Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Minggu, 02 November 2014

Seni Lokal di tengah Mainstream Perkembangan Seni Rupa Indonesia (bagian 4)

Untuk memahami tren perkembangan Seni Rupa di Indonesia tentu diperlukan membaca dan berdiskusi lebih banyak tentang hal ini. Bahan-bahan ini banyak ditemukan baik dalam pembelajaran sejarah seni yang di ajarkan di perguruan tinggi maupun perkembangan yang terjadi di dunia seni di Indonesia dewasa ini.
Seperti yang diketahui sebuah pameran lukisan yang merentang dari 1940-an sampai 1990-an akhir di laksanakan di Sangkring Arts Space. Pameran ini bermaksud memetakan sejarah seni rupa Indonesia dengan menimbang apa yang dipertahankan dan apa yang ditinggalkan dalam perkembangan lukisan-lukisan di Indonesia. Pameran serius berkat dukungan Gajah Gallery Singapura. Aminuddin Th Siregar selaku kurator membagi 6 kelompok dalam sejarah seni rupa indonesia modern semenjak 1948 yang dilakukan S. Sudjojono. Pengelompokan tersebut berdasarkan kurun waktu sepanjang 1948 hingga akhir 1990. Selain lukisan, juga dipamerkan arsip, kutipan, time line sebagai materi pembacaan sejarah seni lukis Indonesia.
Pameran yang didukung Gajah Gallery Singapura ini bermaksud memberi sebuah suguhan kepada publik perihal sejarah seni rupa Indonesia dilihat dari sudut seni lukis. Sebuah pameran yang menawarkan pemahaman sejarah yang jarang dilakukan galeri-galeri di Indonesia. Pameran diselenggarakan di Sangkring Arts Space pada 18-26 November 2013.
Sambungan lihat disini 

by Imam Muhtarom, Posted 04 Desember, 2013.

Soedibio oke

Soedibio, To you People of Jogja, 1949, oil on canvas, 200 x 136 cm

Sebuah pameran lukisan yang merentang dari 1940-an sampai 1990-an akhir. Pameran ini bermaksud memetakan sejarah seni rupa Indonesia dengan menimbang apa yang dipertahankan dan apa yang ditinggalkan dalam lukisan-lukisan itu. Pameran serius berkat dukungan Gajah Gallery Singapura.

Apa yang penting dalam pameran Seeing Paintings: Conversations Before The End History di Sangkring Art Space adalah melihat sejarah seni rupa Indonesia dari karya-karya lukis. Lukisan-lukisan yang dipamerkan dinilai mewakili semangat zamannya. Aminuddin Th Siregar selaku kurator membagi 6 kelompok dalam sejarah seni rupa indonesia modern semenjak 1948 yang dilakukan S. Sudjojono. Pengelompokan tersebut berdasarkan kurun waktu sepanjang 1948 hingga akhir 1990. Selain lukisan, juga dipamerkan arsip, kutipan, time line sebagai materi pembacaan sejarah seni lukis Indonesia.

Pameran yang didukung Gajah Gallery Singapura ini bermaksud memberi sebuah suguhan kepada publik perihal sejarah seni rupa Indonesia dilihat dari sudut seni lukis. Sebuah pameran yang menawarkan pemahaman sejarah yang jarang dilakukan galeri-galeri di Indonesia. Pameran diselenggarakan di Sangkring Arts Space pada 18-26 November 2013.

Pameran ini bermaksud membangun lanskap periode sejarah seni rupa Indonesia modern dalam sebuah pameran dengan menekankan aspek kontinyuitas sekaligus diskontinyuitas. Maksud dari rumusan sejarah seni lukis ini tidak menggunakan pandangan yang menempatkan sebuah angkatan yang membedakan dengan angkatan pada generasi selanjutnya. Pemahaman sejarah yang hendak dibangun dalam pameran ini adalah menerapkan sisi apa yang disebut sebagai retakan (rupture) yang mula-mula sukar dipahami tetapi seiring berjalannya waktu apa yang sukar tersebut pelahan-lahan membentuk pola dan tipe tertentu.

Dengan cara ini sejarawan seni mencatat tipe tertentu dalam perkembangan sejarah bukan dengan menggolongkan karya-karya seni setipe, tetapi melihatnya sebagai rangkaian dalam sebuah proses sejarah yang melanjutkan dan meninggalkan (continue and discontinue) ciri tertentu dalam perjalanan di dalam ruang dan waktu. Sejarah seni mencatat apa yang terlihat pada karya seni sekaligus berkait erat dengan situasi kemasyarakatan yang terus-menerus berjalan.

Dalam perjalanan ruang dan waktu selama abad 20 ada banyak hal terjadi, khususnya bagaimana semangat nasionalisme membuncah yang akan melahirkan Indonesia. Masa ini penting bagi pembentukan seni rupa Indonesia.

Disebut masa penting bagi seni rupa Indonesia lantaran masa ini benih-benih kesadaran nasionalisme sebagai negasi atas kolonialisme Belanda. Kesadaran itu berupa penolakan gaya lukisan mooi indie yang dominan pada masa itu yang dilakukan secara terbuka oleh S. Sudjojono. Lelaki kelahiran 1913 ini menyatakan pada 1948 bahwa lukisan mooi indie tidak menggambarkan realitas yang ada pada masa itu. S. Sudjojono menekankan lukisan yang benar-benar menggambarkan realitas apa adanya. Maka dalam kanvasnya hadir situasi perang kemerdekaan berupa rakyat sedang mengungsi, para pejuang di medan tempur. Goresan yang ditorehkan pada kanvas kasar, pilihan warnanya muram, dan tidak enak dipandang mata bila dibandingkan dengan lukisan mooi indie. S. Sudjojono mengumandangkan jiwa kethok (tampak) sebagai kredo dalam membuat karya.

Affandi sudah muncul dengan karya yang mengangkat kehidupan keseharian pada akhir 1930-an. Objek-objek keseharian dari kalangan kelas bawah dominan pada lukisan-lukisan Affandi. Objek-objek yang menjadi perhatian Affandi tidak lain gambaran mengenai rakyat Indonesia pada masa itu. Rakyat Indonesia yang belum terlembaga. Itulah realitas keindonesiaan menjelang kelahirannya pada 1945.

Soedibio melukiskan masa perang pada zaman Jepang. Ia menggarap tema-tema maut yang terkait dengan penjajahan Jepang. Lukisan berjudul Untukmu Rakyat Yogya (To you people of Yogya) ukuran 200×136 yang dilukis pada 1949 yang dipilih Aminuddin mengesankan situasi horor, kelam, dan surealis. Namun keseharian tetap menjadi isu utama dalam lukisan ini.
Demikian juga Sudjana Kerton. Karyanya berjudul Makan Jagung ukuran 88×72 cm (1988) menggambarkan orang sedang makan jagung di tengah kebun jagung dan sementara orang lainnya tengah membakar jagung. Karya ini menghadirkan keseharian sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.

Perkembangan selanjutnya pada 1950-an. Lukisan yang muncul pada masa ini tidak lagi mengikuti S. Sudjojono. Masa ini mulai mempermasalahkan kanvas sebagai masalah estetik itu sendiri. Bentuk dari seni lukis itu sendiri yang berkait dengan garis, warna, dan tema di dalamnya menjadi perhatian utama. Apakah karya-karya itu terkait dengan lingkungan di mana seniman itu berada, adalah soal lain. Seniman-seniman tersebut, antara lain Nashar, Rusli, Oesman Effendi, Nasjah Djamin, But Mochtar, dan Srihadi Soedarsono.

Pada masa ini di Barat sedang kuat-kuatnya aliran lukisan abstrak sebagai akibat bawaan dari Perang Dingin. Perupa pada masa ini sudah berkorespondensi dengan perkembangan dan pemikiran yang sedang terjadi di Barat.

Oesman Effendi

Oesman Effendi, Islamic Nuance, 1979, oil on canvas, 106 x 83 cm
Lukisan Nashar 1950-an Untitled dari akrilik di atas kanvas ukuran 66 x 99 cm menjelaskan konsepsi yang menguat pada 1950-an ini. Lukisan tanpa objek alias abstrak dengan pilihan warna biru tua dan dan bidang bawah hitam. Bahkan, karya ini tanpa judul sebagai pemandu atau kunci untuk memahaminya.

“Perupa-perupa ini ingin membedakan dirinya dengan perupa seniornya. Mereka tidak lagi mengikuti apa yang dikatakan S. Sudjojono, bahkan sering terjadi polemik dengannya, khususnya Oesman Effendi yang tahu betul seni di Barat saat itu. Pembedaan ini juga berkait dengan karir yang ingin mereka bangun,” jelas Aminuddin Th Siregar.

Pada karya-karya Amrus Natalsya, A.D. Pirous, dan Djoko Pekik ada perkembangan lain di sekitar awal 1960-an. Karya Amrus Natalsya dan Djoko Pekik meneruskan tradisi S. Sudjodjono untuk menghadirkan rakyat ke dalam kanvas mereka, hanya saja dengan cara lebih simbolik. Wujud karya kedua perupa ini adalah realitas yang terdistorsi.

Lukisan berjudul Melepas Dahaga (85x190cm) karya Amrus Natalsya disebut Aminuddin terpengaruh oleh gaya lukisan Diego Riviera. Karya yang dibuat pada 1962 menghadirkan lelaki tengah membenamkan wajahnya di air untuk minum air. Dengan warna dominan biru, lelaki itu berada di sebuah kebun bunga dengan latar menara pabrik jauh di belakangnya.

Posisi unik A.D. Pirous menjadi satu fase bersama Amrus Natalsya dan Djoko Pekik. Karya Pirous merupakan lukisan pertama yang berupaya simbiosiskan tradisi lokal masuk ke dalam kanvas, dalam hal ini lokal Aceh berupa relief yang ada di batu nisan makam di Aceh. Pada masa ini sedang digencarkan perlunya sebuah identitas nasional yang digalakkan Soekarno.

AD Pirous oke

AD Pirous, Tulisan Biru (Writings in Blue), 1974, oil on canvas, 120 x 100 cm

Pada pameran ini karya yang dipajang lukisan Tulisan Biru 120x100cm). Karya yang bertanda tahun 1974 berupa bidang warna biru yang kosong, sementara di bidang bagian atas muncul tulisan huruf arab dari warna putih. Ada eksplorasi dari sisi bidang, namun kehadiran huruf Arab di bagian atas memberi pemaknaan khusus.

Fase yang berikutnya munculnya karya-karya dari Gerakan Seni Rupa Baru. Gagasan seniman yang ada pada fase ini dilatari oleh kejenuhan mereka akan karya lukisan yang mengeksploitasi estetika belaka tanpa menyentuh kenyataan. Mereka mengusung kembali gagasan berkarya yang dikembalikan dengan mempersoalkan masyarakat di atas kanvas. Selain itu, gugatan mereka pada berkarya tidak sebatas pada lukisan dan patung, tetapi meluas ke wilayah seni instalasi dan performance art.

“Karya-karya seniman pada fase ini sesungguhnya bersikap rileks. Mereka tidak lagi berada di zaman revolusi melainkan zaman orde baru. Mereka berusaha mengartikulasikan kegelisahan terkait semangat identitas nasional. Walaupun mereka melontarkan protes kepada para seniman yang lebih dulu, prinsipnya mereka berempati pada persoalan kepribadian bangsa,” ucap Aminuddin Th Siegar.
Ada Siti Adiyati, FX Harsono, dan Dede Eri Supria dalam pameran ini. Karya Siti Adiyati berjudul Figur Terbelenggu (1989) dari cat minyak di atas kanvas. Karya lini terdiri dari 4 panel yang masing-masing panel berukuran 50x42cm. Kanvasnya berisi seorang robot sedang mengasuh seorang anak.
Siti Adiyati oke

Siti Adiyati, Figur Terbelenggu (Shackled Figure), 1989, oil on canvas, 50 x 42 cm
Dede Eri Supria dikenal dengan lukisan yang mengangkat soal-soal perkotaan khususnya keseharian kelas bawah penghuni kota. Selain mempersoalkan tematik perkotaan, lukisannya juga mempersoalkan bentuk realis. Pada lukisan The Crossing (1998) ukuran 200×150 cm yang menggunakan cat minyak, kota yang hadir tidak sepenuhnya realis lantaran bagian atas tampak lanskap jalan di kota namun bagian bawah lanskap itu bagian dari sebuah lukisan yang baru diselesaikan. Terjadi persilangan antara apa yang ada di dalam kanvas dengan kota sebagai subjek lukisan ini.

Di Yogyakarta pada 1980-an ada kecenderungan menarik dalam penciptaan lukisan. Ada tiga kecenderungan, yaitu, pertama adanya surealis Yogyakarta. Maksud dari surealis Yogyakarta ini lukisannya menggunakan gaya surealis dan memasukkan ikon-ikon lokal ke dalam kanvasnya. Karya Ivan Sagita yang berjudul Sesapi Sapinya Sapi (The Essence of Cow in the Macro and Microsmos) ukuran 110×140 cm (1989). Sapi sebagai ikon dalam lukisan ini diambil dari lokal. Lukisan ini masih mengetengahkan realitas berupa sapi tetapi sapi tersebut tidak punya koneksi dengan realitas. Yang muncul adalah ilusi realitas. Hal yang sama juga terjadi pada karya Lucia Hartini yang mengangkat kosmos dan wayang.

Kedua, kalangan para perupa Bali yang tinggal di Yogya. Pada tahun 1980-an muncul karya lukis yang disebut dengan “jlebert art” yang secara bentuk disebut ekspresionis. Karya I Made Djirna, misalnya, menampilkan karya Garis-garis Wajah ukuran 200x150cm (2008) dengan gunakan media campuran. Lukisan ini dengan tegas entah kemarahan atau kesedihan lewat pancaran yang memerah yang seakan terpendam dalam kepala. Karya-karya lain yang dihadirkan bersama I Made Djirna adalah karya Mangu Putra dan I Gak Murniasih.

I Made Djirna, Garis-garis Wajah (Face Markings), 2008, mixed media on canvas, 200 x 150 cm

Ketiga, lukisan yang mengadopsi bahasa wayang untuk menyampaikan soal-soal terkait sosial dan politik kala itu. Karya-karya Heri Dono baik dalam lukisan maupun karya instalasi dan kinetik menjadi pelopornya. Karya lukisnya berisi sosok-sosok pipih yang semua bagian tubuh yang seharusnya tak terlihat mata bisa kita lihat. Sosoknya lucu-lucu dan kesan main-mainnya terasa kuat. Tidak ada pretensi dalam karya-karyanya untuk menjadi indah dan serius. Karya Hero Dono pada prinsipnya dapat mengungkapkan pada perilaku kekuasaan orde baru dengan cara yang main-main dan ejekan.

Lukisan berjudul Political Acrobat 150x150cm (2001) menunjukkan itu. Lukisan dengan media campuran adalah sebuah komentar sinis bagaimana UUD 45 dan TAP MPR dipermainkan manusia berbadan hewan dan manusia tak bertangan tapi bersayap sedang duduk dalam posisi berak. Meskipun tampak jenaka, jika direnungkan lebih jauh karya ini mengungkapkan sinisme. Bahasa wayang ini juga diadopsi oleh Nasirun dan Entang Wiharso dengan karakteristiknya masing-masing.
Perkembangan selanjutnya pada 1990-an perkembangan semakin rumit lantaran sikap yang diambil seniman tidak hitam-putih sebagaimana generasi sebelumnya. Bentuk-bentuk rupanya bersilangan yang diambil dari para senior namun digunakan untuk tujuan yang berbeda dengan para seniornya.
Karya-karya Agus Suwage baik yang berupa lukisan maupun tiga dimensi menyikapi perkembangan politik maupun seni dengan rileks. Karya-karyanya secara umum mempersoalkan dirinya sendiri. Begitu juga Ugo Untoro, Putu Sutawijaya, Handiwirman Saputra, Jumaldi Alfi, Yunizar, M. Irfan, Ay Tjoe Christine, Dikdik Sayahdikumullah, dan Nyoman Masriadi. Karya-karya mereka tidak memiliki beban untuk bicara kondisi sosial maupun politik yang sedang terjadi.

Kelompok Jendela yang karyanya berkutat pada bentuk kanvas atau objek itu sendiri memberikan sumbangan berupa bahasa baru. Karya-karya mereka mengetengahkan cara baru dalam menghadikan hal-hal ke dalam kanvas. Pilihan berkarya pada Handiwirman, misalnya, yang memberi pengertian baru tentang apa itu seni. Karyanya tidak dengan mempersoalkan apa yang terjadi di luar kanvas atau objek. Karya mereka mengkritisi bentuk itu sendiri sehingga mampu menciptakan bahasa baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Pada karya Handiwirman Saputra, misalnya, pendiri Kelompok Jendela.

Nasirun oke
Nasirun, Untitled, 2013, oil on canvas, 250 x 145 cm
Karya Laki-laki kedua di antara tiga figur dengan bayangan dan garis putus-putus(200x300cm) dibuat menggunakan akrilik di atas kanvas. Karya yang dibuat pada 2013 ini berupa kanvas warna biru muda dengan titik hitam yang dihubungkan satu sama lainnya dengan warna merah seakan sebuah benang, kemudian di pojok atas kanvas ada warna putih tanpa menyarankan bentuk apa pun.

“Handiwirman menemukan karakter dalam karyanya tidak begitu saja. Ia menyerap para perupa dari Sumatera Barat yang gayanya abstrak. Handiwirman begitu dekat dengan karya Oesman Effendi. Rumahnya di Sumatera Barat bahkan satu kampung. Demikian juga kedekatan mereka dengan karya-karya Nashar dan Rusli,” jelas Aminuddin yang juga dosen di FSRD ITB.

Handiwirman Oke

Handiwiman Saputra, Laki-laki kedua diantara tiga figur dengan bayangan dan garis putus-putus, 2013, acrylic on canvas, 300 x 200 cm

Akhirnya, karya-karya Kelompok Jendela menjadi leading market dan banyak diikuti oleh seniman-seniman lain. Yang fenomenal di antara karya-karya yang lebih mempersoalkan bentuk di atas kanvas mereka adalah Nyoman Masriadi. Karya masriadi cara melukisnya seperti Amrus Natalsya dengan teknik kubistik, komikal,ilustratif. Karya Masriadi tidak sepenuhnya melepaskan diri dari komentar sosial-politik di luar kanvas, namun menyisakan sinisme.

Karya Masriadi berjudul Masriadi is the Winner menggunakan akrilik di atas kanvas dengan ukuran 145 x 200 cm. Karya yang dibuat pada 1999, sebuah titik di mana situasi politik dan sosial Indonesia di tengah kekacauan sebab peralihan dari orde baru ke orde reformasi ini tidak selancar yang diharapkan. Timbul khaos politik dan sosial yang mewarnai masa itu di. Negara dalam posisi lemah untuk mengontrol wilayahnya.

Masriadi dalam lukisan ini mengandaikan diri seniman yang berurusan dengan karyanya dan tidak ada urusannya dengan soal-soal politik. Petinju bercelana putih yang baru saja melemparkan pukulan tangannya tidak lain alter-ego Masriadi dengan sikap-sikap keseniannya, sementara petinju celana hitam yang menahan pukulan tidak lain mewakili gagasan kesenian yang beraspirasikan sosial-politik.

Masriadi memiliki jalur keseniannya sendiri. Tidak sampai 13 tahun kemudian karya Masriadi memberi perspektif lain pada karya dalam dua dimensi, lantas diterima pasar, bahkan menjadi leading market. “Ternyata insting mereka yang benar,” kata Aminuddin.

Setiap masa dalam seni rupa pasti melahirkan perupa-perupa yang mewakili zamannya. Memang tidak semua seniman akhirnya dapat disebut mewakili zamannya. Sejarawan seni dalam mendudukkan seniman yang dianggap memberi sumbangan pada masanya tidak sembarangan.

Be Hunted by I Nyoman Masriadi, 150cm x 200 cm, Acrylic on canvas, 2015


Apa yang dirintis Aminuddin Th Siregar dalam menyusun sejarah seni rupa dalam sebuah pameran ini layak mendapat sambutan. Dengan mencermati sejarah seni rupa maka generasi sekarang dapat belajar kepada seniman terdahulu betapa sebuah pencapaian karya artistik dilakukan dengan sepenuh hati, giat bereksplorasi baik secara sosial maupun pribadi. Dengan sejarah pula kita dapat belajar tema-tema yang sering muncul dalam karya-karya mereka, bentuk karya, dan sosiologi seni yang menjelaskan keberadaan karya-karya mereka.

Dalam pameran yang mendapat dukungan dari Gajah Gallery Singapura, sebuah pameran seni rupa berbasiskan riset mendalam dan menjadi sebuah produk pengetahuan yang banyak sekali manfaatnya. Sehingga setiap perkembangan ada dasar rasionalitas yang menopangnya.

Semestinya, kata Aminuddin Th Siregar, pameran semacam ini seharusnya diprakarsai oleh Galeri Nasional yang tugas utamanya mengedukasi publik, khususnya publik seni rupa.

Pameran seni rupa sudah seharusnya berbasiskan riset yang memadai sehingga akan diketahui kedudukan seniman dalam pejalanan keseniannya, posisinya dalam perjalanan seni rupa Indonesia, dan responnya bagi isu-isu sosial yang terjadi pada hari ini.
“Jika tidak, maka seniman beserta karya-karyanya akan tenggelam. Tidak ada kontribusinya bagi masyarakat dan secara khusus bagi seni rupa itu sendiri,” kata Aminuddin Th Siregar.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Disukai Pengunjung