Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Selasa, 01 Maret 2011

Walter Spies (1895-1942)

Walter Spies: Sumber
220px-COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_van_Walter_Spies_op_Bali_TMnr_60022997

Walter Spies (lahir di Moskwa, 15 September 1895 – meninggal di Samudera Hindia, 19 Januari 1942 pada umur 46 tahun). Dia adalah pelukis, fotografer dan juga pemusik, dan dianggap orang sebagai salah satu tokoh di belakang modernisasi seni di Jawa dan Bali.
Spies lahir sebagai anak seorang pedagang kaya keturunan Jerman yang telah lama menetap di Moskwa. Sejak kecil telah menggemari seni, khususnya musik dan  seni lukis. Dia mengenal Rachmaninov dan mengagumi Gauguin.
Sesudah Perang Dunia I, Spies sempat tinggal beberapa lama di Jerman (Berlin) dan berteman (pasangan homo-nya) sutradara ternama masa itu, Friedrich Murnau. Tokoh inilah yang banyak membantu Spies secara finansial di perantauan. Di Jerman ia sudah cukup ternama karena lukisan-lukisannya, namun dia mengalami kerasan karena homoseksual, akibatnya dia selalu dicari-cari polisi.
Pada tahun 1923 ia datang ke Jawa dan menetap pertama kali di Yogyakarta. Dia dipekerjakan oleh sultan Yogya sebagai pianis istana dan diminta membantu kegiatan seni keraton. Dia lah yang pertama kali memperkenalkan notasi angka bagi gamelan di keraton Yogyakarta. Notasi ini kemudian dikembangkan di keraton-keraton Jawa lainnya dan digunakan sampai sekarang.
Setelah kontraknya selesai dengan keraton, Spies pindah ke Ubud, Bali, pada tahun 1927. Di sini ia menemukan tempat impiannya dan menetap hingga menjelang kematiannya. Di bawah perlindungan raja Ubud masa itu, Cokorda Gede Agung Sukawati, Spies banyak berkenalan dengan seniman lokal dan sangat terpengaruh oleh corak seni Bali. Ia mengembangkan seni lukis bergaya Spies yang bergaya Bali atau bercorak dekoratif. Dalam seni tari ia juga bekerja sama dengan seniman setempat, Limbak, kemudian dia memoles sendratari yang sekarang sangat populer di Bali, yaitu Kecak. Dia meninggal atas serangan Jepang saat berada di sebuah kapal, di lepas pantai utara Jawa.

Mengembangkan Seni Bali: Pita Maha (1936)

Sejak 1920-an, Bali adalah surga bagi kaum homoseksual kaya-raya dari Eropa. Mark Blasius dalam Sexual Identities, Queer Politics menulis, keindahan alam dan banyaknya pemuda Bali yang terkenal tampan menjadi salah satu alasannya. Bali juga memberi lingkungan ideal bagi orang-orang kreatif seperti Spies, dan berteman dengan pelukis asal Belanda, Rudolf Bonnet. Tulis Aldrich: "Laki-laki seperti Spies dan Bonnet dapat melukis, mengambil foto, dan mengarang di luar kungkungan (alam pikiran) Eropa yang saat itu sedang diliputi depresi dan fasisme."

Rumah Spies di Ubud sering didatangi seniman dan kaum intelektual Eropa seperti Antropolog Margaret Mead (asal Amerika), pelukis Miguel Covarrubias (Meksiko), aktor Charlie Chaplin (Amerika), hingga seksolog Magnus Hirschfeld (Jerman) pernah menjadi tamu Walter Spies.

Spies mengembangkan kesenian Bali. Bersama Beryl de Zoete, Spies menulis Dance & Drama in Bali, salah satu catatan paling awal tentang tari dan drama di luar budaya Barat. Dia juga terlibat dalam pembuatan film The Island of Demons bersama Baron Viktor van Plessen. Spies mendanai pembuatan film itu dari uang warisan pemberian Friederich Murnau yang meninggal pada 1931. Film itu akhirnya memiliki pengaruh besar pada persepsi dunia tentang Bali. Keberadaan Spies mendapat dukungan dari Tjokorda Gde Agung Sukawati, Raja Bali. Tjokorda pula yang menjemput Spies di pelabuhan dan memberikan rumah di Bali agar bisa mengajarkan anak-anak Ubud melukis. Terjadilah kontak budaya antara pelukis Bali yang memiliki teknik tradisional tinggi dan pelukis Barat. Peneliti Jepang Miyuki Soejima dalam Walter Spies and Weimar Culture and The Sultan′s Kapellmeister menulis, "Kepandaiannya yang menakjubkan da hubungannya dengan kebudayaan Jawa dan Bali menggambarkan suatu pertemuan budaya Barat dan Timur yang paling berhasil."

Pada 1936 Spies mendirikan kelompok seniman Pita Maha bersama Rudolf Bonnet, Gusti Nyoman Lempad, dan Tjokorda Gde Agung Sukawati. Kelompok ini mencoba melestarikan seni rupa Bali yang mulai berubah menjadi seni pesanan demi memenuhi permintaan turis. Pita Maha membuka cakrawala bagi para pelukis Bali dalam hal tema, pewarnaan, hingga perspektif dan permainan cahaya.

Namun kontribusi Spies membangun kesenian Bali tak berlangsung lama. Antara Desember 1938 – Mei 1939 polisi di seluruh Hindia Belanda menggelar operasi besar-besaran terhadap lebih dari 200 pria, kebanyakan warga Eropa, yang dicurigai bersalah berhubungan seks dengan anak laki-laki di bawah umur (di bawah usia 21 tahun). Perbuatan itu bisa dikenai hukuman pidana sesuai ketentuan pasal 292 Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP), yang berlaku sejak 1918. Artinya, aturan itu tak menekankan pada perilaku homoseksual tapi perilaku seksual yang dilakukan dengan anak di bawah umur.

Dalam bukunya Polisi Zaman Hindia Belanda, Marieke Bloembergen menulis bahwa sebelum tahun 1938, ketentuan KUHP itu jarang digunakan. Polisi lebih mengarahkan targetnya pada prostitusi yang terkait dengan perdagangan perempuan dewasa dan anak. Polisi hampir tidak memberi perhatian pada pelanggaran homoseksual. Namun kemudian sasaran kepolisian adalah para homoseksual dan Spies salah satunya.

Residen Bali H.J.E Moll, sebagaimana dikutip Bloembergen, kesal mencermati gaya hidup mereka yang bergaul erat dengan masyarakat bumiputera serta "gaya hidup mereka yang begitu sensual tanpa batas". Namun, ketika kampanye homofobia dilancarkan di Bali, residen tak bisa berbuat apa-apa karena mendapat perlawanan dari masyarakat setempat yang menyulitkan penyidikan polisi. Menurut residen, orang-orang Eropa bersembunyi karena takut diasingkan sebagai paria, sebaliknya masyarakat Bali berdiam diri karena merasa terikat pada kewajiban sosial.

Walter Spies ditangkap pada tanggal 31 Desember 1938

Hubungan sesama laki-laki di Bali saat itu tak dianggap sesuatu yang di luar kewajaran. Mengutip apa yang dikemukakan antropolog Amerika Jane Belo, Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas menulis bahwa dalam adat tradisional Bali, Spies tak melanggar aturan, karena "yang disebut salah mekoerenan (salah kawin) adalah apabila (1) laki-laki berhubungan dengan binatang, (2) dengan gadis muda di bawah umur, atau (3) dengan perempuan berkasta lebih tinggi.".Apa yang dilakukan Spies dianggap wajar.

Hal ini berbeda dengan tabu-tabu seksualitas yang berlaku di Barat. Ini juga tergambar dalam karya Hans Rhodius dan John Darling, Walter Spies and Balinese Art sebagaimana dikutip George W. Stocking dalam Malinowski, Rivers, Benedict and Others: Essays on Culture and Personality. Dalam persidangan Spies, ketika pengacara menanyakan kepada ayah kekasihnya apakah dia marah atas apa yang telah diperbuat Spies (kepada putranya), dia menjawab: "Kenapa? Dia toh sahabat baik keluarga kami, dan adalah sebuah kehormatan bagi anak saya untuk bisa menemaninya. Kalau keduanya suka sama suka, kenapa harus diributkan?". Meskipun berbagai argumen telah diajukan, Spies tetap dijatuhi hukuman penjara sampai dengan 1 September 1939. Teman-teman Bali-nya menggelar pertunjukan gamelan di dekat penjara. Sejumlah pejabat yang bersimpati padanya mengunjungi dan mengizinkannya melukis dan bermain musik. Di penjara Surabaya dia menghasilkan karya terbaiknya, "The Landscape and Its Children". Setelah delapan bulan dia dibebaskan.

Spies sempat beberapa bulan menikmati udara bebas. Memasuki Perang Dunia II, Jerman menginvasi beberapa negara Eropa, termasuk Belanda. Sebagai balasannya, pemerintah Hindia Belanda menangkapi warga Jerman. Selama 20 bulan Spies tinggal di kamp interniran di Jawa dan Sumatra, sebelum dikirim dengan kapal Van Imhoff ke Belanda menuju Ceylon (Srilanka) pada awal 1942. Di tengah perjalanan, di dekat Nias, kapal itu dibombardir sebuah pesawat tempur Jepang. Bersama penumpang lainnya, Spies meninggal pada 19 Januari 1942.Dapat disimpulkan Walter Spies adalah seorang ahli musik, tari, dan pelukis hebat, memberikan warna bagi perkembangan seni di Bali dan memperkenalkannya pada dunia.



Walter Spies:“Landscape and Its Children"

Lukisan bentang alam “Suatu Pagi di Iseh”, Cat minyak di atas kanvas, 102 x95 cm
Sumber: 552px-Collectie_ Tropenmuseum_ Het_ schilderij_ Iseh_ im_ Morgenlicht_ door_ Walter_Spies_TMnr_60030143

"The Ice Skaters" by Walter Spies, Auction by Sotheby's Hongkong 

Kepustakaan
  • http://historia.id/budaya/walter-spies-dan-renaisans-bali
  • Wikipedia




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Disukai Pengunjung