Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Selasa, 03 Februari 2015

Rekaan Peta Sejarah Seni Rupa Asia Masa Kini: (bagian 7)









Peran Balai Lelang


Vivi Yip South East Asia Painting Department Sotheby’s


Vivi menjelaskan, boom seni rupa terjadi sejak 1999 di Indonesia. Ketika itu Indonesia mengalami krisis moneter, akhirnya orang mencari alternatif investasi yang lain, maka diliriklah karya seni rupa. Namun, menurut Vivi, fenomena ini makin meningkat sejak 2001/2003. Dan, yang paling banyak terkena dampak yang fantastis ini adalah grup modern art.
Sementara seni kontemporer sendiri naik daun mulai tahun 2007. Dan hal ini dimulai dengan terjualnya karya Putu Sutawidjaja seharga setengah miliar rupiah tadi. “Dia pelukis pertama yang mencapai harga itu,” ujar pemilik Vivi Yip Art Room ini. Sejak itu, harga lukisan Indonesia mengalami lonjakan tinggi.

Tak hanya I Nyoman Masriadi yang menikmati harga lukisan yang melambung di Tanah Air. Vivi Yip, wanita yang bekerja di South East Asia Painting Department Sotheby’s dan memimpin Acting Representative Office Sotheby’s di Indonesia, mengungkapkan, karya Putu Sutawidjaja laku seharga Rp 500 juta dalam sebuah event yang diselenggarakan oleh Sotheby’s.

Sebagai gambaran, pada lelang musim gugur Christie’s akhir tahun ini menampilkan karya-karya terbaiknya. Rencananya, karya-karya ini tidak hanya ditampilkan di kawasan Asia, tetapi juga seluruh dunia, termasuk Abu Dhabi, Bangkok, Beijing, Genewa, Jakarta, Moskow, New York, Seoul, Shanghai, Singapura, Taipei dan Tokyo. Contohnya, I Nyoman Masriadi dengan karyanya Soccer diperkirakan harganya berkisar US$ 44.900-64.100.

Lalu, Handiwirmawan Sahputra dengan karyanya Seri Kertas Lipat II yang dihargai US$ 25.600-35.900. Sementara Hendra Gunawan (almarhum) dengan karyanya Flower Vendors diperkirakan harganya US$ 25.600-35.900. Harga tersebut terlihat bersaing ketat dengan produk lukisan asal Cina. Sebutlah, Xin Haizhou dengan karyanya yang berjudul Raving Goldfish Meeting diperkirakan berharga US$ 25.600-32.100. Lalu, bandingkan pula dengan Kuo Wei Guo dengan karyanya yang berjudul Sofa’s Codeword yang bertengger di angka US$ 20.500-30.800. Adapun Pan Dehai memiliki karya yang berjudul The Laborer No 15 bernilai Rp 38.500-51.300.

Vivi menjelaskan, saat ini di kancah bisnis lukisan di Tanah Air, ada sebutan bagi sejumlah pelukis berharga mahal dari grup modern art. Namanya, Grup Jendela. Mereka adalah I Nyoman Masriadi, Yunisar, Alfie, Yusra, dan Agus Suwage. Mereka disebut sebagai Big Boys dengan a lot of zero number. Artinya, karyanya berharga miliaran. Selain mereka, ada nama lain seperti Rudi Manthovani, Handi Firman, Jumaldi Alfi, Rudi Kustarto, Heridono, Budi Kustarto, dan Samsul Arifin.

Mereka umumnya pelukis jebolan perguruan tinggi dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya. ”Hanya Agus Suwage yang alumni ITB,” ujar Kuss Indarto, pengamat bisnis lukisan asal Yogya.

“Harga bisa tinggi, jika demand dan supply-nya tidak seimbang, hukum ekonomilah. Tapi setahu saya, memang ada pihak yang membuat agar demand dan supply-nya tidak seimbang. Istilahnya digoreng, diciptakan,” ujar Vivi. Namun, harga karya seni yang tinggi karena proses natural dengan yang prosesnya diciptakan sangat berbeda. Yang diciptakan, ia yakin tak akan bertahan lama. Harga natural tercipta karena demand-nya banyak dan harga memang terjadi di situ. Toh, “Seni akan selalu punya tempat. Seniman yang baik selalu punya tempat di hati kolektornya. Kolektor yang benar akan melihat kualitas, bukan hanya dilihat nilai uangnya,” papar Vivi.

