukisan realistik Chusin tidak terkesan menampilkan metafor. Lukisan-lukisan ini justru terkesan menyalin realitas.

Tanda yang bisa dijadikan dasar untuk melihat lukisan realistik Chusin sebagai bahasa metaforis adalah lukisan-lukisan ini mencerminkan upaya memahami realitas. Pada upaya ini Chusin tidak menciptakan bahasa baru. Seperti seniman di mana pun, bahasa ungkapan dalam berkarya diadaptasi dari berbagai pilihan yang disodorkan sejarah seni rupa. Chusin mengadaptasi seni lukis realistik—sudah berkembang dan digunakan untuk menyalin realitas—dan menjadikannya bahasa metaforis. Chusin mengkonversikan bahasa ini menjadi bahasa metaforis.   

Pengubahan itu sama sekali bukan gagasan Chusin. Kendati tidak sepenuhnya ia sadari Chusin mengadaptasi pengubahan ini dari perkembangan seni lukis di China. Konversi ini terjadi pada awal Abad ke 20 ketika seni lukis realistik dimasukkan ke perkembangan seni lukis tradisional. Gejala cultural translation ini dicatat dalam sejarah seni rupa China namun tidak pernah digali dan dimunculkan sebagai kajian estetik apalagi thesis. Perkembangan ini terlanda realisme sosial sesudah Perang Dunia II sebelum menjadi wacana yang punya arti pada perkembangan seni rupa global. Sesudah reformasi China yang terjadi pada awal 1990an, tanda sejarah ini tetap tidak diangkat menjadi pemikiran. Karena itu lukisan realistik yang masih luas dipraktekkan di China tidak terbaca secara benar. Lukisan-lukisan realistik ini dilihat sebagai lukisan-lukisan yang ketinggalan zaman karena menggunakan bahasa yang disebut André Bazin, bahasa yang sudah mati.

Chusin dan seni lukis realistik di China.
Hubungan Chusin dengan perkembangan seni rupa di China bukan cuma karena ia seorang pelukis Tionghoa. Perkembangan politik di Indonesia memunculkan kondisi yang membuat ia terpaksa dekat dengan berbagai perkembangan di China karena bahasa yang dikuasainya adalah Bahasa Mandarin. Informasi yang diserapnya terutama informasi dalam Bahasa Mandarin, tidak terkecuali informasi perkembangan seni rupa yang kemudian ikut membentuknya.

Chusin lahir di Bandung pada tahun 1949, dari keluarga tradisional Tionghoa. Dalam kehidupan sehari-hari keluarga tradisional ini menggunakan Bahasa Mandarin dan dialek (Bahasa Sunda) sebagai bahasa perantara. Chusin anak keenam dari tujuh bersaudara. Ayahnya seorang petani penggarap perkebunan di kawasan pegunungan di Utara Bandung. Ibunya seorang pekerja sosial yang punya peran dalam mengenalkan seni rupa pada Chusin dan saudara-saudaranya. Chusin dan tiga suadaranya mempunyai kemampuan melukis sejak kecil. Pada usia sekolah dasar Chusin sudah mampu melukis secara realistik.

Pendidikan Chusin ditempuh seluruhnya di sekolah Tionghoa yang menggunakan Bahasa Mandarin sebagai bahasa perantara. Ia masuk Sekolah Dasar pada tahun 1955. Di sini seorang gurunya menemukan bakatnya melukis secara realsitik. Pada masa ini ia sudah melukis intensif karena dibimbing kakak-kakaknya. Lukisannya yang realistik dikagumi di sekolah karena Chusin sudah mulai membuat lukisan potret dan menerima pesanan.

Pada tahun 1966 pendidikan Chusin terhambat. Waktu itu ia duduk di Sekolah Menengah Atas Chiao Ching di Bandung. Sekolahnya dibubarkan karena terjadinya perubahan politik di Indonesia. Pada tahun 1965 pemerintahan Sukarno yang berhaluan kiri dijatuhkan.  Digantikan pemerintahan yang militerisitis di bawah Jendral Suharto. Pemerintahan baru yang sangat anti-komunis ini memutuskan hubungan diplomatik dengan China dan menjalankan politik dalam negeri yang anti-China. Selain melarang sekolah Tionghoa, pemerintahan ini melarang juga penggunaan Bahasa Mandarin di semua ruang publik. Satu-satunya koran berbahasa Mandarin yang diizinkan beredar dikendalikan sepenuhnya oleh militer. (5)

Perubahan politik itu menyulitkan kehidupan masyarakat Tionghoa Indonesia. Ketika itu China masih menerapkan Undang-undang yang mengklaim orang Tionghoa di seluruh dunia sebagai warga-negaranya. Karena itu masyarakat Tionghoa Indonesia mempunyai dua kewarga-negaraan, China dan Indonesia. Seorang Tionghoa baru diakui sebagai warga-negara Indonesia bila menolak kewarga-negaran China melalui proses hukum. Ketika Indonesia punya hubungan akrab dengan China pada masa pemertintahan Sukarno, memiliki dua kewarga-negaraan tidak menimbulkan masalah. Namun ketika hubungan diplomatik Indonesia-China putus pada tahun 1965 muncul persoalan. Kewarganegaran China tidak diakui di Indonesia dan orang-orang Tionghoa yang tidak menolak kewarga-negaraan China secara hukum bukan warga-negara Indonesia walau sudah turun-termurun tinggal di Indonesia. Menghadapi keadaan ini pemerintahan Suharto mengeluarkan paspor “stateless” yang membingungkan dan menimbulkan kesulitan ketika digunakan dalam perjalanan ke negara manapun karena paspor jenis ini tidak dikenal di seluruh dunia.

Chusin dan keluarganya adalah keluarga Tionghoa sederhana yang menjalani kehidupan berdasarkan tradisi—karena itu Chusin masuk sekolah Tionghoa. Keluarga ini tidak memahami seluk beluk hukum dan Undang-undang Kewarganegaraan. Sebelum 1965 mereka mempunyai dua kewarga-negaraan namun sesudah 1965 mereka memegang paspor “stateless” karena proses mendapat warga-negara Indonesia menjadi sulit dan sangat mahal. Keluarga ini tidak punya cukup uang untuk mengurus kewarga-negaraan mereka. Dengan status “stateless” tertutup bagi Chusin untuk memasuki pendidikan mana pun karena pemegang paspor ini tidak diperbolehkan mengikuti pendidikan yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa perantara.   

Sebagai pemuda putus sekolah Chusin bersama saudara-saudaranya mencoba mengikuti jejak sang ayah menjadi petani penggarap. Namun ia berhenti setelah beberapa tahun. Chusin menyatakan pada keluarganya bahwa ia ingin menjadi pelukis dan pernyataannya memunculkan ketegangan. Ia dianggap menghindar dari keharusan bekerja. Pada tahun 1969 Chusin meninggalkan rumah dan berkelana mencari jalur untuk menjadi pelukis. Kemampuannya menggambar dan melukis menunjang kehidupannya. Dengan penghasilan menjual gambar atau lukisan, ia bisa hidup dan mencari informasi tentang seni rupa.

Ketika itu Chusin mempelajari dengan intensif lukisan dan pandangan Lee Man-Fong (1913-1988) pelukis Tionghoa Indonesia yang sudah terkenal. Chusin melihat pelukis ini termasuk salah seorang  pembaru seni lukis tradisional China. Pembaruan ini terjadi karena Lee Man Fong—dan sejumlah pelukis di China—memasukkan seni lukis realistik ke perkembangan seni lukis tradisional. Walau Lee Man-Fong berkarya di luar China, upayanya menggabungkan seni lukis realistik dengan seni lukis tradisional diakui di China.

Chusin benar, pada tahun 1956, Lee Man-Fong  bertemu pelukis Ch’i Pai-Shih di Beijing—ia bahkan membuat potret pelukis terkemuka China ini. Ch’i Pai-Shih dikenal sebagai salah seorang pembaru seni lukis tradisional. Di sini lukisan realistik Lee Man-Fong mendapat pengakuan. (6)
Lukisan Lee Man-Fong yang realistik bukan salinan realitas yang mencari kebenaran. Lee Man-Fong sendiri menyatakan bahwa lukisan realistiknya adalah hasil transformasi obeservasi realitas yang sangat mendalam. Observasi ini memerlukan penghayatan dan kejujuran. Tentang teknik melukis yang disebutnya “rendering”, ia menyatakan teknik ini harus mencapai tingkat kemampuan yang sophesticated untuk bisa merekam hasil observasi realitas. (7) 

Lee Man-Fong lahir di daratan China namun besar di Singapura. Ia mengikuti orangtuanya yang pindah ke Singapura pada tahun 1920. Sebagai pelukis otodidak yang sudah melukis sejak kecil, pelukis Tionghoa ini hijrah ke Indonesia—ketika masih menjadi koloni Belanda—pada tahun 1937, mula-mula bekerja sebagai ilustrator dan perancang grafis di percetakan besar Kolf & Co. (8) Beberapa tahun kemudian ia menjadi pelukis terkenal—ketika itu nama pelukis-pelukis Indonesia, Soedjojono,  Affandi, Basuki Abdulah, Hendra Gunawan, dan Agus Djaya sedang muncul ke permukaan. Lukisan realistik Lee Man-Fong dan Basuki Abdullah dikagumi karena pada masa itu seni lukis realistik mendominasi perkembangan seni rupa di seluruh Asia Tenggara.

Pada tahun 1946 Lee Man-Fong mendapat bea siswa untuk belajar seni lukis realistik di Belanda di mana ia tinggal bersama keluarganya selama enam tahun. Setelah kembali ke Indonesia Lee Man-Fong mengukuhkan padangannya tentang seni lukis realistik yang disebutnya seni lukis realistik oriental. Di masa ini, Lee Man-Fong menjadi kawan dekat Presiden Sukarno yang dikenal sebagai kolektor. Pada tahun 1962, Lee Man-Fong diangkat menjadi kurator koleksi Istana Negara Indonesia. Setelah kejatuhan Sukarno pada tahun 1965, Lee Man-Fong dan keluarganya hijrah ke Singapura pada tahun 1967. Pemerintah Singapura memberinya status penduduk tetap. (9) 

Pandangan Lee Man-Fong yang terbentuk antara 1920 -1930 punya kaitan dengan perkembangan seni lukis di China pada Awal Abad ke 20 yang menggabungkan seni lukis realistik dan seni lukis tradisional. Sekarang, setelah reformasi budaya dan poilitik di China, perkembangan fenomenal ini mulai dibahas sebagai bagian dari perkembangan seni rupa China.

Seperti seni lukis tradisional di Jepang dan Korea seni lukis tradisional di China mengenal  kecencenderungan membangun gambaran yang realistik tidak simbolik dan tidak terdistorsi. Dasar pemikirannya mirip dengan konsep representasi pada filsafat. Gejala ini tercermin pada pandangan filosof Abad ke-17 Dinasti Ming, Gu Yanwu yang menyatakan bahwa keutamaan lukisan adalah menyalin penampilan obyek pada realitas yang dilakukan melalui penghayatan.

Gambar realistik pada seni lukis tradisional di China itu tentunya berbeda dengan lukisan realistik yang berkembang di Eropa. Perbedaannya antara lain, gambar ini tidak memanfaatkan cahaya dalam membangun gambaran realistik. Pembentukan gambaran realistik ini dilakukan melalui tekanan pada tarikan garis pena atau kuas yang menghasilkan ketebalan garis atau blabar (brush strokes) yang sangat beragam. 

