Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Selasa, 03 Februari 2015

AIAE: Peran Institusi Seni dalam seni Rupa Kontemporer (bagian 6).

Nasbahry Couto








6. AIAE: Peran Institusi Seni dalam seni Rupa Kontemporer (bagian 6)


AIAE: Pameran “The 22nd Asian International Art Exhibition”

https://ilhamkhoiri.wordpress.com/2010/12/31/mereka-reka-seni-rupa-asia/
Mereka-reka Seni Rupa Asia. December 31, 2010 by ilham khoiri

Sejak awal tahun 1990-an, sejumlah negara di kawasan Asia mulai menggalang kekuatan seraya menyodorkan diri dalam peta seni rupa dunia. Hingga kini, upaya itu sulit menghasilkan  tawaran yang benar-benar otentik, apalagi menggeser praktik seni rupa Eropa dan Amerika Serikat yang mapan. Memang, identifikasi “Asia” menghadapi banyak tegangan.

Menyangkut wacana seni rupa Asia itu, The 22nd Asian International Art Exhibition (AIAE) di Selasar Sunaryo Art Space di Bukit Pakar Timur, Bandung, 24 November-23 Desember 2007, bisa memicuperbincangan menarik. Pameran yang diselenggarakan Indonesian Commite for The Federation of Asian Artists (FAA), Pusat Penelitian Seni ITB, dan Selasar Sunaryo Bandung, itu diikuti 140 seniman dari 10 negara, yaitu Indonesia, China, Hongkong, Jepang, Korea, Makau, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam.    

Dengan mengusung tema Imagining Asia: Understanding the Diversityand Changes, perhelatan ini berusaha memaparkan perkembangan terbaru seni rupa Asia di tengah dunia yang terus berubah ini. Apakah karya- karya yang dipajang cukup berhasil mencerminkan keragaman dan perubahan Asia, sebagaimana dituju tajuk pameran itu? Sebagian karya seniman Indonesia cukup memperlihatkan semangat itu.

AIAE biasa digelar bergilir di negara-negara Asia dengan menyertakan karya anggota FAA, dan seniman luar sesekali diundang. Khusus untuk pameran AIAE ke-22 tahun 2007, panitia Indonesia
menerapkan kurasi terbuka yang dilakukan Agung Hujatnikajennong dan Aminudin TH Siregar. Terjaringlah 42 seniman, antara lain Setiawan Sabana, AD Pirous, Sunaryo, Agus Suwage, Arahmaiani, Dikdik Sayahdikumulah, Handiwirman, Rudi Mantofani, Heri Dono, S Teddy,Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, dan Yani Mariani Sastranegara.

Partisipasi sejumlah seniman kontemporer nonanggota FAA itu memberikan sumbangsih berharga. Sebagian karya merekamenyuguhkan kekuatan dalam pengolahan tema, material, dan penyajian visual. Lukisan, patung, video, dan instalasi menggambarkan penjelajahan serius untuk merumuskan diri di tengah riuh rendah dunia seni rupa.

Hal ini dapat dilihat dari karya  instalasi karya Heri Dono, Licking the Money. Ada lima kepala manusia yang sama-sama menjulurkan lidah panjang untuk menjilat uang ratusan ribu yang disodorkan lima tangan di depannya. Dengan visual yang menggigit, karya ini telak menyoroti fenomena, betapa uang bisa membeli apa saja di negeri ini, termasuk hukum.

Karya Rudi Mantofani, gitar berleher panjang berjudul Nada yang Hilang, juga memikat. Begitu pula instalasi air Handiwirman Saputra, Sama Tinggi Sama Rendah, serta video Arahmaiani, Stiching the Wound. Setidaknya karya mereka menawarkan bahasa rupa yang lebih segar ketimbang lukisan beberapa seniman senior yang cenderung mengulang pendekatan artistik lama.

Kemudian bagaimana dengan karya seniman dari negara lain? Sebagian besar seniman luar negeri adalah anggota FAA yang kebanyakan berasal dari lingkungan akademis di perguruan tinggi seni. Keterlibatan mereka rata-rata lebih dilandasi keanggotaan dalam forum AIAE, bukan dipilih melalui sistem kurasi terbuka dengan menimbang pencapaian kreativitas seni. Pola itu membawa konsekuensi, tak semua peserta dari luar negeri mencakup seniman-seniman terbaik di negerinya atau yang tengah berkibar-kibar di pasar seni rupa kontemporer.

Gamang    

Meski tidak tergambar pada semua negara, pameran ini tetap penting sebagai pijakan awal untuk mengidentifikasi wajah seni rupa Asia. Bermacam karya semakin menegaskan, kawasan ini tengah mengalami pergulatan sosial, ekonomi, dan budaya yang kompleks.

Itu belum memperhitungkan keragaman budaya, etnis, bahasa, dan agama. Dalam semua perbedaan itu, sejumlah negara Asia diikat oleh persamaan nasib sebagai dunia ketiga yang menanggung masalah pembangunan, psikologi poskolonial, urbanisasi, dan serbuan kapitalisme global. Pergulatan dengan berbagai persoalan ini kerap menyeret bangsa Asia dalam situasi serba gamang.  Menurut pengamat budaya dari Universitas Parahyangan, Bandung, I Bambang Sugiharto, negara-negara Asia terjepit oleh keinginan mencari kembali nilai komunal, tetapi juga berhadapan dengan kebutuhan untuk mendapatkan otonomi individu sebagai subyek. Saat bersamaan, muncul iming-iming dunia kapitalisme yang kuat serta tekanan dari agama.

 “Identifikasi menjadi penting untuk memperkuat diri sebagai subyek yang otentik di tengah simpang siur kehidupan. Identifikasi ini bukan sesuatu yang fixed, melainkan berproses. Seniman Asia terus ditantang untuk membentuk kriteria estetik sendiri, mencari kemungkinan baru,” katanya.

Swadaya

AIAE dirintis oleh sejumlah seniman dari Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan serta diselenggarakan kali pertama di Seoul, Korea Selatan, tahun 1985. Indonesia mulai diundang dalam pameran ke-5 di Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 1990. Saat itu, sejumlah seniman yang ikut menggelar karya, antara lain AD Pirous, Sunaryo, Setiawan Sabana, Erna G Pirous, Umi Dachlan, dan Heyi Ma’mun.  Tahun 1992, Indonesia pertama kali dipercaya menjadi tuan rumah dengan mengambil tempat di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung. Kelangsungan kegiatan pameran selama 22 tahun hingga sekarang tentu mencatatkan prestasi tersendiri. Sistem pendanaan yang ditanggung para seniman, tanpa membebani negara tuan rumah atau pemerintah, menjadi alternatif penyelenggaraan pameran tingkat regional yang lebih otonom dan independen.

“Biasanya seniman peserta hadir pada setiap pembukaan pameran. Dengan begitu, kegiatan ini lebih merupakan ajang silaturahmi, jembatan kebudayaan antarseniman dari berbagai negara di Asia,” kata AD Pirous, yang menjadi Ketua Komite Indonesia 1990-2002.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Disukai Pengunjung