Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Jumat, 30 September 2011

Belanak



BELANAK ‘ujung tombak’ BELANAK ‘diujung tombak’
(Sebuah surat Anonim) Sumber: klik link



Perintis ?

Kurang lebih tahun 1925-1935 salah seorang putra Minangkabau (Wakidi) ikut memberi warna perkembangan seni rupa di tanah Air. Kendati banyak pakar mengatakan Wakidi dengan kelompok ‘Hindia Molek’ atau ‘Mooi Indienya’ hanya bermain ditataran permukaan, namun harus diakui kelompok ini mampu membangkitkan semangat dalam dunia seni rupa, setelah tidur panjang selama hampir 50 tahun. Kenyataan tersebut tentu saja dapat dipastikan kalau kehadiran putra Ranah Minang ini memberikan dampak dan kontribusi yang cukup berarti dalam merintis seni rupa Indonesia.  


Dalam wilayah berkesenian terutama seni rupa, nama dan karya Wakidi tersosialisasi dengan baik sehingga muncul rasa kebanggaan yang amat sangat terhadap karya-karya wakidi oleh masyarakat Sumatera Barat. Boleh jadi kecintaan kepada karya putra daerah inilah yang kemudian menjadikan karakter atau gaya lukisan Sumatera Barat. Dengan kata lain gaya lukisan Wakidi menjadi canon sampai  memasuki tahun 1990-an. Hal tersebut dapat kita lihat pada karya-karya pelukis Idran wakidi, Muzni Ramanto, Zainal Ahmad, Arifin, Firman Ismail, dan lain sebagainya.
Pada dasarnya dari tahun delapan puluhan sudah ada ada seniman yang mencoba menemukan terobosan-terobosan baru, seperti Darvis Rasyidin. Namun tidak mudah untuk melakukan perubahan pada sesuatu keyakinan, apalagi hal ini menyangkut nilai keindahan yang dipahami sebagai keindahan yang sesungguhnya oleh masyarakat Sumatera Barat. Walaupun demikian secara beringsut usaha menuju ke-perubahan dalam wujud visual seni rupa dapat diterima.

Komunitas Seni Seniman Muda Baru: Belanak
Dewasa ini karya perupa Sumatera Barat telah mengalami banyak perubahan. Hal tersebut cukup mencengangkan dan sangat patut dicatat sebagai tonggak baru dalam perjalanan seni rupa Sumatera Barat, setidaknya demikian wacana yang beredar saat ini. Pandangan ini cukup beralasan, karena karya rupa Sumatera Barat dewasa ini tidak saja dikenal sebagai  karya yang dihargai sebatas apresiasi, namun (karya seni rupa) sudah dilirik bahkan mungkin diburu oleh kolektor Nasional maupun Mancanegara.  
Perubahan yang terjadi bukanlah hadiah, namun semua itu didapatkan melalui perjuangan panjang yang cukup mendapat dukungan berbagai pihak yang banyak yang memberikan andil dalam mencapai gaya seni rupa yang berkembang dewasa ini. Perubahan ini ternyata membawa seni rupa Sumatera Barat kedalam gelombang pasar seni Nasional. Hal tersebut tentu saja memancing para perupa untuk semakin memacu keratifitasnya untuk melahirkan karya yang kreatif dan inovatif.
Yang sangat menarik untuk disimak dari persoalan di atas adalah, 80 % dari karya-karya yang telah menjawab tantangan zaman ini adalah buah karya yang didominasi oleh perupa yang tergabung dalam ‘Komunitas Seni Belanak”, yang muncul dengan karya-karya rupa yang baru dan berbeda. Perkembangan ini membawa pengaruh positif pada beberapa anggota Komunitas Belanak lainnya untuk mencoba kebolehan mereka, kendati tingkat keberhasilannya sangat fluktuatif. Yang kreatif semakin berkembang, yang dulu enggan berkarya sekarang mulai aktif bereksperimen, bahkan yang dulu tidak pernah berkarya sekarang mulai mencoba.
Iswandi, M. Ridwan, Zikri, Erianto (ma’etek), Irwandi, Indra, Rudi, Romi, Tomi, Cornelis, Erlangga, Syahrial, Syafrizal adalah beberapa diantara mereka yang diincar para kolektor Nasional dan Mancanegara. Fakta tersebut membuat banyak masyarakat seni jadi bertanya-tanya, siapa “Komunitas Seni Belanak”, bagaimana mungkin hampir 80% karya yang terjual dalam gelombang ‘booming’ pasar seni rupa adalah mereka yang bernaung dalam Komunitas Seni Belanak, bagaimana perkembangan komunitas ini sekarang, apakah peristiwa menarik ini punya dampak negatif pada Belanak?.
Pertanyaan di atas tidak mudah untuk dijawab, namun dengan membaca perjalanan Belanak sangat mungkin semua pertanyaan di atas dapat memberikan gambaran yang jelas tentang pertanyaan di atas. ‘komunitas Seni Belanak’ adalah sebuah organisasi seni yang muncul kepermuakan sekitar delapan tahun yang silam. Komunitas ini terbangun oleh spirit ‘kebersamaan’. Bagi mereka tidak ada kekuatan melebihi kebersamaan yang dapat membuat mereka tetap eksis dalam visi dan misi yang mereka citakan.
Dengan semangat kebersamaan yang dijadikan pondasi dalam membangun Komunitas Seni Belanak, mereka mencoba mendobrak  belenggu akedemis terhadap semua wilayah seni yang mereka anggap sangat kaku. Tentu saja yang mereka lakukan tidak mudah, karena mereka yang tergabung dalam komunitas seni Belanak, hampir semuanya adalah mahasiswa jurusan seni rupa pada perguruan tinggi Negeri di Sumatera Barat, tepatnya jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Padang (UNP). Yang menarik adalah, kritisi yang mereka lakukan terhadap tata aturan berkesenian diperguruan tinggi tempat mereka menimba ilmu sangat unik, mereka mencoba masuk ke wilayah perubahan dengan cara halus. Disatu sisi sebagai mahasiswa mereka tetap eksis dengan segala birokrasi berkesenian kampus, sementara diluar kampus mereka membuat gebrakan sesuai dengan kecenderungan perkembangan seni di tanah air yang justru amat berbeda dengan patron kampus. 
Pada mulanya banyak pihak yang meragukan gagasan mereka, bahkan lebih ekstrim lagi gerakan mereka dianggap sebuah lelucon ‘semut melawan gajah’.  Namun diluar dugaan apa yang mereka lakukan justru amat menarik perhatian publik seni. Dalam waktu yang relatif singkat Belanak mulai dilirik sebagai suatu komonitas yang proaktif mengusung berbagai perubahan. Kelompok mereka tidak hanya berbeda dalam karya, namun mereka juga berbeda dalam mengemas performance berkesenian mereka.
Perhatian publik seni terhadap aktifitas Belanak ternyata bukan hanya dalam lingkup Sumatra Barat. Kehadiran mereka mulai dirasakan oleh publik seni diluar Sumatera, hal dapat dilihat pada undangan-undangan pameran dan ruang apresiasi lainya dalam skala Nasional bahkan Internasional. Kesempatan demi kesempatan mereka sambut dengan gempita yang pada akhirnya menghantarkan Belanak pada jajaran papan atas komunitas seni yang diperhitungkan di Tanah Air ini.
Efek dari semua itu, Komunitas Seni Belanak menjadi sebuah organisasi yang punya status sosial, sehingga menjadi anggota Belanak bagi anggotanya adalah sebuah kebanggaan. Barangkali itu juga sebabnya banyak orang ingin menjadi anggota atau bagian dari Komunitas Seni Belanak, bahkan mereka yang berasal dari luar disiplin Seni rupa. Bagi Komunitas Seni Belanak keinginan semua pencinta seni masuk menjadi bagian dari mereka adalah sebuah anugerah dan kehormatan. Mereka menampung tanpa batasan yang jelas, Oleh karena itu sampai hari ini Jumlah anggota Komunitas Belanak membengkak bahkan disinyalir lebih dari 100 orang.
Jumlah anggota Belanak yang seperti angka tersebut di atas, menyebabkan banyak pihak mencemaskan eksistensi komunitas ini, bahkan seorang kurator independen Bandung pernah menyatakan kekuatirannya, menurut beliau komunitas ini harus dipecah agar eksistensi berkesenian mereka lebih terjaga. Karena sepanjang pengetahuannya Komunitas Seni Belanak adalah komunitas dengan jumlah anggota terbanyak diseluruh komunitas seni di Indonesia.
Bagi Komunitas Seni Belanak opini di atas merupakan masukan berharga sekaligus sebuah tantangan. Oleh karena itu untuk menjaga agar kekuatiran tersebut tidak menjadi nyata, dengan sigap mereka membaca potensi yang ada dalam komunitasnya dan kemudian membuat pos penyaluran aspirasi berkesenian melalui medan yang benar-benar pas.  
Beberapa upaya yang mereka lakukan adalah menjelajah ke ruang seni lainnya dengan harapan semua aspirasi anggota komunitas dapat tertampung, seperti ‘Pelangi di Belanak’ adalah salah satu kelompok musik yang mereka bangun untuk menyalurkan ekspresi seni musik dan vokal anggota komunitas. ‘Ukia di Belanak’ salah satu ruang jelajah Komunitas Seni Belanak dalam menyalurkan potensi anggota mereka yang mengeluti dan mencintai kraf (Craft). Sementara untuk mereka yang mencintai kajian seni dan budaya, Belanak membuka ruang khusus dalam bentuk buletin bulanan yang mereka beri nama ‘Keciempoeng’. Semua itu mereka lakukan untuk sangat mencerminkan nilai kebersamaan. Yang mereka lakukan amat mencirikan nilai nilai budaya daerah leluhur mereka  Minangkabau. Dalam pepatah Minangkabau disebutkan,

Nan buto paambuih lasuang (yang buta peniup lesung)
Nan pakak palapeh badia (yang tuli penembak bedil)
Nan lumpuan paunyi rumah (yang lumpuh pennunggu rumah)
Nan bodoh kadisuruah-suruah (yang bodoh jadi pesuruh)
Nan cadiak lawan baiyo (yang pintar jaditaman diskusi)
Nan kuek pambao baban (yang kuat untuk pekerja)

Pepatah ini menunjukkan setiap manusia dapat berperan dalam kehidupannya sesuai dengan harkat dan martabat yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini mem,beri motivasi yang kuat untuk hidup dengan mempertahankan eksistensi masing-masing individu ditengah kelompoknya.
Keberanian Belanak mengambil putusan seperti si atas ternyata menyebabkan Belanak kebanjiran kritik, namun kali inipun Komunitas seni Belanak kelihatannya mampu menjawab semua keraguan yang dilontarkan padanya. Ini terbukti dengan suksesnya ‘Pelangi di Belanak’ merampas perhatian pencinta musik untuk berpaling padanya. Berbagai jemputan mengalair ke Belanak untuk mengisi acara musik tidak hanya didalam kampus namun juga dipercaya untuk wilayah yang lebih luas dari itu, kendati masih dalam lingkup Sumatera Barat.
“Ukia Belanak’ adalah sebuah gerakan baru dari upaya menciptakan kraf alternatif yang memang dirindukan masyarakat Sumatera Barat. Kendati usia dari ‘anak’ Belanak ini tergolong dini, namun karena talenta Belanak yang tidak diragukan, Ukia Belanakpun mendapat kesempatan bergengsi untuk pameran dihotel ternama Padang. Sekali lagi gerakan Belanak ini mencengangkan. Bagaimana tidak, kraf yang selama ini dianggap anak tiri oleh mereka pencinta senimurni (komunitas Belanak), ternyata hari itu mereka mampu membuktikan karya rupa kraf yang dikemas dengan perfek.
Kemudian, dengan dana independen mereka secara berkala juga menyediakan wadah bagi para anggota dan simpatisan untuk berwacana seni dalam buletin yang mereka luncurkan setiap bulan. Dari buletin tersebut dapat dicermati kalau komunitas Belanak juga menyimpan bibit unggul dalan kajian seni. Bukan tidak mungkin wilayah inipun kemudian menampakan diri sebagai individu yang dipercaya dalam wilayah yang lebih luas.
Dengan Popularitas yang mereka peroleh, Komunitas Seni Belanak banyak mendapat tawaran menarik (dari luar Suamatera Barat) untuk membangun citra yang lebih kuat dan meluaskan ruang gerak Belanak dalam beraktifitas. Namun Belanak yang hampir semuanya para intelektual, sangat selektif menerima bantuan dari luar terutama masalah finansial. Hal tersebut mereka lakukan karena mereka tidak menginginkan idelogi mereka sebagai pencinta seni dan sebagai putra-putri Minangkabau mesti terkikis hanya karena uang, apa yang dilakukan Belanak patut di acungkan jempol.
     Jujur saja, keberhasilan Komunitas Seni Belanak dalam wilayah seni, terutama seni rupa ternyata membuka mata banyak seniman, dan ikut membakar semangat mereka agar bisa melakukan hal yang sama seperti Belanak. Semangat itu kemudian menyebabkan menjamurnya komunitas baru yang juga eksis dalam dunia seni rupa. ‘Loding’, ‘Samek’ ‘Rumput’, ‘Sinar jaya’, ‘Hijau’ dan lain-lain.
Kesemua komunitas ini  tergolong  komunitas baru dalam seni rupa, namun demikian nama komunitas ini dengan cepat dikenal tidak hanya di Sumatera Barat. Yang unik dari semuanya adalah, komunitas-komunitas baru tersebut adalah juga anggota komunitas Belanak, anggota dari komunitas baru yang mereka bentuk. Sekaligus juga anggota komunitas Seni Belanak.
Jika diamati lebih lanjut, ada yang tidak kalah menariknya untuk ikut digunjing dalam tulisan ini. Mestinya kehadiran Komunitas Seni Belanak harus disikapi sebagai anugerah bagi semua pihak terutama Pemerintah Daerah Sumatera Barat. Kenapa tidak, eksistensi yang mereka dalam berkesenian tidak hanya mengharumkan nama mereka sebagai komunitas seni akan tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat Sumatera Barat. Hal tersebut telah mereka buktikan dengan mengusung nama daerah untuk mengisi ajang-ajang bergengsi Indonesia dalam berkesenian. Bahkan lebih jauh lagi mereka pernah menjadi satu-satunya yang terpilih mewakili Sumatera pada pameran Internasional ‘CP Open Bienalle’ tahun 2005 yang digelar di Gedung Bank Indonesia Jakarta. Untuk itu  kiprah yang dilakukan Komunitas Seni Belanak pantas dianggap sebagai ‘ujung tombak’ berkesenian di Sumatera Barat. Anggapan tersebut tentu tidak berlebihan melihat totalitas berkesenian mereka memang sukar dicari tandingannya.
Sadar ataupun tidak, harus diakui kalau kehadiran komunitas seni Belanak di Ranah Minang ini ternyata banyak memberi nafas baru dalam kehidupan berkesenian, bahkan banyak dugaan organisasi tersebut mampu memberi perubahan yang sangat berarti dalam kehidupan berkesenian, terutama kehidupan Seni Rupa, apa yang mereka lakukan benar-benar telah teruji dalam kancah Nasional maupun Internaional.

Krisis Komunitas Seni ?
Seiring dengan kesuksesan yang diperoleh Belanak, merekapun juga banyak mengalami ksisis. Dari sekian banyak problema, Booming pasar seni malah memberikan dampak negatif pada aktivitas berkarya mereka. Kreativitas yang dulu mencerminkan ekspresi personal mereka, sekarang cenderung berubah menjadi kreativitas pekerja untuk memenuhi selera kolektor. Apa yang mereka lakukan tidak ada yang salah, karena bagaimanapun sebagai seorang manusia seniman berhak mempunyai pilihan manapun.
Apalagi di Sumatera Barat selama ini memang belum terbentuk pasar sehingga banyak perupa di Ranah Minang ini menjadikan Jawa sebagai sasaran bidiknya jika ingin karya mereka laku terjual. Hal seperti itu tentu saja rumit terutama untuk mereka yang belum bisa memetakan selera pasar Jawa. Oleh karena itu, kedatangan para kolektor atau dealer seni ke Padang bagi mereka sesuatu kemudahan dalam menapaki pasar seni yang mereka inginkan, kendati mereka tidak dapat berkutik dengan harga yang dipatok para kolektor.
Bagi para perupa yang mengerti tentang sisi lemah booming, tentu lebih hati-hati dan berupaya mensiasati agar pasar ‘semu’ yang terbentuk di Padang tidak membuat karya mereka terbanting dipasar sesungguhnya, celakanya tidak banyak para perupa yang peduli dengan hal tersebut, bagi mereka terjual itu satu kemenangan kendati itu bisa membutakan. Memang harus diakui, hal tersebut sangat lumrah terjadi, karena dalam kurun waktu yang cukup lama, para perupa Sumatera Barat tidak pernah disentuh pasar, pasar yang hadir mendadak dengan tawaran imbalan uang yang cukup besar untuk ukuran Sumatera Barat, tentu saja hal tersebut sangat menggairahkan. Pikir panjang bagi mereka sama halnya membuang kesempatan
Kendati Booming pasar seni rupa yang ditandai dengan datangnya para kolektor merupakan peristiwa yang menyenangkan, namun disisi lain bagi perupa termasuk Komunitas Seni Belanak Booming juga membingungkan, para kolektor yang berkunjung ke Padang datang dengan selera masing-masing, sementara itu tidak mudah untuk memetakan selera para kolektor, alhasil banyak dari perupa terkadang melepaskan identitas pribadi(Personal identity) pada karya visualnya dan berlari mengejar selera kolektor.
Ironisnya kejadian tersebut diatas menyebabkan perupa sibuk dengan cara masing-masing, sifat individual menjadi menonjol, kebersamaan dan keperdulian akan komunitas yang selama ini mereka banggakan secara beringsut terlupakan. Ajakan-ajakan berpameran yang tidak menjajikan uang diterima dengan hambar, sementara aktifitas di bengkel seni Belanak hanya dilakukan oleh mereka-mereka yang tidak bersentuhan dengan booming. Bahkan lebih ekstrim lagi ada yang mengatakan, Belanak sekarang seperti ‘rumah singgah’, Seburuk itukah? Jika semua itu tidak disikapi dengan benar, bukan tidak mungkin hari ini atau besok Komunitas Belanak berada ‘diujung tombak’ Jika demikian kemana ‘kebersamaan’ yang selama ini merajut hubungan diantara ‘Komunitas Seni Belanak’. Jika ini dampak lumrah dari masuknya Booming pasar seni rupa ke wilayah Sumatera Barat, apakah kebersamaan tidak cukup kuat untuk meminimalkan dampak negatif yang akan merusak tatanan sosial yang selama ini terjalin kuat dalam tubuh Komunitas Belanak.  
Harapan semua orang tentu saja Komunitas Seni Belanak coba mengevaluasi diri untuk kemudian meneriakkan dengan lantang ‘kami masih punya kebersaman’ 


Catatan: surat ini tidak beritu penting dari siapa dan ditujukan kepada siapa, namun nama-nama dan keterangan dalam surat ini diperlukan terutama buat inventarisasi karya seni belanak, yang bisa nanti hilang tanpa ada yang mencatatnya.


 SENIMAN MUDA BELANAK


ALBERTO
ALZA ADRIZON
ANTON RAIS M
CORNELIS
BENNY YUSRA
DESMOND NUSANTARA
ERIANTO MD
ERIANTO ME
ERLANGGA
FARIKO EDWARDI
FEFRI RUSJI
FIRDAUS
HARMEN
HARMONIS
IBRAHIM
INDRA
IRWANDI
ISMAIL ZULFIKAR
ISWANDI
JOHOR LAMMA
KHALID ARAFAH
M. SYAIFUL
M ZIKRI
MAIZAL FITRA
MARDESTEN HENDRI
MARWAN
M ZIKRI
MUHAMMAD RIDWAN
MEIDY KURNIAWAN
NELWANDI NELSON
NAPORA KARPOV
NOVRIA DARMAN
PUTI NURDIATI
RIDHA FATMA
RIOSADJA
RONI SARWANI
RIRI TRINANDA
RISWANDI
ROMI ARMON
RONI KURNIAWAN
RUDI
SISKA YULIANA
SYAFRIZAL
SYAHRIAL
TITO
WILLY SUBAKTI
YULFA HARIS SAPUTRA


Disukai Pengunjung