Pernyataan Gu Yanwu menunjukkan proses sulit dalam melahirkan lukisan realistik. Pertama, seorang pelukis harus sesungguhnya mengenal realitas melalui kontemplasi dan bukan hanya melalui observasi pemikiran. Kedua, seorang pelukis harus melakukan percobaan berulang-ulang untuk sampai pada sesuatu kemampuan melukis yang bisa merekam hasil penghayatan tadi.

Setelah berkembang tiga abad, seni lukis tradisional yang menampilkan gambaran realistik itu mengalami kemerosotan pada awal Abad ke 20. Para pelukis tidak lagi melibatkan proses penghayatan—yang membutuhkan waktu lama—untuk menghasilkan karya. Para pelukis menempuh jalan pintas dengan cara menyalin lukisan para master. Gambaran yang dihasilkan nyaris sama (karena kecermatan meniru) namun lukisan yang dihasilkan memperlihatkan keindahan permukaan karena tidak didasarkan kontemplasi. Pada perkembangan maneristik ini nyaris tidak muncul lagi inovasi. Terjadi pengulangan subject matter gunung, orang tua, pepohonan di tepi sungai dan rumpun bambu.   

Menghadapi kemerosotan itu sekelompok pelukis dan intelektual China merasa diperlukan upaya untuk mengembalikan kualitas seni lukis (tradisional). Nah, upaya yang dilihat bisa mengatasi kemerosotan ini adalah mengadaptasi  seni lukis realsitik yang berkembang di Eropa. Karena tekniknya yang cukup rumit dan pembuatannya yang memerlukan kecermatan tidak mungkin seni lukis ini digunakan untuk jalan pintas.

Seni lukis realistik masuk China pada Abad ke 19 bersama pemikiran modern pada Dinasti Qing—modernisasi China dikenal berawal pada Dinasti Qing ini. Maka sudah sejak Abad ke 19 seni lukis realistik diajarkan di China. Namun seni lukis ini belum dikaitkan dengan seni dan hasilnya dianggap bukan karya seni. Waktu itu lukisan dan gambar realistik digunakan untuk melengkapi berbagai dokumentasi. Terjadi sebelum fotografi ditemukan. Baru pada awal Abad ke-20 seni lukis  ini dikaji dan diangkat menjadi persoalan seni ketika seni lukis tradisional mengalami kemunduran.

Pada 1918 dua pelukis berpengaruh dari Akademi Seni Rupa Shanghai, Xu Beihong dan Liu Haishu, mengukuhkan gagasan memasukkan seni lukis realistik itu ke seni lukis tradisional. Mereka menurunkan tulisan-tulisan tentang perlunya reformasi seni lukis di China. Xu Beihong adalah pelukis yang kompeten dalam mengangkat persoalan ini. Ia pernah belajar seni lukis realistik di Prancis. Karena itu ia mampu menguraikan rinci-rinci penggabungan prinsip-prinsip seni lukis realistik dan seni lukis tradisional. Namun ia bisa secara kritis pula melihat perbedaan keduanya.

Xu Beihong mengemukakan bahwa metode dan teknik melukis realistik pada seni lukis realistik yang dibayangkannya seharusnya tidak cuma menyalin kenyataan seperti pada seni lukis realistik Barat. Bukan mata yang diperlukan untuk mencapai akurasi dan kecermatan dalam merekam realitas, tapi penghayatan.

Pada tahun 1930 pelukis-pelukis Kang Youwei, Liang Qichao, dan Cai Yuanpe yang belajar di luar negeri mengukuhkan pandangan Xu Beihong dan Liu Haishu. Mereka membentuk New Culture Movement yang menyatakan bahwa adaptasi seni lukis realistik (Barat) diperlukan untuk mengembangkan pemikiran rasional dan pemahaman ilmu pengetahuan modern. Gerakan ini membuat reformasi seni lukis tradisional di China menjadi sekaligus tanda munculnya seni rupa modern China.

Konsep dan pemikiran seni lukis realistik itu menghadapi tantangan ketika sastrawan terkemuka Lu Shun memperkenalkan seni rupa Marxis pada 1928. Prinsip-prinsip estetiknya menjadi semakin memudar ketika Partai Komunis China mempromosikan realisme sosial pada tahun 1930. Jumlah pelukis yang masih meneruskan reformasi dan konsep seni lukis realistik semakin menyusut di daratan China. Sejak tahun 1950an boleh dibilang hanya teknik melukis realistiknya yang dikembangkan. Pada tahun 1964 Mao Zedong menurunkan instruksi resmi agar seni lukis di China dikembangkan berdasarkan realisme sosial.

Ketika Revolusi Kebudayaan melanda China antara  tahun 1966  dan tahun 1976, pandangan-pandangan Xu Beihong dan Liu Haishu malah dihujat karena pemikiran dan paham tentang seni lukis—bersama semua pemikiran intektualistis—dihancurkan secara sistematis. (10)

Membaca lukisan realistik Chusin
Dengan pengetahuan tentang Lee Man-Fong dan perkembangan seni lukis di China itu, Chusin mengukuhkan keyakinannya tentang seni lukis realsitik yang sebenarnya sudah dipraktekkannya sejak kecil. Dengan keyakinan ini pada tahun 1970 ia masuk Balai Seni Barli yang didirkan pelukis Barli Sasmitawinata. Studio ini menyelenggarakan pendidikan informal yang mengajarkan seni lukis realsitik—dikenal sebagai akademisme—sebagai basis pengajaran seni rupa.

Barli Sasmitawinata (1921-2007) seorang pelukis realistik terkemuka Indonesia yang belajar melukis pada pelukis Italia Luigi Nobili yang tinggal di Indonesia. Barli termasuk di antara pelukis Indonesia yang ikut merintis kemunculan seni rupa Indonesia di masa kolonial pada tahun 1930-an. Ia membentuk gerakan di Bandung bersama Affandi dan Hendra Gunawan pada tahun 1935. Setelah Indonesia merdeka ia mendapat bea siswa untuk belajar di Rijksacademie Voor Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa Kerajaan), Amsterdam, Belanda antara 1951 sampai 1957. (11)

Sekembalinya di Bandung ia seharusnya menjadi pelukis kompeten untuk menyusun kurikulum pendidikan seni rupa di Bandung. Namun pahamnya yang percaya bahwa akademisme adalah dasar pengajaran membuat ia tersisih. Pada akhir 1950an, pendidikan seni rupa di Bandung terlanda paham modernisme yang menganggap seni lukis realistik sebagai bahasa ungkapan yang sudah mati. Barli kemudian mendirikan studio sendiri dan merealisasikan pengajaran seni rupa berdasarkan keyakinannya. (12)

Di Balai Seni Barli, Chusin menemukan informasi tentang seni lukis realistik yang umum dikenal. Dari pengajaran teori ia memahami pula kedudukan seni lukis ini pada sejarah seni rupa—yang menunjukkan perkembangan seni rupa di Eropa, Amerika Serikat, namun dianggap sebagai dasar perkembangan seni rupa dunia. Namun Chusin bertahan hanya enam bulan di studio ini dan masih pada tahun 1970 ia kembali berkelana, antara lain menetap beberapa lama di Bali. Baru pada tahun 1978 ia kembali ke Balai Seni Barli dan kali ini bertahan selama dua tahun.

Penjelajahan yang berliku itu tidak segera menampilkan lukisan realistik Chusin. Pada tahun 1980an ia lebih banyak membuat gambar realisitik. Ia memanfaatkan kemampuannya antara lain untuk memproduksi kaos bergambar bersama kawan dekatnya Fong-Fong. Waktu itu kaos bergambar menjadi trend dan kaos dengan gambar realsitik yang diproduksinya ternyata laku. Kehidupannya menjadi lebih stabil dan pada 1982 ia dan Fong-Fong menikah. Pada tahun yang sama pasangan ini berhasil menanggalkan status “stateless” dan menjadi warga-negara Indonesia setelah melalui proses birokratis yang sulit.

Antara 1982-1985 Chusin mencoba membuat patung realistik. Ia membuat sejumlah patung lilin yang hyper-realistic mengikuti rencana Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta membangun sebuah museum patung lilin. Rencana ini tidak diteruskan, namun patung lilinnya yang sempat menarik perhatian publik adalah patung lilin Wakil Presiden Adam Malik yang ditempatkan di Museum Seni Rupa Adam Malik, Jakarta—diulas oleh majalah berita terkemuka Tempo sebagai hasil kerja yang excelent. 

Pada 1987 Chusin hijrah ke Bali bersama Fong-Fong  dan meneruskan usahanya memproduksi kaos dengan gambar realistik. Produknya kembali laku dan kehidupannya kembali tertunjang. Chusin dengan sadar memilih Bali karena merasa menemukan kondisi untuk menjadi seniman. Karena itu di Bali ia mulai mengembangkan lukisan realistiknya. Pada tahun 1991 ia bertemu dengan Andy Yustana pemilik Andy Gallery, Jakarta ketika menggelar pameran tunggal di Balai Budaya, Jakarta. Pertemuan ini membangun keyakinannya untuk menjadi pelukis profesional yang hidup dari menjual lukisan. Sejak itu secara bertahap Chusin meninggalkan kegiatan usahanya membuat kaos. 

Namanya mulai muncul ketika karya-karyanya disertakan pada serangkaian pameran lukisan realistik yang dibingkai dengan konsep foto-realisme. Chusin, memang memanfaatkan foto untuk membuat lukisan-lukisan realistiknya. Namun ia tidak mengangkat foto, dari misalnya sobekan majalah. Ia menggunakan foto-foto yang dibuatnya sendiri. Di samping melukis, Chusin memang mendalami fotografi.

Foto-realisme yang berkembang di Indonesia sejak pertengahan 1970-an memiliki kesamaan dan kebedaan dengan foto-realisme yang sudah berkembang pada perkembangan seni rupa dunia. Kemunculannya memperlihatkan gejala lokal yang berpangkal pada perubahan politik di Indonesia dari “politik tertutup” di bawah pemerintahan berhaluan kiri, ke “politik terbuka” di bawah pemerintahan yang beroreintasi pada perkembangan ekonomi. Muncul cultural shock karena berubahnya kondisi di mana tidak ada film Amerika, billboard iklan, majalah dengan disain yang bagus, menjadi kondisi meriah karena masuknya advertisement perusahaan-perusahaan multi-nasional, majalah life style, dan, informasi tentang revolusi komunikasi. Di tengah keadaan ini, sejumlah pelukis menggunakan lukisan realistik untuk mengkopi tanda-tanda baru yang mengejukan pada perubahan ini—foto-foto pada majalah life style, iklan, logo produk industri, billboard dan neon sign. Seniman-seniman ini secara kebetulan merayakan pop culture dan karya-karyanya seperti menampilkan teks. (13)

Perubahan itu ditandai pula meluasnya penjualan pocket camera yang murah, diikuti pencetakan foto secara cepat. Muncul dari sini gejala lain foto-realisme. Sejumlah seniman menggunakan kamera untuk merekam realitas sekeliling dan foto yang dihasilkan digunakan untuk membuat lukisan realistik. Lukisan-lukisan ini menampilkan realitas pada masyarakat—social commentary—karena terjadinya perubahan sosial. Kecenderungan ini diperlihaktan lukisan-lukisan realistik Dede Eri Supria, Ivan Sagita, Koeboe Sarawan, Agus Kamal, Alm. Rachmat Subani, dan, Chusin.(14)

Memasuki tahun 2000, Chusin lebih banyak tampil sendiri. Kecermatan lukisan-lukisan realistiknya yang berkembang semakin nyata membuat lukisan-lukisannya menjadi tidak bisa dikaji hanya berdasarkan foto-realisme. Pada proses melukisnya foto hanya referensi. Pengolahan gambaran realistik pada kanvasnya selalu menjauhi foto yang digunakannya untuk mulai melukis. Chusin biasa menggunakan sejumlah foto untuk sebuah lukisan. Ketika melukis pasar Kintamani, ia bahkan menggunakan puluhan foto. 

