Untuk memahami tren perkembangan Seni Rupa di Indonesia tentu diperlukan membaca dan berdiskusi lebih banyak tentang hal ini. Bahan-bahan ini banyak ditemukan baik dalam pembelajaran sejarah seni yang di ajarkan di perguruan tinggi maupun perkembangan yang terjadi di dunia seni di Indonesia dewasa ini.Seperti yang diketahui sebuah pameran lukisan yang merentang dari 1940-an sampai 1990-an akhir di laksanakan di Sangkring Arts Space. Pameran ini bermaksud memetakan sejarah seni rupa Indonesia dengan menimbang apa yang dipertahankan dan apa yang ditinggalkan dalam perkembangan lukisan-lukisan di Indonesia. Pameran serius berkat dukungan Gajah Gallery Singapura. Aminuddin Th Siregar selaku kurator membagi 6 kelompok dalam sejarah seni rupa indonesia modern semenjak 1948 yang dilakukan S. Sudjojono. Pengelompokan tersebut berdasarkan kurun waktu sepanjang 1948 hingga akhir 1990. Selain lukisan, juga dipamerkan arsip, kutipan, time line sebagai materi pembacaan sejarah seni lukis Indonesia.
Pameran yang didukung Gajah Gallery Singapura ini bermaksud memberi sebuah suguhan kepada publik perihal sejarah seni rupa Indonesia dilihat dari sudut seni lukis. Sebuah pameran yang menawarkan pemahaman sejarah yang jarang dilakukan galeri-galeri di Indonesia. Pameran diselenggarakan di Sangkring Arts Space pada 18-26 November 2013.
Sambungan lihat disini
by Imam Muhtarom, Posted 04 Desember,
2013.
Sebuah
pameran lukisan yang merentang dari 1940-an sampai 1990-an akhir. Pameran ini
bermaksud memetakan sejarah seni rupa Indonesia dengan menimbang apa yang
dipertahankan dan apa yang ditinggalkan dalam lukisan-lukisan itu. Pameran
serius berkat dukungan Gajah Gallery Singapura.
Apa yang penting dalam pameran Seeing Paintings: Conversations Before The End
History di
Sangkring Art Space adalah melihat sejarah seni rupa Indonesia dari karya-karya
lukis. Lukisan-lukisan yang dipamerkan dinilai mewakili semangat zamannya.
Aminuddin Th Siregar selaku kurator membagi 6 kelompok dalam sejarah seni rupa
indonesia modern semenjak 1948 yang dilakukan S. Sudjojono. Pengelompokan
tersebut berdasarkan kurun waktu sepanjang 1948 hingga akhir 1990. Selain
lukisan, juga dipamerkan arsip, kutipan, time line sebagai materi pembacaan
sejarah seni lukis Indonesia.
Pameran yang didukung Gajah
Gallery Singapura ini bermaksud memberi sebuah suguhan kepada publik perihal
sejarah seni rupa Indonesia dilihat dari sudut seni lukis. Sebuah pameran yang
menawarkan pemahaman sejarah yang jarang dilakukan galeri-galeri di Indonesia.
Pameran diselenggarakan di Sangkring Arts Space pada 18-26 November 2013.
Pameran ini bermaksud
membangun lanskap periode sejarah seni rupa Indonesia modern dalam sebuah
pameran dengan menekankan aspek kontinyuitas sekaligus diskontinyuitas. Maksud
dari rumusan sejarah seni lukis ini tidak menggunakan pandangan yang
menempatkan sebuah angkatan yang membedakan dengan angkatan pada generasi
selanjutnya. Pemahaman sejarah yang hendak dibangun dalam pameran ini adalah
menerapkan sisi apa yang disebut sebagai retakan (rupture) yang mula-mula sukar
dipahami tetapi seiring berjalannya waktu apa yang sukar tersebut pelahan-lahan
membentuk pola dan tipe tertentu.
Dengan cara ini sejarawan seni
mencatat tipe tertentu dalam perkembangan sejarah bukan dengan menggolongkan
karya-karya seni setipe, tetapi melihatnya sebagai rangkaian dalam sebuah
proses sejarah yang melanjutkan dan meninggalkan (continue and discontinue) ciri tertentu
dalam perjalanan di dalam ruang dan waktu. Sejarah seni mencatat apa yang
terlihat pada karya seni sekaligus berkait erat dengan situasi kemasyarakatan
yang terus-menerus berjalan.
