Nasbahry Couto
6. AIAE: Peran Institusi Seni dalam seni Rupa Kontemporer (bagian 6)
AIAE: Pameran “The 22nd Asian International Art Exhibition”
https://ilhamkhoiri.wordpress.com/2010/12/31/mereka-reka-seni-rupa-asia/
Mereka-reka Seni Rupa Asia. December 31, 2010 by ilham khoiri
Sejak awal tahun 1990-an, sejumlah negara di kawasan Asia
mulai menggalang kekuatan seraya menyodorkan diri dalam peta seni rupa dunia.
Hingga kini, upaya itu sulit menghasilkan
tawaran yang benar-benar otentik, apalagi menggeser praktik seni rupa
Eropa dan Amerika Serikat yang mapan. Memang, identifikasi “Asia” menghadapi
banyak tegangan.
Menyangkut wacana seni rupa Asia itu, The 22nd Asian International
Art Exhibition (AIAE) di Selasar Sunaryo Art Space di Bukit Pakar Timur,
Bandung, 24 November-23 Desember 2007, bisa memicuperbincangan menarik. Pameran
yang diselenggarakan Indonesian Commite for The Federation of Asian Artists
(FAA), Pusat Penelitian Seni ITB, dan Selasar Sunaryo Bandung, itu diikuti 140
seniman dari 10 negara, yaitu Indonesia, China, Hongkong, Jepang, Korea, Makau,
Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam.
Dengan mengusung tema Imagining Asia: Understanding the
Diversityand Changes, perhelatan ini berusaha memaparkan perkembangan terbaru
seni rupa Asia di tengah dunia yang terus berubah ini. Apakah karya- karya yang
dipajang cukup berhasil mencerminkan keragaman dan perubahan Asia, sebagaimana
dituju tajuk pameran itu? Sebagian karya seniman Indonesia cukup memperlihatkan
semangat itu.
AIAE biasa digelar bergilir di negara-negara Asia
dengan menyertakan karya anggota FAA, dan seniman luar sesekali diundang.
Khusus untuk pameran AIAE ke-22 tahun 2007, panitia Indonesia
menerapkan kurasi terbuka yang dilakukan Agung
Hujatnikajennong dan Aminudin TH Siregar. Terjaringlah 42 seniman, antara lain
Setiawan Sabana, AD Pirous, Sunaryo, Agus Suwage, Arahmaiani, Dikdik
Sayahdikumulah, Handiwirman, Rudi Mantofani, Heri Dono, S Teddy,Tisna Sanjaya,
Ugo Untoro, dan Yani Mariani Sastranegara.
Partisipasi sejumlah seniman kontemporer nonanggota FAA itu
memberikan sumbangsih berharga. Sebagian karya merekamenyuguhkan kekuatan dalam
pengolahan tema, material, dan penyajian visual. Lukisan, patung, video, dan
instalasi menggambarkan penjelajahan serius untuk merumuskan diri di tengah
riuh rendah dunia seni rupa.
Hal ini dapat dilihat dari karya instalasi karya Heri Dono, Licking the Money.
Ada lima kepala manusia yang sama-sama menjulurkan lidah panjang untuk menjilat
uang ratusan ribu yang disodorkan lima tangan di depannya. Dengan visual yang
menggigit, karya ini telak menyoroti fenomena, betapa uang bisa membeli apa
saja di negeri ini, termasuk hukum.
Karya Rudi Mantofani, gitar berleher panjang berjudul Nada
yang Hilang, juga memikat. Begitu pula instalasi air Handiwirman Saputra, Sama
Tinggi Sama Rendah, serta video Arahmaiani, Stiching the Wound. Setidaknya
karya mereka menawarkan bahasa rupa yang lebih segar ketimbang lukisan beberapa
seniman senior yang cenderung mengulang pendekatan artistik lama.
Kemudian bagaimana dengan karya seniman dari negara lain?
Sebagian besar seniman luar negeri adalah anggota FAA yang kebanyakan berasal
dari lingkungan akademis di perguruan tinggi seni. Keterlibatan mereka
rata-rata lebih dilandasi keanggotaan dalam forum AIAE, bukan dipilih melalui
sistem kurasi terbuka dengan menimbang pencapaian kreativitas seni. Pola itu
membawa konsekuensi, tak semua peserta dari luar negeri mencakup seniman-seniman
terbaik di negerinya atau yang tengah berkibar-kibar di pasar seni rupa
kontemporer.
Gamang
Meski tidak tergambar pada semua negara, pameran ini tetap
penting sebagai pijakan awal untuk mengidentifikasi wajah seni rupa Asia.
Bermacam karya semakin menegaskan, kawasan ini tengah mengalami pergulatan
sosial, ekonomi, dan budaya yang kompleks.
Itu belum memperhitungkan keragaman budaya, etnis, bahasa,
dan agama. Dalam semua perbedaan itu, sejumlah negara Asia diikat oleh
persamaan nasib sebagai dunia ketiga yang menanggung masalah pembangunan,
psikologi poskolonial, urbanisasi, dan serbuan kapitalisme global. Pergulatan
dengan berbagai persoalan ini kerap menyeret bangsa Asia dalam situasi serba
gamang. Menurut pengamat budaya dari
Universitas Parahyangan, Bandung, I Bambang Sugiharto, negara-negara Asia
terjepit oleh keinginan mencari kembali nilai komunal, tetapi juga berhadapan
dengan kebutuhan untuk mendapatkan otonomi individu sebagai subyek. Saat
bersamaan, muncul iming-iming dunia kapitalisme yang kuat serta tekanan dari
agama.
“Identifikasi menjadi
penting untuk memperkuat diri sebagai subyek yang otentik di tengah simpang
siur kehidupan. Identifikasi ini bukan sesuatu yang fixed, melainkan berproses.
Seniman Asia terus ditantang untuk membentuk kriteria estetik sendiri, mencari
kemungkinan baru,” katanya.
Swadaya
AIAE dirintis oleh sejumlah seniman dari Korea Selatan,
Jepang, dan Taiwan serta diselenggarakan kali pertama di Seoul, Korea Selatan,
tahun 1985. Indonesia mulai diundang dalam pameran ke-5 di Kuala Lumpur,
Malaysia, tahun 1990. Saat itu, sejumlah seniman yang ikut menggelar karya,
antara lain AD Pirous, Sunaryo, Setiawan Sabana, Erna G Pirous, Umi Dachlan,
dan Heyi Ma’mun. Tahun 1992, Indonesia
pertama kali dipercaya menjadi tuan rumah dengan mengambil tempat di Gedung
Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung. Kelangsungan kegiatan pameran selama 22
tahun hingga sekarang tentu mencatatkan prestasi tersendiri. Sistem pendanaan
yang ditanggung para seniman, tanpa membebani negara tuan rumah atau
pemerintah, menjadi alternatif penyelenggaraan pameran tingkat regional yang
lebih otonom dan independen.
“Biasanya seniman peserta hadir pada setiap pembukaan
pameran. Dengan begitu, kegiatan ini lebih merupakan ajang silaturahmi,
jembatan kebudayaan antarseniman dari berbagai negara di Asia,” kata AD Pirous,
yang menjadi Ketua Komite Indonesia 1990-2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar