Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Selasa, 01 Maret 2011

P.M.W. Trap Afther C. Dellman (tiphografer), dari buku: Bataviaashe Album, 1859


P.M.W. Trap Afther C. Dellman (tiphografer), Dari buku: Bataviaashe Album, 1859

Jakarta memiliki sejarah yang panjang dan sering berganti nama mulai dari Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, sampai dengan Jakarta, nama yang dikenal sampai saat ini. Penguasa Jakarta pun silih berganti mulai dari Portugis, Belanda, hingga akhirnya Indonesia merdeka dan Jakarta menjadi ibukota Republik Indonesia.Di balik sejarah kota Jakarta yang panjang tersebut, kota ini ternyata menyimpan berbagai kisah kejayaan yang pernah dilaluinya. Masa-masa kejayaan tersebut tentu saja menyisakan peninggalan-peninggalan, terutama berupa bangunan yang sebagian kecil masih dapat kita lihat saat ini, meskipun sebagian besarnya telah berubah menjadi kawasan perkotaan modern. Berikut ini beberapa lukisan yang menggambarkan kawasan Jakarta tempo dulu.
 

Kawasan Pintu Kecil (Het Chinesche Kamp Nabij De Pintu Kitjil)

Selama paruh pertama abad ke-18, massa imigran Cina membanjiri Batavia. Mereka begitu banyak jumlahnya, sementara pasar kerja tidak mampu menyerap mereka. Akibat tidak berhasil menemukan pekerjaan, banyak dari mereka terpaksa melakukan pencurian. Kondisi ini menyebabkan keresahan sosial yang besar, dan secara tidak langsung, pada 9 Oktober 1740 terjadi pembantaian masyarakat Cina.

Setelah insiden ini, pemerintah Belanda memberlakukan peraturan terhadap orang keturunan Cina untuk tinggak di luar tembok batas kota. Kawasan Pecinan ini dinamai Pintu Kecil, terletak tepat di belakang bangunan tua Java Bank (kini Bank Indonesia) di daerah Glodok, menandai pintu masuk selatan kota. 


 Museum Fatahillah (Het Stadhuis Te Batavia)

Di pusat kota Batavia, di daerah yang kini dikenal sebagai Kota, berdiri bangunan dari awal abad 18 yang pernah berfungsi sebagai 'Stadhuis' atau balai kota. Bangunan ini dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dari arsitektur kolonial Belanda.

Lapangan di depan gedung berfungsi sebagai alun-alun utama kota selama periode waktu tersebut. Aula, yang pembangunannya selesai pada tahun 1710, berfungsi sebagai kantor administratif Batavia dan menampung dua pengadilan hukum serta kantor komandan militer Belanda. Di bawah ruangan aula tersebut terdapat penjara. Sekarang bangunan ini dinamai Museum Fatahillah, dan sejak tahun 1974 berfungsi sebagai Museum Sejarah Jakarta. 


Rumah Raden Saleh (Huis Van Raden Saleh) 

Raden Saleh, Bapak Lukisan Modern Indonesia, lahir pada tahun 1814 di Semarang dan menghabiskan masa kecilnya di rumah pamannya, seorang bupati, yang mendorong minat keponakannya dalam menggambar. Pada tahun 1829, Raden Saleh memperoleh beasiswa untuk belajar di Belanda. Pada tahun 1851, setelah kembali lagi ke Batavia, Ia membangun sebuah rumah besar dengan hiasan kaya detail bergaya Neo-Gothic Perancis untuk dirinya dan sang istrinya yang berdarah Eurasia.

Terletak di kawasan Cikini, Jakarta, sejak 1897, rumah ini berfungsi sebagai asrama bagi para perawat Rumah Sakit Cikini yang didirikan di atas perluasan tanah rumah Raden Saleh.


Istana Merdeka (Het Nieuwe Paleis Van Den Gouverneur-Generaal Op Het Koningsplein)

Pada akhir abad 19 (1873-1879), saat kediaman gubernur jenderal Belanda (kini 'Istana Negara') dirasa terlalu sempit guna memenuhi kebutuhan sebagai kediaman resmi, maka gedung baru dibangun tepat di belakang kediaman resmi tersebut untuk digunakan sebagai tempat resepsi kenegaraan.

'Istana Baru' tersebut, sebagaimana sebutannya kemudian, menjadi tempat bersejarah saat di depan gedung ini pada tanggal 27 Desember 1949 untuk terakhir kalinya bendera Belanda diturunkan dari tiang, lantas digantikan dengan bendera Merah-Putih Indonesia. Sesaat setelah bendera republik baru berkibar di angkasa, masyarakat sekitar gegap gempita dan dengan penuh haru serentak meneriakkan pekik "Merdeka!". Sejak saat itu gedung tersebut dinamai 'Istana Merdeka'.


Lapangan Banteng (Waterlooplein) 

Mulanya dibangun dengan sebutan waterlooplein. Nama tersebut dipakai guna memperingati kebebasan Belanda dari pendudukan Perancis, setelah tentara Inggris berhasil menundukkan Napoleon pada pertempuran di Waterloo, Belgia. Waterlooplein dikenal juga sebagai Lapangan Singa karena di tengah lapangan tersebut, berdiri sebuah tugu yang di puncaknya terdapat patung singa, simbol keperkasaan.

Di lapangan ini berdiri pula monumen untuk mengenang General Michiels, seorang pejuang Belanda pada perang Padu di Sumatera. Saat Jakarta diduduki Jepang, pihak militer Jepang menggunakan Lapangan Singa sebagai tempat pelatihan militer dan arena kegiatan lain. Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno mengganti nama Lapangan Singa menjadi Lapangan Banteng.

  
 Kantor Pos Besar Pasar Baru (Het Postetablissemen Te Weltevreden) 

Selama zaman Belanda ada tujuh kantor pos di Batavia, dengan kantor pos pusat terletak di area perumahan Weltevreden. Kantor pos cabangnya terletak di daerah Gondangdia, Kramat, Molenvliet (Gadjah Mada), dan Meester Cornelis (Jatinegara). Ada juga dua kantor pos independen, satu di daerah Kota dan satu lagi di Tanjung Priok.

Di Jakarta masa ini, kantor pos utama (Kantor Pos Besar Pasar Baru) terletak tepat di belakang bekas bangunan kantor pusat dahulu yang sekarang berfungsi sebagai tempat untuk Perkumpulan Filateli Indonesia.

Demikianlah beberapa kawasan Jakarta tempo dulu yang dari masa ke masa menjadi saksi bisu dari setiap peristiwa sejarah yang terjadi. Sebagian bangunan tersebut saat ini menjadi cagar budaya yang keberadaannya dilindungi oleh pemerintah. Kawasan yang cukup besar dan masih banyak terdapat bangunan asli terletak di Kota, yang saat ini dikenal dengan kawasan Kota Tua dan menjadi salah satu tujuan wisata sejarah bagi warga Jakarta dan sekitarnya.

Artikel terkait (klik kanan ini)

Disukai Pengunjung