Dalam perjalanan ruang dan
waktu selama abad 20 ada banyak hal terjadi, khususnya bagaimana semangat
nasionalisme membuncah yang akan melahirkan Indonesia. Masa ini penting bagi
pembentukan seni rupa Indonesia.
Disebut masa penting bagi seni
rupa Indonesia lantaran masa ini benih-benih kesadaran nasionalisme sebagai
negasi atas kolonialisme Belanda. Kesadaran itu berupa penolakan gaya lukisan mooi indie yang dominan pada masa itu yang
dilakukan secara terbuka oleh S. Sudjojono. Lelaki kelahiran 1913 ini
menyatakan pada 1948 bahwa lukisan mooi indie tidak menggambarkan realitas yang ada
pada masa itu. S. Sudjojono menekankan lukisan yang benar-benar menggambarkan
realitas apa adanya. Maka dalam kanvasnya hadir situasi perang kemerdekaan
berupa rakyat sedang mengungsi, para pejuang di medan tempur. Goresan yang
ditorehkan pada kanvas kasar, pilihan warnanya muram, dan tidak enak dipandang
mata bila dibandingkan dengan lukisan mooi indie. S. Sudjojono mengumandangkan
jiwa kethok (tampak) sebagai kredo dalam
membuat karya.
Affandi sudah muncul dengan
karya yang mengangkat kehidupan keseharian pada akhir 1930-an. Objek-objek
keseharian dari kalangan kelas bawah dominan pada lukisan-lukisan Affandi.
Objek-objek yang menjadi perhatian Affandi tidak lain gambaran mengenai rakyat
Indonesia pada masa itu. Rakyat Indonesia yang belum terlembaga. Itulah
realitas keindonesiaan menjelang kelahirannya pada 1945.
Soedibio melukiskan masa
perang pada zaman Jepang. Ia menggarap tema-tema maut yang terkait dengan
penjajahan Jepang. Lukisan berjudul Untukmu Rakyat Yogya (To you people of Yogya) ukuran
200×136 yang dilukis pada 1949 yang dipilih Aminuddin mengesankan situasi
horor, kelam, dan surealis. Namun keseharian tetap menjadi isu utama dalam
lukisan ini.
Demikian juga Sudjana Kerton.
Karyanya berjudul Makan Jagung ukuran 88×72 cm (1988) menggambarkan
orang sedang makan jagung di tengah kebun jagung dan sementara orang lainnya
tengah membakar jagung. Karya ini menghadirkan keseharian sebagai bagian dari
masyarakat Indonesia.
Perkembangan selanjutnya pada
1950-an. Lukisan yang muncul pada masa ini tidak lagi mengikuti S. Sudjojono.
Masa ini mulai mempermasalahkan kanvas sebagai masalah estetik itu sendiri.
Bentuk dari seni lukis itu sendiri yang berkait dengan garis, warna, dan tema
di dalamnya menjadi perhatian utama. Apakah karya-karya itu terkait dengan
lingkungan di mana seniman itu berada, adalah soal lain. Seniman-seniman
tersebut, antara lain Nashar, Rusli, Oesman Effendi, Nasjah Djamin, But
Mochtar, dan Srihadi Soedarsono.
Pada masa ini di Barat sedang
kuat-kuatnya aliran lukisan abstrak sebagai akibat bawaan dari Perang Dingin.
Perupa pada masa ini sudah berkorespondensi dengan perkembangan dan pemikiran
yang sedang terjadi di Barat.
Lukisan Nashar 1950-an Untitled dari akrilik di atas kanvas
ukuran 66 x 99 cm menjelaskan konsepsi yang menguat pada 1950-an ini. Lukisan
tanpa objek alias abstrak dengan pilihan warna biru tua dan dan bidang bawah
hitam. Bahkan, karya ini tanpa judul sebagai pemandu atau kunci untuk
memahaminya.
“Perupa-perupa ini ingin
membedakan dirinya dengan perupa seniornya. Mereka tidak lagi mengikuti apa
yang dikatakan S. Sudjojono, bahkan sering terjadi polemik dengannya, khususnya
Oesman Effendi yang tahu betul seni di Barat saat itu. Pembedaan ini juga
berkait dengan karir yang ingin mereka bangun,” jelas Aminuddin Th Siregar.