Setelah terbentuk lukisan-lukisan realistik Chusin terlihat lebih dekat ke gambar daripada lukisan. Lukisan realistik Chusin tidak memperlihatkan akademisme yang nyata pada lukisan-lukisan Lee Man-Fong, dan lukisan-lukisan Barli Sasmitawinara. Lukisan realistik Chusin yang dekat dengan gambar mengandalkan penyusunan nuasa warna pada satu lapisan. Karena itu lukisannya hampir rata. Bila dibandingkan, lukisan realistik berdasarkan akademisme dibangun dari tumpukan cat yang membentuk lapisan-lapisan. Karena itu lukisan realistik ini selalu memperlihatkan ketebalan.

Metode melukis yang dekat dengan metode menggambar itu membuat lukisan realistik Chusin menjadi bahasa yang lebih dekat ke “tubuh” daripada ke pikiran. Bahasa ini peka dalam merekam perasaan, emosi, kegelisahan, rasa senang, rasa gembira dan berbagai kondisi mental lain. Melukis dan membuat gambar merupakan kebutuhan baginya. Karena itu tidak selalu ia membuat lukisan yang membawa statement. Ia mengemukakan, membuat gambar merupakan upaya menghilangkan keletihan, bahkan untuk menghilangkan beban psikis.

Dengan kerja yang berulang secara tetap itu ia mengenal sekali hubungan gambar yang dibuatnya dengan berbagai perasaan dan emosi yang dirasakannya. Dengan cara kerja ini secara tidak langsung ia menjelajah mencari bahasa ungkapan yang bisa merekam hal-hal subtil di dunia perasaan. Bila dilihat sebagai pencarian bahasa, kerja melukisnya bisa didekatkan ke padangan Xu Beihong tentang bahasa ungkapan, pandangan yang diulang Lee Man-Fong.     

Lepas dari persoalan lukisan realistik Chusin, pemahaman tentang bahasa ungkapan itu—dalam bentuk apa pun—merupakan pemahaman umum di Indonesia. Dari seniman profesional sampai pengamat seni rupa dan publik seni rupa percaya pada pemahaman ini. Namun tidak umum disadari bahwa pemahaman seperti ini ternyata bermasalah bila dikaitkan dengan wacana -wacana seni rupa yang mendasari perkembangan seni rupa dunia. 

Pemahaman itu dekat ke pemikiran estetika yang dikenal sebagai filsafat keindahan—bagian dari filsafat. Pemikiran ini mempersoalkan perasaan menyenangkan karena sensasi yang muncul akibat pertemuan dengan keindahan. Dalam wacana seni rupa pemikiran yang berkembang di Eropa pada Abad ke 19 ini dianggap  lepas dari perkembangan seni rupa sekarang ini. Karena itu karya seni yang menunjukkan pemahaman seni berdasarkan pemikiran estetika ini dianggap karya-karya seni yang dibuat tidak berdasarkan wacana seni rupa.

Persoalan itu terpendam dan menjadi pangkal kesalah-pahaman dalam membaca karya seni yang berkembang di luar Eropa, Amerika Serikat karena tidak pernah dibahas. Namun, teoretikus seni rupa kontroversial Arthur C. Danto menyentuhnya—ia menjadi terkenal karena mengeluarkan pernyataan, “the end of art” dan sesudah itu menerbitkan buku, After The End of Art. (15)

Danto membenarkan pemikiran estetika Abad ke 19 tidak segera bisa diekspor ke masa kini (pendapatnya ambigu). Perkembangan seni rupa sekarang  bertumpu pada wacana seni rupa yang mengkaji “hasil ekspresi” (karya seni) dan mengurangi pengkajian yang dianggap spekulatif tentang perasaan—seluk beluk pengalaman merasakan keindahan—yang menghasilkan ekspresi ini. Wacana seni rupa adalah himpunan kajian “hasil ekspresi” ini. Gejala ini menunjukkan perkembangan seni rupa bertumpu pada wacananya sendiri dan melepaskan diri dari filsafat.

Pada perkembangan seni rupa modern Abad ke 20, persoalan yang dikaji pada “hasil ekspresi” (karya seni) itu adalah bahasa rupa spesifik yang dibedakan secara tajam dari bahasa literal yang digunakan dalam filsafat—di sinilah bahasa rupa yang menyalin kenyataan, seperti dalam filsafat, dianggap mati. Ungkapan pada karya seni bukan lagi representasi, central concept of philosophy.

Danto termasuk teoretikus yang kritis melihat perkembangan seni rupa modern Abad ke 20 itu—dari sikap ini pernyataannya the end of art, keluar. Danto kembali ke filsafat—pemikirannya berada di lingkungan philosophy of art (salah satu teori seni rupa). Dan ia kembali ke representasi dengan kesimpulan radikal. Bagian penting pada pemikirannya adalah ia melihat batas di antara realitas dan representasi mengabur. Danto dikenal sebagai teorertikus yang mengkaji penggunaan obyek/barang jadi sebagai media ekspresi (dalam seni rupa). Baginya barang jadi yang diangkat dari realitas adalah realitas. Ia menunjuk karya Andy Warhol yang menampilkan packaging yang tidak diolah—Brillo Box (1964). Danto melihat karya ini sebagai representasi. 

Akan tetapi dalam mengkaji kembali representasi (representational properties) Danto menyinggung “mental language” yang disebutnya memerlukan analisis dari berbagai macam arah, dan, “aboutness” yaitu hubungan antara deskripsi dan kenyataan. Kedua istilah ini disinggungnya ketika mempersoalkan pikiran George Santayana dalam bukunya yang terkenal The Sense of Beauty—buku klasik pada philosophy of art yang menampilkan estetika Abad ke 19. (16)

Kedua istilah yang disodorkan Danto merupakan celah untuk menghubungankan wacana seni rupa dengan pemahaman seni di luar Eropa, Amerika Serikat. Pemikiran Bambang Sugiharto bisa digunakan untuk menguatkan peluang kedua istilah ini. Mental language bisa didekatkan dengan bahasa metaforis yang dilihat Bambang Sugiharto berkaitan dengan kondisi mental—gajala psikis, pengalaman mistis, gejolak perasaan—dan berkaitan pula dengan pemikiran logis yang punya penyebab (aboutness). Dengan perbandingan ini celah yang muncul dari kedua istilah yang disodorkan Danto membuka lebih lebar. Hasil mediasi ini bisa digunakan untuk membaca lukisan-lukisan realistik Chusin, tidak hanya sebagai teks.

Pada lukisan realistik Chusin hubungan antara kondisi mental dengan bahasa pada ungkapannya terlihat paling nyata pada upayanya mengembangkan bahasa subtil dengan mengurangi secara drastis spektrum warna. Upaya ini bukan sekadar gejala artistik walau pada kenyataannya melahirkan inovasi bahasa. Ada aboutness pada gejala ini. Gagasan pengembangan bahasa ini berpangkal pada kegelisahan Chusin menghadapi isu santer tentang kejadian pada Mei, 1998; pemerkosaan perempuan Tionghoa yang melibatkan mob rape dan gang rape ketika terjadi pergolakan sosial menjelang  jatuhnya pemerintahan militeristis Jendral Suharto setelah berkuasa selama 32 tahun.

Kendati berbulan-bulan disinyalir media massa, peristiwa itu tidak pernah terungkap. Namun sejumlah kesaksian yang diangkat komunitas perempuan lokal maupun internasional menunjukkan perisitiwa ini bukan berita rekayasa. Dalam kajian perilaku seksual, gejalanya juga mudah dikenali.

Dalam sejarah, mob rape dan gang rape muncul berulang sebagai kejahatan perang (dari Zaman Jengis Khan sampai Perang Vietnam), sebagai bagian pada pertentangan etnis (seperti terjadi pada ketegangan Pakistan-Bangladesh), dan, media menyatakan kebencian rasial (menjadi upacara ritual gerakan Klu Klux Klan di Amerika Serikat). Kajian perilaku seksual menunjukkan penistaan tubuh perempuan ini selalu dilakukan untuk menjatuhkan mental sesuatu masyarakat.(17) Pergolakan sosial yang terjadi pada Mei 1998, tidak bisa disangkal menyerang masyarakat Tionghoa sebagai akibat ketegangan rasial yang panjang pada pemerintahan Suharto.

Chusin membuat dua lukisan dengan tema kejadian itu; Disharmony (1999) dan The Float and The Might (2002). Pada Disharmony, kegelisahan yang terlihat nyata membuat lukisannya menjadi tidak biasa. Lukisan ini, misalnya, memberitakan kekerasan lewat tanda-tanda jelas, dan, kesedihan sentimental lewat simbol bunga mawar. Namun The Float and The Might yang mencerminkan proses kontemplasi tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda kejadian Mei, 1998. Chusin mengemukakan, akhirnya ia memang tidak punya pendapat tentang persitiwa ini. Paralel dengan lukisan-lukisan ini Chusin membuat serangkaian lukisan nude dengan warna khromatik yang kemudian dikenal sebagai white on white series. Lukisan-lukisan ini membangun kesan sublim.


Disharmony (1999) 444x394 oil on canvas


Pada lukisan-lukisannya  dengan tema Bali, aboutness bisa segera ditangkap; Chusin ingin menampilkan kehidupan urban di Bali dan pengaruh tradisi pada kehidupan—terlihat nyata pada berbagai tanda yang jelas. Namun persoalan ini tidak mempunyai kedalaman bila pembacaan berhenti pada teks. Pengamatan yang umum biasanya memang berhenti sampai di sini. Padahal ada pesan yang lebih mendalam yang tersembunyi pada pengolahan bahasa ungkapan.

Bila diamati lebih cermat bisa dilihat semua subyek pada lukisan-lukisan itu—sendiri (perempuan dalam kostum tradisional) maupun berkelompok (masyarakat di pasar)—tidak ada yang tampil frontal. Bila dilihat dari sudut pandang fotografi, tidak ada subyek yang menatap kamera. Gambaran yang tampil mirip dengan foto yang dicuri. Namun Chusin tidak berhenti pada konsep fotografi, ia memperbesar (mendekatkan) “foto yang dicuri” ini melalui kemampuannya melukis secara realistik. Gambaran yang tampil tidak sama dengan foto yang dicuri dari jarak jauh menggunakan lensa tele.

Dengan penggambaran subyek semacam itu Chusin ingin menampilkan subyek yang “tidak sadar kamera” dan karena itu subyek tidak berusaha menunjukkan sesuatu citra atau kepentingan lain. Chusin mengemukakan ia tidak ingin membuat poster yang biasanya menampilkan pesan. Chusin tidak ingin lukisannya menampilkan sesuatu pendapat dan ia menghindari konspirasi di antara dia sebagai pelukis dan subyek lukisannya dalam menyampaikan sesuatu pernyataan. Chusin mendambakan kejujuruan padanya maupun pada subyek yang dilukisnya. Penggambaran ini mengandung renungan yang mengganggu perasaannya karena tidak mudah mencapai kesimpulan.

Chusin tertarik pada Bali karena memperlihatkan kultur artistik—ini sebabnya ia menetap di Bali. Namun ia tidak bisa memastikan pendapatnya tentang Bali. Ia tertarik pada tradisi Bali namun ia melihat kritis pada pendapat yang mempropagandakan perlunya konservasi tradisi. Ia menangkap perubahan sosial di Bali dan ini tercermin pada berbagai obyek dalam lukisannya—kantung plastik, ikan asin, sepeda motor, truk, timbangan, uang. Namun, tiga lukisannya yang mengangkat tema "Pasar Kintamani" mencerminkan perasaannya menyayangkan pengubahan pasar tradisional ini menjadi pasar modern berdasarkan program pembangunan pemerintah.

Kintamani Market III (di Bali) , 2004, 130X180 oil on canvas

Ia mengemukakan, setelah tinggal 20 tahun lebih di Bali ia merasa tidak bisa menemukan tradisi Bali yang sebenarnya. Pandangan yang terkesan membingungkan itu ternyata punya dasar. Sekarang ini sedang berkembang pada wacana global art kecenderungan mengkaji ulang pemahaman tentang ethnicity. Pangkalnya adalah kegelisahan para kurator museum ethnography di Eropa dan Amerika Serikat yang merasa museum jenis ini bertumpu pada persepsi kolonial. Dari persoalan ini hasil-hasil kajian etnologi dan antropologi tentang masyarakt di daerah bekas koloni ikut dipertanyakan. 

Kajian yang cenderung mencari keunikan dan keaslian ini seringakali mengabaikan perubahan sosial akibat modernisasi—kajian inilah yang melihat perlunya konservasi tradisi. Padangan-pandangan yang dibangun dari kajian-kajian ini ternyata menjadi dominan dan dipercaya. Padangan-pandangan ini—yang mengandung persepsi kolonial—digunakan berbagai masyarakat yang masih terikat tradisi untuk memahami identitas mereka. Bali tidak terkecuali dan kenyataan ini yang membuat tradisi Bali yang sebenarnya secara masuk akal memang menjadi kabur. (18)

Di antara semua lukisan Chusin bertema Bali itu ada beberapa lukisan yang harus dikecualikan; empat lukisan yang masing-masing Gadis Puri I (1991), Sight (1994), Gadis Puri II (1994), dan, (1996). Lukisan-lukisan ini menampilkan seorang anak perempuan dalam kostum Bali (model keempat lukisan ini, sama). Pose anak perempuan pada tiga dari empat lukisan ini frontal; anak perempuan ini sadar kamera, matanya menatap kamera.

Dalam perkembangan lukisannya sejak 2006, gejala yang terasa tidak biasa itu, menjadi jelas. Pose frontal itu ditampilkan Chsuin karena subyek yang dilukisnya anak-anak. Kecenderungan ini cukup jelas terlihat pada perkembangan 2006 karena tema anak-anak mendominasi perkembangan ini.

Kids-of-Kintamani 150x285, Oil on canvas 2010 tn

Chusin seperti berubah sikap ketika menghadapi anak-anak. Ia seperti meninggalkan sikap tidak berpendapat. Pada kebanyakan lukisannya, Chusin berusaha tidak merekam emosi, karena ia berusaha mencari karakter yang mendasar. Namun pada lukisan-lukisan yang mengangkat anak-anak sebagai subyek, ia berusaha merekam emosi mereka. Chusin sendiri tidak menahan emosinya ketika melukis. Kali ini ia seperti mencoba menyatukan subyektivitas padanya dan subyektivitas pada subyek yang dilukisnya. Ia tidak terlalu peduli apa, lukisannya akan menjadi seperti poster atau tidak. Namun lLukisan-lukisannya kemudian justru menguatkan tampilan perilaku mendasar pada anak-anak—rasa ingin tahu, ceria, tidak peduli, malu, excited, menebak perasaan orang—yang tidak segera tampak pada foto dan kenyataan.

Gejala emosional itu menguatkan dimensi gambar pada lukisan-lukisan Chusin. Garis-garis arsir pada gambar-gambar ini merumit. Pada sejumlah lukisan—di antaranya, Kids of Kintamani I, II(2010), Street Boy (2010), Kuta (2011)—garis-garis ini (bersama warna-warna dengan spektrum primer) membangun kesan komikal yang menunjukkan keinginan menampilkan narasi. Anak-anak yang dilukisnya (aboutness pada lukisannya) mempengaruhi kondisi mental Chusin dan juga bahasa ungkapannya yang tampil sebagai pengolahan artistik. Gejala ini menunjukkan proses penerjemahan mental language.

Penutup
Kendati pemahaman lukisan realistik Chusin bisa dijelaskan masih ada jarak di antara pemahaman ini dengan wacana seni rupa yang diyakini mendasari perkembangan seni rupa dunia. Masih diperlukan diskusi, bahkan perdebatan bila jarak ini mau didekatkan. Namun peluang untuk pertemuan pikiran ini belum terbuka walau tidak bisa dibilang “tertutup” seperti terjadi pada perkembangan seni rupa dunia tiga puluh tahun yang lalu.

Pangkalnya adalah sulitnya membangkitkan keyakinan bahwa tidak masuk akal menuntut karya-karya Chusin—dan banyak karya seniman yang berkarya di luar Eropa, Amerika Serikat—didasarkan wacana seni rupa yang mendasari seni rupa dunia. Pemahaman lukisan Chusin menunjukkan akan salah bila lukisan realistiknya dibaca sebagai menyalin realitas mengikuti wacana seni lukis realistik yang dikenal pada perkembangan wacana seni rupa. Pembacaan ini akan tersesat lebih jauh bila penyalinan realitas ini dihubungkan dengan representasi dan tegangannya dengan bahasa dalam lingkup filsafat.

Seperti dikemukakan Bambang Sugiharto persoalan representasi, bahasa literal dan teks bertumpu pada perkembangan filsafat selama berabad-abad (pada masyarakat Barat). Bandingkan dengan pemahamannya di Indonesia yang baru muncul pada tahun 1993 bersama riuhnya pembicaraan tentang post-modernisme—sebelumnya persoalan ini dipahami hanya di lingkungan pendidikan filsafat. Pada tahun 1993 itu di berbagai diskusi terlihat bahkan para pemikir tertatih-tatih mencari pengertian “representasi”. Kendati berbagai refrensi dikaji—secara dadakan—dan sebagian pemikir membuat definisi ringkas untuk kebutuhan praktis, tidak bisa dihindari terjadi pemahaman yang simpang siur tentang apa sebenarnya representasi. Tapi apa pun yang dilakukan, mustahil memahami persoalan representasi pada isu post-modernisme tanpa memahami sejarahnya.

Melihat keadaan seperti itu mustahil mengharapkan seniman di Indonesia, yang tentunya punya jarak dengan dunia pemikiran, untuk memahami persoalan itu. Padahal untuk dijadikan dasar pemikiran pada ungkapan, penguasaan persoalan ini tidak bisa berhenti hanya pada pemahaman dan pemikiran. Pemahaman dan pemikiran pada ungkapan seni berkaitan dengan kesadaran dan keyakinan yang memerlukan pemahaman lanjut.

Di tengah kemustahilan itu, pemikiran Bambang Sugiharto tentang bahasa metaforis, terasa lebih masuk akal kendati punya kaitan dengan filsafat (yang berkembang di dunia Barat) karena pemikiran ini kembali ke dasar pemikiran dan mendekati gejala fundamental pada manusia. Mediasi pemikiran ini dengan pemikiran Arthur Danto menunjuk pemikiran yang punya kemungkinan memendekkan jarak pemahaman seni yang berkembang di luar Eropa, Amerika Serikat dengan wacana seni rupa (dunia). Pemikiran ini, estetika Abad ke 19. Kendati berada di lingkungan filsafat, pandangannya tentang pengalaman merasakan keindahan dekat juga dengan gejala fundamental pada manusia. Berangkat dari kesamaan fundamental berbagai kebedaan pada perkembangan seni rupa dunia lebih mudah dipahami—Chusin dan “perkawinan” seni lukis realistik di China pada awal Abad ke-20, sebuah contoh.

Catatan Akhir:

  • (1) American Comics. Nicky Wright. Prion Books Ltd. London. 2000. Hal.2-3.
  • (2) Dalam What is Cinema?. Andre Bazin. University of California Press. Berkeley. 1967. Hal. 9-16.
  • (3) The Body/Body Problem. Arthur C. Danto. University of California Press. Berkeley. 2001. Hal. 12. 
  • (4) Dalam buku Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat. Ignatius Bambang Sugiharto. Kanisius, Yogyakarta. 1996. Buku ini menguraikan secara komprehensif latar belakang pergolakan pemikiran yang memunculkan isu postmodernisme—istilah yang tidak pernah disepakati pengertiannya. Namun buku ini bukan cuma uraian tentang, apakah postmodernisme. Dalam buku ini bisa ditemukan visi Bambang Sugiharto tentang bahasa metoforis yang bisa dilihat sebagai teori yang lahir dari pikiran dan pengalamannya.
  • (5) Keadaan ini berakhir dengan jatuhnya Jendral Suharto dari kursi kepresidenan pada 1998. Presiden-presiden sipil sesudah Suharto (Abdurachman Wahid dan Megawati Sukarno) mencabut berbagai ketentuan pemerintah yang mendiskriminasikan masyarakat Tionghoa. 
  • (6) “Lee Man Fong, Oil Painting Made Oreintal”. K.C.Low. Dalam The Oil Painting of Lee Man-Fong.K.C.Low (ed.). Art Book. Co. Taipei. 1984. Hal. 9. 
  • (7) “My Views on Painting”. Lee Man-Fong. Opcit. Hal.11
  • (8) “The Artist Lee Man-Fong”. Leong San. Opcit Hal.12.
  • (9) Ibid. Hal.13.
  • (10) “Art Journey on Realism in China in 20th Century.” Position paper Cao Tai, kurator Guangdong Museum, China pada seminar. “Realism in Asia”. National Museum of Contemporary Art, Seoul. Korea. Juli. 2007.
  • (11) Titik Sambung – Barli Dalam Wacana Seni Lukis Indonesia. Jim Supangkat. Etnobook, Jakarta.1996. Hal. 48-49. 
  • (12) Ibid. Hal.52-53.
  • (13) “Painstaking Realism in Indonesian Contemporary Painting”. Pengantar kuratorial. Jim Supangkat. Katalog Pameran The Mutation. The Japan Foundation Forum, Tokyo. Agustus 1997.
  • (14) Ibid.
  • (15) The Body/Body Problem. Ibid. Hal.1-18.
  • (16) Opcit. Hal.20-21.
  • (17) Bizarre Sex. Roy Eskapa. Grafton. London. 1987. Hal. 169-182.
  • (18) “Ethnicity Now”. Pengantar Kuratorial. Jim Supangkat. Katalog pameran Ethnicity Now. Galeri Nasional, Jakarta. Desember 2010.
KEPUSTAKAAN
http://en.wikipedia.org/wiki/Jim_Supangkat
http://cp-foundation.org/past/chusin2011_low.html



[1] Artikel di Harian Kompas, 9 September 1975.


Disukai Pengunjung