Unggulan Balai Lelang: Nyoman Masriadi, Lee Ufan, dan Zeng Fanzhi
Dewi Ria, Posted 18 September, 2013.
http://www.sarasvati.co.id/auction-market/09/penghargaan-asia-society-untuk-nyoman-masriadi-lee-ufan-dan-zeng-fanzhi/
Ketiga seniman ini tak hanya mewakili perkembangan karya dari negaranya, namun juga memberikan gambaran penting tentang perjalanan perkembangan seni rupa kontemporer di Asia.
Bukan tanpa maksud ketika Asia Society memberikan penghargaan khusus kepada tiga seniman dari tiga negara berikut ini: China, Korea Selatan, dan Indonesia dalam sebuah perhelatan yang berlangsung pada Mei 2013. Tiga negara ini dalam satu dasawarsa ini, memperlihatkan perkembangan yang terus menanjak baik dalam hal pencapaian estetika maupun dalam art market.

url6_small
Zeng FANZHI’s, Hospital Series, 1994, oil on canvas, 179.1 x 199.4 cm

Di balai lelang-balai lelang internasional, harga karya seni dari tiga negara ini, mencatat angka penjualan yang cukup signifikan. Namun di luar itu, sebagai lembaga nirlaba, Asia Society tentu saja lebih menekankan pada pandangan capaian kualitas artistik ketimbang art market, meski salah satu ukuran pengakuan kualitas adalah nilai nominal karya tersebut.

Landasan pencapaian kualitas inilah yang melatarbelakangi Asia Society untuk memilih Lee Ufan (Korea Selatan), Zeng Fanzhi (China) , dan Nyoman Masriadi (Indonesia). Ketiganya merupakan seniman yang memiliki reputasi internasional dan berhasil menjadikan karya-karya mereka sebagai bagian penting perjalanan perkembangan seni rupa kontemporer di Asia.

Lee Ufan misalnya. Meski berasal dari Korea Selatan, ia justru tercatat sebagai seniman yang menancapkan reputasinya di Jepang. Lahir di Korea Selatan pada tahun 1936, ia pindah ke Jepang pada tahun 1956 dan kemudian mendapatkan gelar sarjana filsafat dari Nihon University. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, ia terkenal sebagai praktisi gerakan avant garde Mono-ha, yang muncul pertama kali di Jepang sebagai gerakan seni kontemporer pada akhir 1960-an. Gerakan ini mendasarkan diri pada aktivitas berkesenian yang antiformal dan bereksperiman pada pengolahan materi.

Dikenal dengan julukan philosopher-artist, Lee Ufan telah banyak berpameran di tingkat internasional sejak tahun 1967. Salah satu pameran yang memperlihatkan perhatian Barat pada karya-karyanya adalah ketika Solomon R. Guggenheim Museum mengadakan pameran retrospeksi lima dekade perjalanannya sebagai seniman pada Juni 2011 dengan judul Lee Ufan: Marking Infinity. Selain sebagai seniman, sejak tahun 1973, Lee Ufan mengajar di Tama Art University di Tokyo.

Reputasi internasional juga dimiliki Zheng Fanzhi, yang harga karyanya paling tinggi di antara pelukis China kontemporer lainnya. Bahkan berdasarkan Contemporary Art Market 2011/2012 dari ArtPrice, karya Fanzhi berada di posisi dua, tepat di bawahnya Jean-Michel Basquiat. Harga karyanya bahkan mengungguli Christopher Wool dan Damien Hirst.

Meski belum memiliki kelas setinggi Lee Ufan dan Zeng Fanzhi, Nyoman Masriadi juga termasuk seniman “berharga mahal” di Indonesia. Pada ajang Art Stage Singapura 2013 Januari lalu, karyanya berada di posisi kedua setelah karya Hiroshi Senju dari Jepang.
Di Contemporary Art Market 2011/2012 dari ArtPrice, Masriadi berada di posisi nomor 95, turun dari posisi 82 yang diraihnya pada tahun 2011. Dalam catatan penjualan karya tahun 2012 tersebut, Masriadi merupakan seniman Indonesia kedua dalam 100 peringkat setelah Ay Tjoe Christine di posisi 90.

Karya Masriadi memiliki ciri khas yang kerap menggambarkan figur-figur superhumanyang berakar pada sejarah budaya Indonesia. Dengan gaya witty dan menyindir, Masriadi menyampaikan komentar sosial dengan meminjam bahasa ungkap budaya pop. Pada tahun 2008, Singapore Art Museum menggelar pameran 10 tahun kariernya sebagai perupa.
Dengan latar belakang seperti itu, wajar jika ketiganya terpilih oleh Asia Society untuk mendapatkan penghargaan yang baru pertama ini dilakukan. Melissa Chiu, Direktur Asia Society Museum di New York dan Vice President of the Society’s Global Arts Programming ketika ditanya alasan pihaknya memilih ketiganya, menyatakan bahwa masing-masing dari mereka merepresentasikan lintasan dan praktik-praktik artistik yang berbeda.

guggenheim_1-1-1024x822_small
Lee Ufan, From Line, Pigment suspended in glue on canvas, 18 x 20 inches

“Lee Ufan dinilai sebagai salah satu figur kunci dalam sejarah seni rupa di Asia, dan dihormati atas tulisan dan karya seninya, terutama dengan gerakan Mono-ha di Jepang pada tahun 1960-an. Zeng Fanzhi telah memainkan peran penting dalam pembentukan ranah seni kontemporer di China, terutama saat negara ini mendapatkan pengakuan internasional pada tahun 1990-an. Dan Masriadi, meski karya-karyanya baru-baru ini saja mendapatkan perhatian internasional di luar Indonesia, ia telah melukis selama dua puluh tahun dengan karya-karya yang substansial,” ujar Melissa Chiu.

Penghargaan yang baru pertama kali ini dilakukan sempat memunculkan dugaan bahwa yayasan ini baru memberikan pengakuan ketika pasar seni rupa dunia saat ini tengah memutar arah ke Asia – terutama jika dikaitkan dengan perkembangan ekonomi dunia. Apalagi pemberikan anugerah ini dalam bulan dan kota yang sama dengan digelarnya Art Basel Hong Kong – art fair yang memang bertujuan untuk kegiatan perdagangan – yang berlangsung pada 23-26 Mei. Sementara acara anugerah dari Asia Society ini berlangsung pada 20 Mei di kantor pusat Asia Society di Hong Kong.

Namun anggapan ini langsung disanggah oleh Melissa Chiu yang menyatakan bahwa penghargaan ini bertepatan dengan keberadaan kantor baru Asia Society di Hong Kong. “Asia Society sudah terlebih dahulu mengenali karya-karya seni kontemporer Asia. Program pameran kami telah dimulai pada 1990-an – jauh sebelum muncul banyak museum dan jauh sebelum ada sistem galeri di pasar seni rupa. Dengan gedung pertama kami di Hong Kong, kami ingin melanjutkan usaha perintisan ini dengan memberikan penghargaan kepada beberapa seniman yang telah membuat kontribusi nyata di bidang ini,” kata Chiu sambil menambahkan bahwa pihaknya merencanakan pemberian anugerah ini sebagai acara tahunan.  Berdekatannya acara Asia Society dengan Art Basel, menurut peraih gelar PhD tentang seni kontemporer China dari University of Western Sydney ini, lebih dikarenakan supaya para crowd seni rupa bisa datang ke Hong Kong dalam waktu yang berdekatan.

Meski menampik bahwa acara gala penganugerahan ini tidak berkaitan dengan art market, namun Asia Society menempatkan beberapa pemilik galeri dan kolektor sebagai dewan kehormatan (honorary chairs). Mereka adalah Silas Chou – pengusaha yang masuk 50 orang terkaya di Hong Kong, Deddy Kusuma – kolektor dari Indonesia, Yoshiko Mori – Chairperson dari Mori Art Museum, Maggie Me-Hui Tsai, Larry Gagosian – American Art Dealer, Li Lanfang, Hyun Sook Lee dari Kukje Gallery, dan Jasdeep Sandhu dari Gajah Gallery SIngapura.

Pilihan-2_small
I Nyoman Masriadi, Pretending to be Prudent, 2010, acrylic on canvas, 200 x 300 cm

Terhadap hal ini, Chiu menilai bahwa keterlibatan kalangan “art market” justru memperlihatkan sebuah pertumbuhan, dan hal ini merupakan bagian penting dalam sebuah ekologi yang dewasa dan beragam yang sudah seharusnya melibatkan organisasi seniman, museum, galeri, dan balai lelang. “Kekayaan dalamart fair merefleksikan pertumbuhan art market secara global. Saya tidak melihat hal ini sebagai perkembangan positif atau negatif. Ketika dunia seni berekspansi dengan lebih banyak museum, galeri, dan art fair, kita memiliki lebih banyak peluang untuk menikmati seni,” ujar perempuan kelahiran Darwin, Australia ini.





Latar Belakang Tokoh  I Nyoman Masriadi

Pengalaman hidup I Nyoman Masriadi mulai sejak menawarkan produknya sendiri ke pasaran Bahkan, ia sempat pindah ke Bali dan memproduksi lukisan potret penari legong untuk cenderamata dan dijual di Pasar Kintamani. Tahun 1998, ia mencoba membuat lukisan serius, tapi tak satu pun pemilik galeri di Bali yang mau menerimanya karena dianggap murahan. Akhir 1998, ia balik ke Yogya dan tinggal di rumah kontrakan yang sederhana di kawasan Sonosewu, Bantul. Kenangan yang tak terlupakan setelah balik ke Kota Gudeg itu, sebuah karyanya terjual dengan harga Rp 1,5 juta oleh Siswanto, kolektor lukisan yang juga bos Mirota.

Nama Nyoman mulai menanjak setelah ada pihak lain yang mengajaknya kerja sama. Tahun 2000-2003, ia sempat bekerja sama dengan seorang pedagang lukisan bernama Eddy Djoen. Setelah lepas dengan Eddy Djoen, ia digandeng Edwin Gallery yang berakhir tahun 2006. Selama dua tahun terakhir, Nyoman direngkuh Jasdip, pengelola Gajah Gallery dari Singapura yang ternyata bekerja sama dengan seniman lain dari Yogya, Yunizar. Sejak itu, Nyoman mengalami lompatan luar biasa. Namanya mulai berkibar di luar negeri. Jasdip memang tidak tanggung-tanggung mempromosikan Nyoman Masriadi, baik dengan melakukan pameran di berbagai negara maupun promosi lewat media luar negeri. “Pak Jasdip benar-benar kerja keras untuk membesarkan saya,” ujarnya.

Main games jadi bagian dari keseharian I Nyoman Masriadi belakangan ini. Maklum, pelukis asal Yogya ini sekarang menjadi OKB alias orang kaya baru. Sejak harga lukisannya menembus angka Rp 10 miliar dalam sebuah pameran tunggal di Singapura beberapa waktu lalu, namanya kian beken. Sayang, lukisan itu bukan miliknya lagi, melainkan seorang kolektor yang menjualnya kembali. Toh, dampaknya luar biasa. Setelah kejadian itu, ia berhasil menjual lukisannya yang berjudul Aku Dapat seharga Rp 1,8 miliar kepada pebisnis asal Semarang, Dedy Kusuma. Karena membuat lukisan tidak setiap hari, Nyoman punya waktu banyak, di antaranya untuk main games. “Kadang, kalau sudah main games bisa berlama-lama, hitungannya bukan jam, tapi hari. Ia bisa lupa dengan apa saja,” kata Anna, sang istri, yang juga diamini pelukis berusia 35 tahun itu.

Kegiatan main games sebenarnya bukan tanpa alasan. Pria yang baru saja membeli rumah bergaya kubisme seharga Rp 5 miliar di Kota Gudeg itu mengungkapkan, saat ini makin banyak orang yang mencari karya lukisannya, bahkan antre. Hal ini memacunya untuk selektif dalam berkarya. Ayah dari Bangsa Ganisha (10 tahun) dan Pucuk Cemara (6 tahun) ini merasa perlu melakukan kontemplasi. Kalau sedang tidak mood, ia tidak ingin memaksa diri untuk melukis. Pada saat seperti itu, ia lebih suka bermain video games, sebuah fasilitas yang sudah tersedia lengkap di rumahnya.

Berdasarkan pengamatan Kuss Indarto, Nyoman merupakan seniman yang fenomenal. Ia melesat dalam tempo yang terbilang singkat. Dalam dua tahun ini, harga lukisannya melesat bak meteor. Karya yang dinilai lebih dinamis dan memiliki karakter ini banyak dinanti para kolektor, baik di dalam maupun luar negeri. Yang jelas, karya-karya Nyoman berbeda dari karya seniman Bali pada umumnya yang bergaya abstrak ekspresionisme. Akibatnya, ada yang menunggu lukisannya hingga tiga tahun. “Nyoman memilih gaya kubisme, ia meninggalkan pola yang selama ini dianut kawan-kawannya sesama seniman Bali,”

Pendapat Kus Indarto tentang Balai Lelang


Menurut Kuss Indarto, saat ini dunia seni lukis dikuasai pelukis-pelukis muda. Mereka dianggap lebih dinamis dan bisa memenuhi selera para penikmat seni lukis. Munculnya sederet nama pelukis top tersebut, tidak lepas dari peran pengelola galeri yang bekerja keras untuk bisa memasarkan karya mereka. Dan agaknya, untuk menggapai sukses, bagi seorang pelukis, bekerja sama dengan pengelola galeri, menjadi syarat wajib.

Berdasarkan pengamatan Kuss Indarto, pola kerja sama tersebut biasanya berdasarkan bagi hasil. Berapa pun harga lukisan terjual, akan dibagi dua antara pelukis dan pihak galeri. Besarnya persentase tergantung pada kesepakatan di antara mereka. Yang lazim, persentasenya 50:50 atau 40:60 dari harga jual riil lukisan. Sebagai gambaran, sebuah lukisan yang laku Rp 100 juta, dibagi dua Rp 50 juta untuk pelukis dan Rp 50 juta sisanya untuk pengelola galeri. “Selama ini, kami sepakat untuk berbagi 50:50 dengan Pak Jasdip,” kata Nyoman.

Berbicara tentang persentase, Vivi yang terhitung baru mendirikan galeri ini memiliki komposisi bagi hasil galeri 40% dan 60% bagi pelukisnya. “Bagi saya, yang terpenting saya suka dulu dan saya harus yakin dengan perupanya,” ujar lulusan Desain Grafis Universitas Trisakti, Jakarta ini. Pengalamannya selama 10 tahun di Sotheby’s banyak digunakan untuk mengembangkan galerinya, seperti networking klien.

Menurut I Nyoman Masriadi, wajarlah pihak galeri mendapat bagian sebesar itu, karena perannya memang sedemikian besar untuk membesarkan seorang pelukis. Pihak galerilah yang mengeluarkan semua biaya untuk pameran ataupun promosi lainnya, termasuk membayar kurator agar lukisan laku terjual.

Toh, Vivi berpendapat, hanya sedikit galeri yang mau mempromosikan para pelukisnya. “Galeri itu bukan hanya wadah jualan barang-barang seni, tapi juga harusnya mempromosikan karya yang disimpannya, yang menjadi represent-nya,” ujar wanita yang pernah bekerja di bidang kehumasan ini. Oleh karena itu, ia berpendapat rumah lelang di Indonesia – terutama rumah lelang internasional – sangat membantu terkereknya harga karya lukisan. Menurutnya, dari 10 galeri, hanya satu yang mau melakukan promosi, selebihnya hanya tempat jualan ataupun transaksi.

Peran rumah lelang ini dikritik Kuss. Menurutnya, belakangan ini sistem pemasaran lukisan di Indonesia rusak. Hal ini terjadi karena sudah tidak mengikuti mekanisme pasar. Seharusnya karya lukis dijual lewat galeri, tapi kenyataannya sekarang justru banyak rumah lelang yang memburu lukisan langsung ke seniman secara door-to-door. “Sebenanrya ada aturan bahwa sebuah karya lukis baru bisa dijual setelah lima tahun, tapi kenyataannya baru rampung dilukis sudah ditunggu pembeli dari rumah lelang,” ujar Kuss.

Dari pengamatan Kuss, selama ini pelukis yang berkembang pesat rata-rata merupakan pelukis yang menjalin kerja sama dengan galeri yang punya koneksi di dalam dan luar negeri. Mereka antara lain, Budi Kustaro yang dikontrak Sokka Art Spice Taiwan. Ada tiga seniman lagi, Putu Sutawidjaja, Eko Nugroho dan Handi Firman yang dimanajemeni Willy Valentine Arts Space milik Willy Valentine di Kuala Lumpur dan Singapura.

Adapun nama-nama galeri besar di Indonesia yang menjalin kerja sama dengan galeri di luar negeri adalah Nadi Gallery (milik Biantoro), Vannesa (milik Vannesa), Canna Gallery (Sutomo), Langgeng Gallery-Magelang, Edwin Gallery, Mon Décor (Martha Gunawan), Linda (Linda Ma) yang banyak pameran di Cina, dan ARK (Ronald Akili bekerja sama dengan Jansen Gunawan).

Fenomena di Indonesia ini tak bisa dihindari. Dalam pandangan Kuss, di era sekarang, area perdagangan karya seni lukis tidak lagi mengenal batas wilayah negara. Kini event-event pameran dan lelang karya pelukis asing sering digelar di dalam negeri. Sementara itu, tidak sedikit pula seniman dalam negeri yang mengadakan pameran ke luar negeri. Sehingga, terjadilah persaingan bebas antara seniman, baik di dalam maupun luar negeri. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para seniman di dalam negeri, bukan hanya dalam upaya meningkatkan kualitas karya seninya, melainkan juga profesionalitas dalam manajemen penjualan. Apalagi, para kolektor kini bebas menentukan pilihan untuk mengoleksi karya lukis yang dikehendaki. Mereka memilih karya dari kualitas, bukan dari asal negara pelukisnya. “Sekarang ini, banyak kolektor dalam negeri yang menyimpan karya pelukis asing,” ujar alumni ISI Yogya itu.

Gairah bisnis lukisan di Indonesia, seperti diungkapkan Kuss, ternyata tidak lepas dari boom bisnis lukisan di Cina. Menurut Kuss, sejak beberapa tahun terakhir, banyak orang kaya baru di Cina yang hobi menjadi kolektor lukisan. Ini didorong kebijakan pemerintah yang mendirikan ribuan museum seni di berbagai kota di Negeri Tirai Bambu itu.

Hal ini diamini Vivi. Ia melihat, karya kontemporer Indonesia kecipratan dari Cina. Karena itulah, jika strukturnya tidak kuat, dikhawatirkan pelukisnya yang akan menjadi korban. Apalagi jika para perupa itu tidak dikelola oleh siapa pun dan tidak diwakili oleh galeri.

Walaupun pasar di luar negeri bergairah, di Indonesia sendiri dianggap lahan yang cukup subur untuk pasar lukisan, karena memang banyak kolektor top yang siap menampung karya lukisan terbaik. Kolektor yang cukup dikenal antara lain Haryanto Adikoesoemo, Fransiscus Affandi, Rudy Akili, Philip Augier, Fauzi Bowo, Ciputra, Tossin Himawan, Sutanto Joso, Eddy Katimansyah, Cahyadi Kumala, Dedy Kusuma, Oei Hong Djien, Helmut & Henny Paasch, Alexandra Prasetio, James Riady, Sunarjo Sampurna, Budi Setiadharma, Poppy H. Setiawan, Ismail Sofyan, Inka Utan, dan Yusuf Wanandi. “Saat ini, Hong Djien merupakan kolektor terbesar karena menyimpan tiga ribu lukisan di museum pribadinya,” ujar Kuss. Membuat musem pribadi, tambahnya, menjadi tren beberapa kolektor. Selain Oei Hong Djien, ada nama Rudy Akili, bos Smiling Tour, yang juga memiliki museum pribadi.

Vivi menuturkan, karya Indonesia di Asia berada di posisi keempat setelah Cina, Jepang dan Korea. Indonesia memiliki banyak talenta, terutama dibanding negara di Asia Tenggara. Dijelaskan Vivi, Sotheby’s membangun seni rupa kontemporer mulai dari Indonesia. Alasannya, perupa Indonesia secara kualitas sudah jadi. Galeri-galeri di Indonesia dinilai aktif dibanding negara tetangga lainnya. Ketika Sotheby’s mencoba section karya kontemporer, Vivi yang kala itu bertanggung jawab atas proyek tersebut, tidak kesulitan mencari perupa-perupa yang akan mendukung hajat Sotheby’s. Ketika itu ia memulai dengan 15 perupa asal Indonesia seperti Nasirun, Agus Suwage, Rudi Manthovani dan Yunisar. “Kami melihat waktu itu, suplai karya seni rupa masih kurang. Dalam arti jika melihat karya Sudjojono, Affandi, Hendra dan nama besar lain, terbatas karyanya dan sudah tiada. Sedangkan kolektor makin banyak, tapi karyanya terbatas,” tutur Vivi.

Pendapat Taufik Razen



Fenomena lukisan booming di Indonesia tak luput dari pengamatan Taufik Razen, pengamat perkembangan seni rupa di Indonesia sekaligus kurator dan budayawan. “Sekarang, tiba-tiba seni atau industri kreatif dijadikan ukuran dalam masyarakat yang sangat masif ini,” ungkap Taufik. Hal ini terjadi karena ia melihat karya seni rupa bisa menjembatani dua hal, diakui banyak orang (artinya orang tahu atau menyaksikan harga suatu karya seni mahal) dan menjadi simbol nilai pertukaran kekayaan. Taufik mengatakan, mereka yang overlikuiditas meletakkan kekayaannya di seni rupa. Pasalnya, seni rupa bendanya ada, seninya bisa dilihat, bisa bertahan lama dan bisa dijadikan spekulasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Disukai Pengunjung