Pada karya-karya Amrus
Natalsya, A.D. Pirous, dan Djoko Pekik ada perkembangan lain di sekitar awal
1960-an. Karya Amrus Natalsya dan Djoko Pekik meneruskan tradisi S. Sudjodjono
untuk menghadirkan rakyat ke dalam kanvas mereka, hanya saja dengan cara lebih
simbolik. Wujud karya kedua perupa ini adalah realitas yang terdistorsi.
Lukisan berjudul Melepas Dahaga (85x190cm) karya Amrus Natalsya
disebut Aminuddin terpengaruh oleh gaya lukisan Diego Riviera. Karya yang
dibuat pada 1962 menghadirkan lelaki tengah membenamkan wajahnya di air untuk
minum air. Dengan warna dominan biru, lelaki itu berada di sebuah kebun bunga
dengan latar menara pabrik jauh di belakangnya.
Posisi unik A.D. Pirous
menjadi satu fase bersama Amrus Natalsya dan Djoko Pekik. Karya Pirous
merupakan lukisan pertama yang berupaya simbiosiskan tradisi lokal masuk ke
dalam kanvas, dalam hal ini lokal Aceh berupa relief yang ada di batu nisan
makam di Aceh. Pada masa ini sedang digencarkan perlunya sebuah identitas
nasional yang digalakkan Soekarno.
Pada pameran ini karya yang
dipajang lukisan Tulisan Biru 120x100cm).
Karya yang bertanda tahun 1974 berupa bidang warna biru yang kosong, sementara
di bidang bagian atas muncul tulisan huruf arab dari warna putih. Ada
eksplorasi dari sisi bidang, namun kehadiran huruf Arab di bagian atas memberi
pemaknaan khusus.
Fase yang berikutnya munculnya
karya-karya dari Gerakan Seni Rupa Baru. Gagasan seniman yang ada pada fase ini
dilatari oleh kejenuhan mereka akan karya lukisan yang mengeksploitasi estetika
belaka tanpa menyentuh kenyataan. Mereka mengusung kembali gagasan berkarya
yang dikembalikan dengan mempersoalkan masyarakat di atas kanvas. Selain itu,
gugatan mereka pada berkarya tidak sebatas pada lukisan dan patung, tetapi
meluas ke wilayah seni instalasi dan performance art.
“Karya-karya seniman pada fase
ini sesungguhnya bersikap rileks. Mereka tidak lagi berada di zaman revolusi
melainkan zaman orde baru. Mereka berusaha mengartikulasikan kegelisahan
terkait semangat identitas nasional. Walaupun mereka melontarkan protes kepada
para seniman yang lebih dulu, prinsipnya mereka berempati pada persoalan
kepribadian bangsa,” ucap Aminuddin Th Siegar.
Ada Siti Adiyati, FX Harsono,
dan Dede Eri Supria dalam pameran ini. Karya Siti Adiyati berjudul Figur Terbelenggu (1989) dari cat minyak di atas kanvas.
Karya lini terdiri dari 4 panel yang masing-masing panel berukuran 50x42cm.
Kanvasnya berisi seorang robot sedang mengasuh seorang anak.
Dede Eri Supria dikenal dengan
lukisan yang mengangkat soal-soal perkotaan khususnya keseharian kelas bawah
penghuni kota. Selain mempersoalkan tematik perkotaan, lukisannya juga
mempersoalkan bentuk realis. Pada lukisan The Crossing (1998) ukuran 200×150 cm yang
menggunakan cat minyak, kota yang hadir tidak sepenuhnya realis lantaran bagian
atas tampak lanskap jalan di kota namun bagian bawah lanskap itu bagian dari
sebuah lukisan yang baru diselesaikan. Terjadi persilangan antara apa yang ada
di dalam kanvas dengan kota sebagai subjek lukisan ini.
Di Yogyakarta pada 1980-an ada
kecenderungan menarik dalam penciptaan lukisan. Ada tiga kecenderungan, yaitu,
pertama adanya surealis Yogyakarta. Maksud dari surealis Yogyakarta ini
lukisannya menggunakan gaya surealis dan memasukkan ikon-ikon lokal ke dalam
kanvasnya. Karya Ivan Sagita yang berjudul Sesapi Sapinya Sapi (The Essence of Cow in the Macro and Microsmos)
ukuran 110×140 cm (1989). Sapi sebagai ikon dalam lukisan ini diambil dari
lokal. Lukisan ini masih mengetengahkan realitas berupa sapi tetapi sapi
tersebut tidak punya koneksi dengan realitas. Yang muncul adalah ilusi
realitas. Hal yang sama juga terjadi pada karya Lucia Hartini yang mengangkat
kosmos dan wayang.
Kedua, kalangan para perupa
Bali yang tinggal di Yogya. Pada tahun 1980-an muncul karya lukis yang disebut
dengan “jlebert art” yang secara bentuk disebut ekspresionis. Karya I Made
Djirna, misalnya, menampilkan karya Garis-garis Wajah ukuran 200x150cm (2008) dengan
gunakan media campuran. Lukisan ini dengan tegas entah kemarahan atau kesedihan
lewat pancaran yang memerah yang seakan terpendam dalam kepala. Karya-karya
lain yang dihadirkan bersama I Made Djirna adalah karya Mangu Putra dan I Gak
Murniasih.
I Made Djirna, Garis-garis Wajah (Face Markings), 2008, mixed
media on canvas, 200 x 150 cm
Ketiga, lukisan yang
mengadopsi bahasa wayang untuk menyampaikan soal-soal terkait sosial dan politik
kala itu. Karya-karya Heri Dono baik dalam lukisan maupun karya instalasi dan
kinetik menjadi pelopornya. Karya lukisnya berisi sosok-sosok pipih yang semua
bagian tubuh yang seharusnya tak terlihat mata bisa kita lihat. Sosoknya
lucu-lucu dan kesan main-mainnya terasa kuat. Tidak ada pretensi dalam
karya-karyanya untuk menjadi indah dan serius. Karya Hero Dono pada prinsipnya
dapat mengungkapkan pada perilaku kekuasaan orde baru dengan cara yang
main-main dan ejekan.
Lukisan berjudul Political Acrobat 150x150cm (2001) menunjukkan itu.
Lukisan dengan media campuran adalah sebuah komentar sinis bagaimana UUD 45 dan
TAP MPR dipermainkan manusia berbadan hewan dan manusia tak bertangan tapi
bersayap sedang duduk dalam posisi berak. Meskipun tampak jenaka, jika
direnungkan lebih jauh karya ini mengungkapkan sinisme. Bahasa wayang ini juga
diadopsi oleh Nasirun dan Entang Wiharso dengan karakteristiknya masing-masing.
Perkembangan selanjutnya pada
1990-an perkembangan semakin rumit lantaran sikap yang diambil seniman tidak
hitam-putih sebagaimana generasi sebelumnya. Bentuk-bentuk rupanya bersilangan
yang diambil dari para senior namun digunakan untuk tujuan yang berbeda dengan
para seniornya.
Karya-karya Agus Suwage baik
yang berupa lukisan maupun tiga dimensi menyikapi perkembangan politik maupun
seni dengan rileks. Karya-karyanya secara umum mempersoalkan dirinya sendiri.
Begitu juga Ugo Untoro, Putu Sutawijaya, Handiwirman Saputra, Jumaldi Alfi,
Yunizar, M. Irfan, Ay Tjoe Christine, Dikdik Sayahdikumullah, dan Nyoman
Masriadi. Karya-karya mereka tidak memiliki beban untuk bicara kondisi sosial
maupun politik yang sedang terjadi.
Kelompok Jendela yang karyanya
berkutat pada bentuk kanvas atau objek itu sendiri memberikan sumbangan berupa
bahasa baru. Karya-karya mereka mengetengahkan cara baru dalam menghadikan
hal-hal ke dalam kanvas. Pilihan berkarya pada Handiwirman, misalnya, yang
memberi pengertian baru tentang apa itu seni. Karyanya tidak dengan
mempersoalkan apa yang terjadi di luar kanvas atau objek. Karya mereka
mengkritisi bentuk itu sendiri sehingga mampu menciptakan bahasa baru yang
tidak terpikirkan sebelumnya. Pada karya Handiwirman Saputra, misalnya, pendiri
Kelompok Jendela.
Nasirun, Untitled,
2013, oil on canvas, 250 x 145 cm
Karya Laki-laki kedua di antara tiga figur dengan
bayangan dan garis putus-putus(200x300cm) dibuat menggunakan
akrilik di atas kanvas. Karya yang dibuat pada 2013 ini berupa kanvas warna
biru muda dengan titik hitam yang dihubungkan satu sama lainnya dengan warna
merah seakan sebuah benang, kemudian di pojok atas kanvas ada warna putih tanpa
menyarankan bentuk apa pun.
“Handiwirman menemukan
karakter dalam karyanya tidak begitu saja. Ia menyerap para perupa dari
Sumatera Barat yang gayanya abstrak. Handiwirman begitu dekat dengan karya
Oesman Effendi. Rumahnya di Sumatera Barat bahkan satu kampung. Demikian juga
kedekatan mereka dengan karya-karya Nashar dan Rusli,” jelas Aminuddin yang
juga dosen di FSRD ITB.
Handiwiman Saputra, Laki-laki kedua diantara tiga figur
dengan bayangan dan garis putus-putus, 2013, acrylic on canvas, 300 x 200 cm
Akhirnya, karya-karya Kelompok
Jendela menjadi leading market dan banyak diikuti oleh
seniman-seniman lain. Yang fenomenal di antara karya-karya yang lebih
mempersoalkan bentuk di atas kanvas mereka adalah Nyoman Masriadi. Karya
masriadi cara melukisnya seperti Amrus Natalsya dengan teknik kubistik,
komikal,ilustratif. Karya Masriadi tidak sepenuhnya melepaskan diri dari
komentar sosial-politik di luar kanvas, namun menyisakan sinisme.
Karya Masriadi berjudul Masriadi is the Winner menggunakan akrilik di atas kanvas
dengan ukuran 145 x 200 cm. Karya yang dibuat pada 1999, sebuah titik di mana
situasi politik dan sosial Indonesia di tengah kekacauan sebab peralihan dari
orde baru ke orde reformasi ini tidak selancar yang diharapkan. Timbul khaos
politik dan sosial yang mewarnai masa itu di. Negara dalam posisi lemah untuk
mengontrol wilayahnya.
Masriadi dalam lukisan ini
mengandaikan diri seniman yang berurusan dengan karyanya dan tidak ada
urusannya dengan soal-soal politik. Petinju bercelana putih yang baru saja
melemparkan pukulan tangannya tidak lain alter-ego Masriadi dengan sikap-sikap
keseniannya, sementara petinju celana hitam yang menahan pukulan tidak lain
mewakili gagasan kesenian yang beraspirasikan sosial-politik.
Masriadi memiliki jalur
keseniannya sendiri. Tidak sampai 13 tahun kemudian karya Masriadi memberi
perspektif lain pada karya dalam dua dimensi, lantas diterima pasar, bahkan
menjadi leading market. “Ternyata insting
mereka yang benar,” kata Aminuddin.
Setiap masa dalam seni rupa
pasti melahirkan perupa-perupa yang mewakili zamannya. Memang tidak semua
seniman akhirnya dapat disebut mewakili zamannya. Sejarawan seni dalam
mendudukkan seniman yang dianggap memberi sumbangan pada masanya tidak
sembarangan.
Be Hunted by I Nyoman Masriadi, 150cm x 200 cm, Acrylic on canvas, 2015
Apa yang dirintis Aminuddin Th
Siregar dalam menyusun sejarah seni rupa dalam sebuah pameran ini layak
mendapat sambutan. Dengan mencermati sejarah seni rupa maka generasi sekarang
dapat belajar kepada seniman terdahulu betapa sebuah pencapaian karya artistik
dilakukan dengan sepenuh hati, giat bereksplorasi baik secara sosial maupun
pribadi. Dengan sejarah pula kita dapat belajar tema-tema yang sering muncul
dalam karya-karya mereka, bentuk karya, dan sosiologi seni yang menjelaskan
keberadaan karya-karya mereka.
Dalam pameran yang mendapat
dukungan dari Gajah Gallery Singapura, sebuah pameran seni rupa berbasiskan
riset mendalam dan menjadi sebuah produk pengetahuan yang banyak sekali
manfaatnya. Sehingga setiap perkembangan ada dasar rasionalitas yang menopangnya.
Semestinya, kata Aminuddin Th
Siregar, pameran semacam ini seharusnya diprakarsai oleh Galeri Nasional yang
tugas utamanya mengedukasi publik, khususnya publik seni rupa.
Pameran seni rupa sudah
seharusnya berbasiskan riset yang memadai sehingga akan diketahui kedudukan
seniman dalam pejalanan keseniannya, posisinya dalam perjalanan seni rupa
Indonesia, dan responnya bagi isu-isu sosial yang terjadi pada hari ini.
“Jika tidak, maka seniman
beserta karya-karyanya akan tenggelam. Tidak ada kontribusinya bagi masyarakat
dan secara khusus bagi seni rupa itu sendiri,” kata Aminuddin Th Siregar.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar