P.M.W. Trap Afther C. Dellman (tiphografer), Dari buku: Bataviaashe Album, 1859
Jakarta memiliki sejarah yang panjang dan sering berganti nama
mulai dari Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, sampai dengan Jakarta, nama yang
dikenal sampai saat ini. Penguasa Jakarta pun silih berganti mulai dari
Portugis, Belanda, hingga akhirnya Indonesia merdeka dan Jakarta menjadi
ibukota Republik Indonesia.Di balik sejarah kota Jakarta yang panjang tersebut,
kota ini ternyata menyimpan berbagai kisah kejayaan yang pernah dilaluinya.
Masa-masa kejayaan tersebut tentu saja menyisakan peninggalan-peninggalan,
terutama berupa bangunan yang sebagian kecil masih dapat kita lihat saat ini,
meskipun sebagian besarnya telah berubah menjadi kawasan perkotaan modern. Berikut ini beberapa
lukisan yang menggambarkan kawasan Jakarta tempo dulu.
Kawasan Pintu Kecil (Het Chinesche Kamp Nabij De Pintu Kitjil)
Selama paruh pertama abad ke-18, massa imigran Cina
membanjiri Batavia. Mereka begitu banyak jumlahnya, sementara pasar kerja tidak
mampu menyerap mereka. Akibat tidak berhasil menemukan pekerjaan, banyak dari
mereka terpaksa melakukan pencurian. Kondisi ini menyebabkan keresahan sosial
yang besar, dan secara tidak langsung, pada 9 Oktober 1740 terjadi pembantaian
masyarakat Cina.
Setelah insiden ini, pemerintah Belanda memberlakukan
peraturan terhadap orang keturunan Cina untuk tinggak di luar tembok batas
kota. Kawasan Pecinan ini dinamai Pintu Kecil, terletak tepat di belakang
bangunan tua Java Bank (kini Bank Indonesia) di daerah Glodok, menandai pintu
masuk selatan kota.
Museum Fatahillah (Het Stadhuis Te Batavia)
Di pusat kota Batavia, di daerah yang kini dikenal
sebagai Kota, berdiri bangunan dari awal abad 18 yang pernah berfungsi sebagai
'Stadhuis' atau balai kota. Bangunan ini dianggap sebagai salah satu contoh
terbaik dari arsitektur kolonial Belanda.
Lapangan di depan gedung berfungsi sebagai alun-alun
utama kota selama periode waktu tersebut. Aula, yang pembangunannya selesai
pada tahun 1710, berfungsi sebagai kantor administratif Batavia dan menampung
dua pengadilan hukum serta kantor komandan militer Belanda. Di bawah ruangan
aula tersebut terdapat penjara. Sekarang bangunan ini dinamai Museum
Fatahillah, dan sejak tahun 1974 berfungsi sebagai Museum Sejarah Jakarta.
Rumah Raden Saleh (Huis Van Raden Saleh)
Raden Saleh, Bapak Lukisan Modern Indonesia, lahir
pada tahun 1814 di Semarang dan menghabiskan masa kecilnya di rumah pamannya,
seorang bupati, yang mendorong minat keponakannya dalam menggambar. Pada tahun
1829, Raden Saleh memperoleh beasiswa untuk belajar di Belanda. Pada tahun
1851, setelah kembali lagi ke Batavia, Ia membangun sebuah rumah besar dengan
hiasan kaya detail bergaya Neo-Gothic Perancis untuk dirinya dan sang istrinya
yang berdarah Eurasia.
Terletak di kawasan Cikini, Jakarta, sejak 1897, rumah
ini berfungsi sebagai asrama bagi para perawat Rumah Sakit Cikini yang
didirikan di atas perluasan tanah rumah Raden Saleh.
Istana Merdeka (Het Nieuwe Paleis Van Den
Gouverneur-Generaal Op Het Koningsplein)
Pada akhir abad 19 (1873-1879), saat kediaman gubernur
jenderal Belanda (kini 'Istana Negara') dirasa terlalu sempit guna memenuhi kebutuhan
sebagai kediaman resmi, maka gedung baru dibangun tepat di belakang kediaman
resmi tersebut untuk digunakan sebagai tempat resepsi kenegaraan.
'Istana Baru' tersebut, sebagaimana sebutannya
kemudian, menjadi tempat bersejarah saat di depan gedung ini pada tanggal 27
Desember 1949 untuk terakhir kalinya bendera Belanda diturunkan dari tiang,
lantas digantikan dengan bendera Merah-Putih Indonesia. Sesaat setelah bendera
republik baru berkibar di angkasa, masyarakat sekitar gegap gempita dan dengan penuh
haru serentak meneriakkan pekik "Merdeka!". Sejak saat itu gedung
tersebut dinamai 'Istana Merdeka'.
Lapangan Banteng (Waterlooplein)
Mulanya dibangun dengan sebutan waterlooplein. Nama
tersebut dipakai guna memperingati kebebasan Belanda dari pendudukan Perancis,
setelah tentara Inggris berhasil menundukkan Napoleon pada pertempuran di
Waterloo, Belgia. Waterlooplein dikenal juga sebagai Lapangan Singa karena di
tengah lapangan tersebut, berdiri sebuah tugu yang di puncaknya terdapat patung
singa, simbol keperkasaan.
Di lapangan ini berdiri pula monumen untuk mengenang
General Michiels, seorang pejuang Belanda pada perang Padu di Sumatera. Saat
Jakarta diduduki Jepang, pihak militer Jepang menggunakan Lapangan Singa
sebagai tempat pelatihan militer dan arena kegiatan lain. Setelah Indonesia
merdeka, Presiden Soekarno mengganti nama Lapangan Singa menjadi Lapangan
Banteng.
Kantor Pos Besar Pasar Baru (Het Postetablissemen Te Weltevreden)
Selama zaman Belanda ada tujuh kantor pos di Batavia,
dengan kantor pos pusat terletak di area perumahan Weltevreden. Kantor pos
cabangnya terletak di daerah Gondangdia, Kramat, Molenvliet (Gadjah Mada), dan
Meester Cornelis (Jatinegara). Ada juga dua kantor pos independen, satu di
daerah Kota dan satu lagi di Tanjung Priok.
Di Jakarta masa ini, kantor pos utama (Kantor Pos
Besar Pasar Baru) terletak tepat di belakang bekas bangunan kantor pusat dahulu
yang sekarang berfungsi sebagai tempat untuk Perkumpulan Filateli Indonesia.
Demikianlah beberapa kawasan Jakarta tempo dulu yang
dari masa ke masa menjadi saksi bisu dari setiap peristiwa sejarah yang
terjadi. Sebagian bangunan tersebut saat ini menjadi cagar budaya yang
keberadaannya dilindungi oleh pemerintah. Kawasan yang cukup besar dan masih
banyak terdapat bangunan asli terletak di Kota, yang saat ini dikenal dengan
kawasan Kota Tua dan menjadi salah satu tujuan wisata sejarah bagi warga
Jakarta dan sekitarnya.
Artikel terkait (klik kanan ini)