Nasbahry Couto
Imaji Visual Asia Tenggara (Bagian 5)
Moetaryanto: Sunday, October 26, 2008
Berbicara mengenai Asia Tenggara, menjadi mahfum ketika saat
ini banyak menjadi sorotan karena beberapa negara-negara di bagian ini
menunjukkan kepesatan tingkat perekonomian mereka. Dalam dunia politik dan
kebudayaan, kita mengenal jargon ”hubungan government to government” dan
”people to people”. Ketegangan-ketegangan yang terjadi antar pemerintah dari
dua negara, misalnya, tak selamanya identik dengan yang terjadi pada hubungan
antar masyarakatnya, khususnya para senimannya. Dan ketika berbicara pada kotak
kesenian dan kebudayaan, sepertinya akan sepakat, bahwa seni dan budaya menjadi
salah satu perekat hubungan bilateral maupun multilateral masing-masing negara.
Dimana terkadang, seni dan budaya seperti tidak terpengaruh akan fluktuasi suhu
politik mau pun ekonomi. Malah selama ini nyaris tak pernah terdengar
ketegangan yang serius di antara para seniman dari negara-negara Asia Tenggara.
Seni juga bisa menjadi obrolan yang panas pada forum formal mau pun unformal
kita di era lintas batas saat ini.
Menjadi bagian dari negara yang berposisi di Asia Tenggara,
Indonesia memiliki peranan penting memeriahkan peta seni rupa global. Di tengah
gencarnya promosi karya-karya perupa-perupa Indonesia di luar negeri, serta
persaingan wacana pasar dan pasar wacana seni rupa Asia saat ini. Maka, sangat
tepat ketika gagasan pameran seni visual perupa-perupa Asia Tenggara ’T.V-I.M’
di Jogja Gallery, Yogyakarta, 17 Oktober – 2 November 2008 ini diselenggarakan.
Tepat diselenggarakan di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, dimana di kota
inilah pergerakan seni rupa muncul dan menguat. Tepat, di saat fokus seni rupa
global saat ini mengarah pada karya-karya perupa asal Asia Tenggara. Saya
gembira Jogja Gallery dapat menyelenggarakan pameran ini. Sebab dengan begitu
para seniman dapat saling bertukar informasi, memperluas wawasan,
membanding-bandingkan, dan lebih dari itu adalah memahami apa yang ingin
disampaikan oleh para seniman yang ikut terlibat dalam pameran ini.
Bersama dengan perupa-perupa asal Thailand, Vietnam dan
Malaysia mari kita saksikan bersama bagaimana tema-tema indigenous muncul dalam
kemasan kontemporer. Karya-karya dari negara-negara tetangga kita, yang kadang
terasa jauh padahal dekat, kadang tak masuk dalam perhitungan padahal tetap
eksis. Bagaimana keunikan, orisinalitas dan rasa kebangsaan mungkin masih
terasa kental dimunculkan lewat karya-karya yang tersajikan kali ini.
Kita tahu, yang diungkapkan dalam seni adalah campuran dari
macam-macam perasaan, imajinasi, khayalan, impian, dorongan, naluri, ide-ide,
pendapat, yang semuanya berpusat pada nilai estetis karyanya. Sebab seniman
pertama-tama didorong oleh nilai keindahan, meskipun bukan keindahan dalam
pengertian dangkal.
Meski penyelenggara sadar, belum sepenuhnya bisa menampilkan
representasi karya semua negara di Asia Tenggara, setidaknya dan semoga pameran
kali ini menambah kerekatan hubungan antar infrastruktur seni kita dengan
banyaknya agenda acara pendukung yang menyertai digelarnya perhelatan ini.
Menjadi mata rantai yang tak berujung antara perupa, kolektor dan pecinta seni.
Juga mengingatkan kembali akan posisi penting perkembangan seni rupa kita di
peta Asia Tenggara khususnya dan internasional pada umumnya.
Seni yang baik bisa mengungkapkan keluhuran, keindahan,
keanehan, kelucuan, kegembiraan, dan bahkan kekejaman manusia. Seni yang baik
juga bisa mengagetkan, menimbulkan kontroversi, dan terkesan provokatif. Sebab
melalui karya-karyanya, seniman memprovokasi kita untuk bisa membuka dimensi
yang lebih mendalam dari realitas dunia, realitas manusia.
Selamat berpameran kepada para perupa, selamat menikmati
karya-karya yang tersajikan kepada para penikmat seni. Tak lupa, Jogja Gallery,
Kelompok Seringgit dan Art Societes mengucapkan terima kasih atas apresiasi
seluruh mitra kerja, rekan-rekan media, sponsor dan pendukung pameran ini. Kami
tak pupus berharap, melalui pameran ini, semoga kita tak pernah lelah
berkompromi untuk terus memajukan seni rupa kita.
Karya Seniman Indonesia Kurang Dikenal Publik Internasional
23 Mei, 2011 - 08:34
NEW YORK, (PRLM).- Agus Suwage, Masriadi, Arahmaiani, dan
Heri Dono adalah sejumlah perupa muda Indonesia yang bermunculan dalam sepuluh
tahun belakangan. Karya-karya mereka tidak sebatas pada lukisan, tetapi juga
memanfaatkan elemen video, kain, atau benda-benda lain yang ditata secara
artistik, sehingga lahirlah istilah seni rupa kontemporer.
Mereka inilah generasi baru seni rupa Indonesia, yang
sebelumnya didominasi karya-karya Affandi, Basuki Abdullah, Joko Pekik, Hardi
dan lain-lain.
Sayangnya, hasil karya kontemporer Indonesia ini tidak banyak
dikenal oleh publik internasional. Kesempatan mereka untuk mengadakan pameran
di pusat-pusat seni Eropa atau Amerika Serikat, juga tidak sebesar para seniman
Cina dan India.
Melissa Chiu, sumber: http://hirshhorn.si.edu/wp-content/uploads/2015/07/staff_chiu.jpg
Topik ini diangkat dalam obrolan seni bersama Melissa Chiu,
Direktur Asia Society Museum New York, Amerika Serikat Kepada "VOA",
Melissa Chiu mengatakan, pengaruh kemajuan ekonomi dan geopolitik pada kedua
negara tersebut tidak dapat diabaikan.
Kurator seni yang bermukim di New York ini menilai Indonesia
perlu mengundang kurator internasional, agar karya-karya para perupa muda dapat
dikenal luas oleh publik internasional. Peranan kurator yang melakukan seleksi
atas setiap karya seni yang dianggap layak dipasarkan secara global, sangat
penting untuk membuat calon kolektor memahami makna dari setiap karya.
"Saya kira ini lebih kepada dukungan agar Indonesia
lebih banyak lagi mengadakan pameran karya-karya kontemporer, apakah itu
pameran tunggal atau pameran bersama. Boleh juga dalam bentuk pameran online
lewat internet, karena kami ingin lebih banyak lagi melihat ragam seni
kontemporer Indonesia melalui website," kata Melissa Chiu.
Dari data balai lelang Christie’s Hongkong, sepanjang Mei
2011 terdapat 223 seniman Cina yang berhasil menjual lebih dari 700 karya
mereka. Sementara, hanya ada 41 seniman Indonesia, dengan jumlah karya 65 buah.
Dari jumlah tersebut, hanya 8 perupa Indonesia yang karyanya
dihargai di atas 100.000 dolar Amerika. Sedangkan 52 seniman Cina berhasil
menjual 220 karyanya, dengan harga yang sama.
Tapi, Melissa Chiu percaya, seni kontemporer Indonesia bisa
lebih maju. Ia mencontohkan karya-karya Heri Dono, yang bahkan menurutnya cukup
layak dipamerkan di The Museum of Modern Art (MoMA), New York.
Sementara itu, pelukis Astari Rasjid mengatakan seni di
Indonesia berjalan sendiri-sendiri, tanpa dukungan pemerintah. Situasi ini,
menurutnya, jauh berbeda dengan Tiongkok dan India.
“Di Indonesia, tanpa dukungan pemerintah saja kita sudah bila
berjalan sendiri, meskipun tidak maksimal. Kalau Cina itu negara besar dengan
ekonomi yang mulai maju, dan ini termasuk dalam seninya. India dan Thailand
juga. Kita tidak bisa mengemis-ngemis negara lain untuk mempromosikan, karena
itu semua harus dari kita sendiri,” katanya. (A-147)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar