Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Selasa, 13 November 2018

Sebuah Catatan Perjalanan Sanggar "Bumi Seni Rupa" Padang

Oleh Nasbahry Couto

Sejak tanggal 10 Nopember, sanggar Bumi yang diketuai oleh Wisran Hadi (Alm), yang bergerak dibidang sastra, drama pertunjukan, dan seni rupa mengadakan festifal di Taman Budaya Padang. Acara ini berlangsung sampai hari rabu tanggal 14 Nopember, dengan berbagai acara, diantaranya pameran. Penulis diminta untuk mengisi katalog pameran yang berlangsung. Dan inilah uraian tentang pameran itu.
Dari berbagai sumber yang terpercaya[1]] , kehidupan sanggar di Sumatera Barat, khususnya di kota Padang mulai hidup kembali  sekitar tahun 1970-an. Yaitu di tempat yang di sebut PKP (Pusat Kesenian Padang) yang dipimpin saat itu oleh Mursal Esten. Tempat itu adalah bekas lokasi Padang Fair. Tercatat saat itu beberapa buah sanggar-sanggar seni seperti “ Bumi Seni Rupa”, yang dipimpin oleh Wisran Hadi, Sanggar “Sangka” untuk membina siswa SRRI  Padang yang diketuai oleh Hasnul Kabri, sanggar “Dayung-dayung” yang dibina oleh A. Alin De, Sanggar “Pratiwi” yang di asuh oleh Sabri Jamal, sanggar “Canting” oleh Muzni Ramanto dan Ady Rosa. Jadi pameran yang disajikan sekarang ini adalah hasil karya sanggar Seni Rupa Bumi yang sebelumnya dipimpin oleh Wisran Hadi (alm).

Dengan melihat pelaku seni yang berpameran sekarang ini ternyata seperti A. Alin De (alm), Bodi Dharma, dan beberapa nama lainnya -- yang tadinya beraktifitas di tempat dan sanggar lain --mungkin pada suatu ketika pernah berpartisipasi di sanggar bumi ini. Sehingga masuk kedalam daftar peserta pameran.

Artinya penulis melihat pameran ini adalah semacam “kilas balik”, yaitu pameran yang lebih menonjolkan aspek sejarah dan latar belakang sebuah kelompok seniman yang sehaluan dalam melaksanakan aksi seninya. Boleh dikatakan juga pameran dua generasi sebab seperti Wisran Hadi (1945), Upita Agustine (1947), Darvies Rasydin (1948) dengan Amrianis (1960), Asri Rosdi (1960) dan bahkan Trikora Irianto (1961) dapat dikatakan berselisih satu generasi[2]].

Walaupun berselisih satu generasi atau berada diantara dua generasi ini nampaknya ada satu garis pengikat mereka yaitu pendidikan di SSRI Padang (1965), yang tokoh-tokoh pemikirnya kebanyakan berasal dari dari Sekolah Tinggi Seni Rupa Yogyakarta. Siklus atau rotasi pendidikan ini dalam kenyataannya tidak berubah sampai sekarang, sebab setamat dari SMK 4 (jurusan seni rupa/visual), berlanjut ke jurusan Seni Rupa UNP, Padang, Terus Ke ISI Yogyakarta, sebagai basis puncak pendidikan Seni terakhir dengan pilihan terbaik untuk bekerja sebagai seniman atau pilihan lain menjadi guru/dosen.

Tetapi ada juga diantara peserta pameran ini  seperti Amrizal Salayan yang tidak mengikuti pola ini sebab beliau setelah mengenyam pendidikan di IKIP Padang dan meneruskan pendidikannya di ITB dan juga sempat mengajar sebagai dosen luar biasa di sana. Boleh dikatakan tidak ada seniman yang pernah aktif di Sanggar Bumi ini yang tidak mengenyam pendidikan baik setingkat sekolah menengah maupun setingkat perguruan tinggi. Bahkan seperti Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib (Upita Agustine) adalah sarjana Pertanian, dan tentu saja dalam hal pendidikan seni beliau belajar sendiri (otodidak). Dan Trikora Irianto, adalah lulusan STM Bangunan yang masuk ke Jurusan Seni Rupa IKIP Padang. Jalur lain adalah pendidikan INS Kayu tanam seperti Asri Rosdi dan Body Dharma. Dan penulis melihat apapun latar belakangnya, pendorong utama adalah tetap bakat dan dorongan batin untuk memasuki dunia seni.

Narasi dalam Seni Lukis
Dengan demikian lukisan atau karya dipamerkan dalam pameran ini juga bisa bervariasi dalam hal teknik maupun gaya seninya.[3]] Namun salah satu karakteristik lukisan dari anggota kelompok sanggar Seni Rupa bumi ini adalah sifat naratif dari karya mereka. Jim Supangkat melalui tulisannya yang berjudul ”Narasi dalam Seni Rupa Indonesia” dalam Modernitas Indonesia dalam Representasi Seni Rupa [4]] mendefinisikan seni rupa naratif dengan mengetengahkan beberapa ciri, yakni dikuasai imajinasi dan perasaan daripada persepsi rasional tentang kenyataan, susunan elemen rupa yang senantiasa ramai, dan kecenderungan mengambil ide dari cerita

Menurut Dr. Acep Iwan Saidi (2007) kata naratif atau narasi dalam klausa karya rupa naratif bukan berasal dari ranah seni rupa, melainkan merupakan pinjaman dari disiplin lain, yakni kesusastraan. Dalam dunia sastra narasi atau narrative (Inggris) berada pada subranah prosa atau cerita rekaan. Subranah ini terdiri atas roman, novel, novelet, cerita bersambung, dan cerita pendek. Hakikat prosa adalah peristiwa, tidak ada cerita jika tidak ada peristiwa. Selanjutnya, dari segi struktur prosa terdiri atas dua bagian, yakni struktur fisik dan struktur tematik. Dari struktur fisiknya cerita terdiri atas beberapa aspek, yakni peristiwa, tokoh dan penokohan, setting (latar), dan alur (plot). Hakikat cerita, sebagaimana telah disinggung, adalah peristiwa dan dalam peristiwa tokoh selalu menjadi pusat. Dengan demikian, peristiwa dan tokoh menjadi bagian utama aspek fisik cerita. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa aspek lain tidak penting. Semua aspek cerita harus hadir dalam cerita. Relasi antar unsur itulah yang kemudian membentuk struktur dan kesatuan cerita. [5]]

Bertolak dari pemahaman dasar tersebut kita baru bisa memeriksa struktur naratif dalam karya rupa. Secara ideal, sebuah karya rupa bisa dibilang naratif jika unsur-unsur dalam cerita tadi dapat terpenuhi. Tapi, tentu saja hal itu nyaris tidak mungkin. Karya rupa, bagaimanapun, merupakan genre yang sama sekali berbeda dengan karya sastra. Karya rupa naratif tidak bercerita secara verbal sebagaimana halnya sastra. Oleh sebab itu, acuan bagi karya rupa naratif bersifat spesifik, berbeda dengan acuan bagi narasi dalam sastra.

Menurut Dr. Acep Iwan Saidi, pada dasarnya, elemen-elemen ini sama dengan elemen-elemen dalam narasi sastra seperti telah disebutkan. Hanya bedanya, dalam karya rupa elemen-elemen tersebut tidak harus seluruhnya hadir. Sebuah karya rupa bisa disebut bercerita jika, misalnya, terdapat elemen tokoh dan ruang yang berelasi membangun peristiwa. Jika relasi demikian terbangun, elemen-elemen lain dan ceritanya akan terbangun secara in absentia (implisit).

Cerita yang terbangun secara in absentia adalah cerita yang secara imajinatif terbangun pada persepsi pengamat setelah melihat gambar atau lukisan yang disebut dengan after image [6]]. Dapat dikatakan setelah seseorang melihat sesuatu, akan meninggalkan jejak penglihatan, atau jejak memori.  Dalam karya seni rupa, selengkap apapun elemen-elemen cerita itu terlihat secara eksplisit, ceritanya tetap akan terbangun secara inabsentia. Saidi (2007) memberikan contoh karya Dede Eri Supria bejudul Balada Seorang Penarik Gerobak.

Disimpulkan oleh Saidi (2007) bahwa lukisan Balada Seorang Penarik Gerobak adalah sebuah karya yang bercerita tentang nasib tragis seorang penarik gerobak yang hidup di tengah himpitan kehidupan kota yang keras. Silhuet gedung tinggi yang melatari adegan si penarik gerobak menunjukkan bahwa peristiwanya terjadi di sebuah kota besar. Sementara itu, gambar yang terdiri atas beberapa adegan (sequence) menunjukkan bahwa peristiwa terjadi dari waktu ke waktu. Adegan dalam waktu yang menunjukkan posisi si penarik gerobak yang kian terpuruk menunjukkan bahwa dalam kehidupannya nasib si penarik gerobak yang semakin merana atau tragis bukan sebaliknya.

Hal yang sama kita lihat pada  lukisan-lukisan Amrianis “Forestmail” (2018). Orang-orang yang berteriak seakan menarik pengunjung dan mengacungkan produk tertentu, dengan latar rimba pepohonan dan  di bagian atas tertulis big sale atau tulisan-tulisan yang hanya ada di mall atau supermarket.


Lukisan Amrianis, “Forestmail” (2018)
Atau lukisan Body Dharma “Mairiak” dan Maimbau Panen”, yang meminjam figur tubuh manusia  sebagai alat komposisi lukisannya seakan menari di atas bidang lukisan. Narasi itu muncul  baik melalui judul lukisan maupun hubungan yang dibangun diantara elemen visual seperti lumbung padi (rangkiang), orang memegang tongkat memukul padi dan menyabit. Tetapi elemen-elemen itu sudah di stilasi sedemikian rupa, misalnya orang tidak lagi digambarkan bermata dua, tetapi satu mata. Artinya tanpa melihat judul kita masih nampak melihat hubungan diantara elemen yang membangun cerita pada masing-masing lukisan yang dipamerkan
.
Lukisan Body Dharma, Mairiak”, Aclilik (104x76 cm)

Soal narasi ini tidak usah diuraikan kepada seluruh karya yang dipamerkan, pengamat lukisan akan tahu apa yang dimaksud dengan “álam negriku” karya Jamal Djaenan, atau “suara hati Nuraniku” karya Syahrizal Zain Koto, atau “batabuik” karya  Tamsil Rosa. Atau karya Trikora Irianto dengan karyanya “bunga liar” dan “Menanti”.

Disimpulkan oleh Saidi (2007) bahwa sifat naratif karya senirupa adalah (1) terbangun secara implisit (in-absentia )[7]]  dalam kepala apresiator (afterimage ). 2) elemen-elemen visual pembentuk narasi tidak selalu harus hadir seluruhnya dan minimal ada dua elemen yang saling berelasi, 3) Di samping dua elemen visual yang hadir secara in-absentia, elemen lain juga bisa muncul secara in absentia. 4) Judul berfungsi sebagai petunjuk langsung yang bisa mengindetifikasi peristiwa, tokoh, ruang, dan waktu. 

Namun, judul tidak selalu harus ada. 5) sudut pandang dan vokalisasi  berfungsi mengarahkan apresiator kepada pemahaman tematik karya.6) Narasi narasi tidak terbentuk jika elemen-elemen visual tersebut tidak saling berelasi.7) Elemen-elemen visual tersebut umumnya bersifat simbolik dan bermetafora (perumpamaan).

Sifat naratif seni visual, sebenarnya sebuah kajian yang luas, diantaranya keinginan untuk menafsirkan dan membaca karya seni melalui disiplin ilmu lain: seperti ilmu komunikasi visual,  persepsi, dan termasuk ilmu tanda (semiotika) di mana seniman dianggap sebagai sumber (source) dan pengamat sebagai pembaca (receiver) pesan (massage) yang ingin disampai seniman melalui medium seninya. Dalam hal ini lukisan atau karya seni dianggap mengandung  tanda-tanda yang ingin dikomunikasikan oleh seniman, yang disebut dengan tanda-tanda ekspresi.

Lirisme dan Irama Jiwa
Kecendrungan kedua adalah lirisme dan atau irama jiwa dalam berseni. Gaya seni ini muncul sekitar tahun 1960-an, salah satu contohnya adalah karya pelukis Fadjar Sidik dan Zaini. Menurut Sanento Yuliman Seni lukis pada masa ini, sekalipun bermacam macam coraknya, disatukan oleh suatu ciri, yaitu "lirysisime". Semua itu merupakan ungkapan emosi dan perasaan pelukis dalam mengalami dunia. Sebuah lukisan merupakan bidang ekpresif, tempat seorang pelukis seakan akan memproyeksikan emosi dan getaran perasaannya, merekam kehidupan jiwanya.

Bidang lukisan demikian itu dipandang sebagai dunia imajinasi yang memiliki kodrat sendiri, dunia imajiner ataupun "irreal". Dunia yang tampil pada bidang lukisan itu tidak menyambung dan tidak pula merupakan salinan dari dunia nyata kongkrit dimana kita, penanggap lukisan berada. Ia hadir dalam ruang "maya'. Seakan akan hendak memperkuat sifatnya yang imajiner itulah maka lukisan dibatasi bingkai, "mengucilkan"diri di dinding. Dengan demikian menyajikan rupa yang bukan gambaran benda benda yang kita kenal sekitar kita, melainkan dunia imajinasi, yang dalam lingkungan pigura itu dipandang sebagai penjelmaan perasaan dan batin pelukis dalam mengalami alam dan dunia nyata. Sebuah lukisan ialah dunia imajinasi, dunia liris. Didalamnya pengalaman emosi mengalami penyaringan dan penjelmaan.

Lukisan-lukisan Asri Rosdi dan juga Body Dharma termasuk kategori lirisme ini, kalau tidak dibilang sebagai seni abstrak. Alam lukisannya “paco-paco” adalah koleksi berbagai bentuk potongan yang tidak beraturan,  hal itu sama sekali bukan representasi alam atau realitas yang berkaitan dengan nilai simbolik tertentu.

Lukisan Asri Rosdi,  “Paco-paco 5”

Dengan demikian bentuk dan kumpulan bentuk  mengalir sedemikian rupa yang memungkinkan pengamat boleh menafsirkan secara bebas tentang ilusi apa, atau persepsi sesuai dengan imaji mereka sendiri. Pelukis lebih menekankan bagaimana dalam kanvasnya hadir ekspresi visual yang membuat dinamika, ketegangan, ritme, keseimbangan, atau karakter-karakter lain.

Jika Asri Rosdi membebaskan diri dari figuratif, ada pelukis lain seperti  Alin De, body Dharma, Herismen Is,  Syahrizal Z.K., Tamsil Rosa dan Wisral Hadi  yang juga bersifat lirisme atau mengemukanya Irama Jiwa  dengan meminjam alam sebagai medianya. Hal ini dapat dipahami karena yang digambarkan masih berasosiasi dengan alam tetapi tidak persis menggambarkan alam itu serupa dengan aslinya, yang tergambar adalah pantulan jiwa tentang alam itu.


Karya Alin De, "Perahu" 1997, (cat minyak 22x32

Misalnya pada lukisan perahu (cat minyak 22x32 (1997) karya Alin De yang didominasi oleh warna kuning, biru dan hijau menggambarkan mendung yang bergejolak tanda badai akan tiba, sedangkan perahu terpapar dipinggir pantai kehijauan, awan berkabut dan bergelombang serta suram, yang memancing suasana kepedihan. Dia tidak sekedar menggambarkan alam, tetapi suasana hati, seperti lukisan Van Gogh “ Starry at Night”, yang ditafsirkan banyak kritikus seni  sebagai gejolak perasan religi yang misterius dalam memuja kebesaran Tuhan.

Lukisan Body Dharma, juga bersifat naratif, dan lirisme. Tetapi berbeda  dengan lukisan Alin De yang cendrung mengungkapkan kesedihan dan melankolis. Sebaliknya Body Dharma melukiskan sifat irama jiwa yang gembira yang berpesta-pora dan dan festifal. Distorsi tubuh manusia dan susunan badan manusia yang meliuk-liuk seakan membawa kita ke alam mimpi yang surealistik. Lanskap seperti ini hanya dapat kita temukan dalam mimpi. Tafsiran lain yang muncul adalah tentang kepribadian pelukis yang selalu positif dan gembira dalam menghadapi hidup, lukisan ini  bisa membawa pengaruh positif jika ditampilkan di dalam ruang, terutama rumah sakit, yang dapat mempengaruhi pasien, untuk gembira dan bukannya tambah sakit. Kebanyakan lukisan-lukisan yang dipajang rumah sakit adalah lukisan bunga, tetapi lukisan jenis ini, juga dapat membawa pengaruh positif.


Body Dharma, “Penari III”, Acrilic di atas kertas, (104x76)

Lain lagi dengan Herisman Is, dan Syahrizal Z.K, yang mengisi kanvas dengan dominasi warna biru dan hijau, adalah pertanda pelukis memakai warna alam seperti laut, gunung, sungai dan bukit dan mengabstraksikannya dalam bentuk kabut dan gelombang air, dia menggunakan kuas yang lebar dan menyapukannya warna yang meleleh dengan cepat di atas kanvas. Efek-efek sapuan kuas ini tak lain adalah impresi-impresi lirisme (rekam jejak jiwa) dan berasosiasi dengan alam.


Syahrizal, Z.K, “Suara Hati Nuraniku”, 2016, acrilic di atas kanvas, 140x140

Realisme Jendela dan Koleksi Ingatan (Memori)
Konsekuensi logis dari pengaruh Yogya adalah seni lukis realisme, seni lukis realisme adalah keinginan untuk menggambarkan kenyataan. Dan gaya seni ini pada suatu ketika mendominasi gaya seni lukis di Yogyakarta dengan pelukis rakyatnya. Yang unik dari kategori lukisan yang dipamerkan ini adalah karya Darvies Rasjidin, bukanlah realisme jalanan atau realisme sosial, tetapi realisme jendela.

Seniman ini terkurung di dalam sebuah kamar dan ingatan-ingatan (memori) itu seakan menyesak dada seniman sesuatu yang terpendam dan ingin diungkapkan kembalii. Pelukis seakan berdiri pada sebuah ruang demi ruang, dan memandang ke luar jendela yang menempel di dinding, menengok sebuah panorama lain di luar, yang mungkin adalah kenangan dan realitas di masa lampau. Karya ini bisa puitis seperti karya puisi. Dan juga bisa surealistik.


Darvies Rasyidin, “The Remain of Forgotten palce”, Acrilic di atas canvas, 2012, 150x150

Karya kolase Wisran Hadi juga termasuk kepada keinginan seniman yang ingin mengekpos  kumpulan ingatan, paling tidak dia masih bermain seperti Darvies Rasydin.  Pada karyanya yang berjudul.”rangkayo ndak tahu diuntuang”. Walaupun antara judul dan kolase bisa berseberangan. Namun seperti karya kolase umumnya, elemen benda demi benda adalah bersumber dari memori/ ingatan yang berbeda-beda yang terkumpul atau sengaja dikumpulkan menjadi suatu tema umum dalam berkarya yang sifatnya naratif.


Wisran Hadi, “Rangkayo ndak tahu diuntuang”, Kolase, 1990

Di luar konsep atau ide yang melatar belakangi karya-karya yang dipamerkan, kebanyakan lukisan cukup indah dipandang mata, dan memenuhi syarat sebagai karya yang estetik di luar pro dan kontra tentang gagasan yang ada di baliknya.

Padang, Oktober 2018


[1] Ady Rosa,(2006), Moderenitas Seni Rupa Sumatera Barat, 150 Tahun Sudah, dalam Katalog Pameran “Ngarai Sianok Differenza in Detro uno Passa: 150 Tahun Seni Rupa Sumatera Barat, Padang: Padang Press (hal xiv)
[2] Kriteria Selisih satu generasi terhitung 20-25 tahunan
[3]] penulis sengaja menghindari istilah aliran seni sebab aliran adalah faham seorang seniman atau mazhab seni seorang seniman dalam berkarya, yang sudah tidak relevan lagi di pakai di masa kini. Walaupun ada seniman memiliki pandangan tertentu dalam berkarya, hal ini tergambar dari idenya dalam berkarya. Dan tidak semua karya seni memiliki latar ide yang sama.
[4]]  Katalog Pameran, 1999: 79-81
[5]] Dr.  Acep Iwan Saidi, M. Hum. (2007), Mengenali Narasi Dalam Seni Rupa, dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 12 Tahun 6, Desember 2007
[6] ] Afterimage adalah gambar yang terus muncul dalam visi seseorang setelah ekspos ke gambar asli telah berhenti. Sebuah afterimage mungkin merupakan fenomena normal (afterimage fisiologis) atau mungkin patologis ( palinopsia )/penyakit
[7] ] In absentia adalah istilah dalam bahasa Latin yang secara harfiah berarti "dengan ketidakhadiran". Dalam istilah hukum, pengadilan in absentia adalah sebagai upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Disukai Pengunjung