Pellion adalah seorang pelukis topografi, juru angkatan laut dan kapal
taruna l'Uranie bawah komando Louis de Freycinet selama pelayaran dari
1817-1820. Pellion membuat banyak sketsa di NSW, termasuk pandangan dari Cox
Pass dan Cox Sungai dan potret kaum pribumi setempat. Masa aktif 1818-1819, 12 September 1818 (Tiba di papan l'Uranie di Shark Bay, WA. Tiba di Port Jackson 1819/11/18), pekerjaan lainnya juru angkatan laut (kode ANZSIC: 6923).(sumber)
Alphonse Pellion, Different Costumes of the People of Coupang, Timor,
from Voyage Austour du Monde sur les Corvettes de LUranie 1817-20 engraved by
Prot, published 1825
Gambar ini memperlihatkan gaya berpakaian masyarakat
Kota Kupang, disamping keberadaan alat musik harpa. Namun gambar ini cendrung memperlihatkan keberadaan nyonya
besar yang sedang dilayani baik oleh pembawa minum dan hiburan dari pemain
musik. Kedudukan nyonya yang lebih tinggi terlihat dari jubah yang digunakan,
kursi mewah dan keberadaan
tempolong kuningan untuk meludah.
Alphonse Pellion, "Interior of a House in Coupang,
Timor, "1825, from
Voyage Autour du Monde sur les Corvettes de LUranie 1817-20, engraved by
Lerouge and Forget, published
Gambaran interior rumah penduduk lokal
di Kota Kupang dapat terlihat pada lukisan ini, tidak ada lukisan berbingkai, yang menjadi hiasan dinding adalah senjata seperti kalewang telah menjadi penghias dinding rumah penduduk. Terlihat juga belum adanya
lemari dan pakaian di gantungkan di dinding. Dalam gambar terlihat
seorang petugas Eropa bersenjata sedang mengunjungi rumah penduduk sambil
melihat permainan congklak yang dimainkan penghuni rumah.
View of the Bazaar at Coupang,
Timor, from Voyage Autour du Monde sur les Corvettes de LUranie 1817-20
engraved by Pomel, published 1825 By Alphonse Pellion
Lukisan ini memperlihatkan pasar di Kota Kupang pada awal abad ke-19. Terlihat aksi kriminal berupa penikaman terhadap seorang penduduk
lokal dengan pisau dan darah berceceran, korban berusaha ditolong oleh seorang
Eropa. Kehidupan sosial di pasar yang mempertemukan banyak etnis seringkali
mengakibatkan tindak kejahatan, sehingga perlu pengawasan pemerintah
Belanda saat itu. Dalam gambar terlihat kedatangan seorang
opas (agen polisi Belanda dengan ciri khas tidak bersepatu) yang melerai
perkelahian antara seorang anak kecil melawan orang dewasa yang mengakibatkan
penikaman. Kejadian tersebut menjadi perhatian masyarakat lokal disekitar, yang
berjualan dan berdagang seperti orang-orang Cina di depan tokonya.
Catatan Sejarah oleh: Bambang Budi Utomo
Catatan Sejarah oleh: Bambang Budi Utomo
Pada era perdagangan rempah, Ternate begitu
dikenal di seluruh penjuru dunia. Mulai dari Tiongkok di timur, sampai
Amsterdam di barat. Sekarang, Ternate bahkan nyaris tidak dikenal oleh sebagian
besar orang Indonesia. Boleh jadi akan dikatakan bahwa Ternate ada di
Pulau Halmahera. Ini karena Ternate merupakan sebuah pulau kecil di sebelah
barat Pulau Halmahera. Dalam peta yang berskala besar, Ternate seperti berada
di pantai barat Halmahera. Mengapa Ternate begitu dikenal pada era perdagangan
rempah?
Perdagangan rempah
”Saudagar-saudagar Melayu mengatakan bahwa Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk fuli (dan pala), sedangkan Maluku (utara) untuk cengkeh, dan barang-barang dagangan ini tidak tumbuh di tempat lain di dunia kecuali di tempat itu.” Demikian gunjingan saudagar Portugis di Melaka pada abad ke-17. Daya tarik cengkeh, pala, dan bunga pala menjadi dorongan utama perkembangan perdagangan antarbangsa di Asia Tenggara.
Pohon cengkeh (Eugenia aromatica) terdapat di Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Pala dan bunga merahnya diperoleh dari pohon pala (Myristica fragrans) yang terdapat di Pulau Banda. Setelah tahun 1550, pohon-pohon ini ditanam di kawasan lain di Nusantara. Dengan kemajuan teknologi budidaya tanaman, pada akhirnya pohon ini dapat ditanam di beberapa tempat di dunia, antara lain Zanzibar, Afrika Barat.
Melalui komoditas cengkeh dan pala, dapat ditelusuri jalur-jalur pelayaran dan perdagangan sampai seberapa jauh hubungan Maluku dengan dunia luar. Sebuah sumber tertulis Romawi tahun 75 Masehi, Plinius Major, menyebutkan adanya garyophyllon (nama tumbuhan yang hanya dapat tumbuh di hutan sakti India). Dari keterangan sumber tersebut, Rouffaer menduga bahwa yang dimaksud dengan garyophyllon adalah cengkeh dan telah dikenal di Benua Eropa pada awal abad Masehi.
Namun, jauh sebelum itu, pada sebuah ekskavasi arkeologi di situs Terqa (Mesopotamia, Syria) ditemukan sebuah jambangan yang penuh berisi cengkeh. Jambangan ini ditemukan pada sebuah ruangan dapur rumah sederhana yang berasal dari sekitar tahun 1700 SM.
Sumber Eropa lainnya menyebutkan bahwa St Silvester, seorang uskup Roma (314-335 Masehi), menerima hadiah 150 pon cengkeh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada tahun 547 Cosmos Indicopleustis mencatat di antara barang-barang dagangannya terdapat rempah-rempah yang didatangkan dari Tiongkok dan Sri Lanka.
Sebuah sumber Tiongkok menginformasikan bahwa salah seorang Kaisar Dinasti Han (abad ke-3 SM) mengharuskan para petinggi kekaisaran Tiongkok untuk mengulum cengkeh ketika menghadap dan berbicara dengan kaisar. Tujuannya supaya mulut petinggi tersebut berbau harum. Informasi dari sumber-sumber tadi menimbulkan pertanyaan. Sebuah komoditas yang ”hanya” dihasilkan dari Maluku, tetapi ada di tempat lain yang letaknya jauh dari sumbernya.
Pertanyaannya, siapa yang membawa komoditas tersebut? Apakah mereka yang datang mengambil, atau saudagar Melayu dari Maluku yang membawanya? Atau dibawa secara berantai dari Maluku, lalu ke India (Sri Lanka), kemudian melalui jalan darat sampai ke Eropa. Sumber-sumber tertulis tersebut mengindikasikan bahwa bukan pembeli yang datang ke Maluku, melainkan orang-orang dari Maluku yang datang ke pasar.
Sampai seberapa jauh para pelaut/saudagar Nusantara ini mengarungi laut. Apakah mereka hanya melayari laut yang memisahkan antarpulau, atau lebih jauh lagi sampai ke Eropa di barat, atau Tiongkok di timur?
Sebuah gambar cat air yang dibuat oleh Alphonse Pellion yang berjudul ”Kora-kora from Gebe, North Moluccas, 1818” menggambarkan sebuah perahu besar dengan 9-10 pendayung dan sebuah layar besar. Perahu besar ini sangat layak untuk pelayaran jarak jauh dan dipergunakan untuk mengangkut rempah-rempah, khususnya pala dan cengkeh, ke pelabuhan entrepĂ´t di Asia Tenggara.
Benih sengketa
Rempah-rempah merupakan komoditas yang menggiurkan pada sekitar abad ke-16. Gara-gara harumnya kuncup bunga ini, berbagai bangsa datang mencarinya sampai ke bumi Maluku Utara.
Pada awalnya orang Maluku yang membawa keluar komoditas ini. Kemudian saudagar dari Persia, India, dan Tiongkok yang datang membeli. Ketika para saudagar ini datang, perdagangan di Maluku masih berjalan normal. Hubungan antarsaudagar masih berjalan baik.
Setelah para saudagar Asia berhubungan dagang dengan Ternate, tibalah saatnya saudagar Eropa yang datang. Orang Eropa yang datang pertama kali ke Ternate adalah Lopes de Sequiera, seorang avonturir dari Portugis. Ia muncul pertama kali di Nusantara pada tahun 1509.
Kemudian, pada tahun 1512, Antonio de Abreu, seorang perwira armada Alfonso de Albuquerque, tiba di Maluku, pulau penghasil rempah-rempah. Setelah orang-orang Portugis, berturut-turut orang Spanyol, Belanda, dan Inggris. Inilah awal sengketa di Maluku di antara penduduk setempat.
Orang Portugis awalnya diterima dengan baik oleh penduduk Ternate. Bahkan orang Ternate sendiri yang minta dibuatkan benteng. Sebagai imbalannya, orang Portugis mendapat monopoli perdagangan cengkeh. Akhirnya sebuah perjanjian dibuat antara Portugis dan Ternate, tetapi perjanjian tersebut lebih merugikan Ternate. Mulailah ketidaksenangan orang Ternate.
Pada tahun 1521, melalui jalur utara dari Filipina, datanglah bangsa Spanyol. Kedatangannya disambut baik oleh orang Maluku. Namun, keberadaan Spanyol hanya sampai tahun 1534. Dengan dalih perjanjian Tordesillas yang ditandatangani pada 7 Juni 1494, Spanyol harus keluar dari Maluku.
Akibat dari datangnya orang-orang Barat, sengketa di antara orang-orang Maluku mulai terjadi. Satu kesultanan bersahabat dengan salah satu bangsa Barat, sementara itu kesultanan lain membela bangsa Barat yang lain.
Bangsa-bangsa Barat inilah yang membangun benteng-benteng pertahanan di Ternate, Tidore, Bacan, dan beberapa pulau lain. Ternate merupakan pulau yang terbanyak dengan tinggalan bentengnya, misalnya Tolocco (1512), Castella (1521), Kalamata (1540), dan Oranye (1607).
Perdagangan rempah
”Saudagar-saudagar Melayu mengatakan bahwa Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk fuli (dan pala), sedangkan Maluku (utara) untuk cengkeh, dan barang-barang dagangan ini tidak tumbuh di tempat lain di dunia kecuali di tempat itu.” Demikian gunjingan saudagar Portugis di Melaka pada abad ke-17. Daya tarik cengkeh, pala, dan bunga pala menjadi dorongan utama perkembangan perdagangan antarbangsa di Asia Tenggara.
Pohon cengkeh (Eugenia aromatica) terdapat di Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Pala dan bunga merahnya diperoleh dari pohon pala (Myristica fragrans) yang terdapat di Pulau Banda. Setelah tahun 1550, pohon-pohon ini ditanam di kawasan lain di Nusantara. Dengan kemajuan teknologi budidaya tanaman, pada akhirnya pohon ini dapat ditanam di beberapa tempat di dunia, antara lain Zanzibar, Afrika Barat.
Melalui komoditas cengkeh dan pala, dapat ditelusuri jalur-jalur pelayaran dan perdagangan sampai seberapa jauh hubungan Maluku dengan dunia luar. Sebuah sumber tertulis Romawi tahun 75 Masehi, Plinius Major, menyebutkan adanya garyophyllon (nama tumbuhan yang hanya dapat tumbuh di hutan sakti India). Dari keterangan sumber tersebut, Rouffaer menduga bahwa yang dimaksud dengan garyophyllon adalah cengkeh dan telah dikenal di Benua Eropa pada awal abad Masehi.
Namun, jauh sebelum itu, pada sebuah ekskavasi arkeologi di situs Terqa (Mesopotamia, Syria) ditemukan sebuah jambangan yang penuh berisi cengkeh. Jambangan ini ditemukan pada sebuah ruangan dapur rumah sederhana yang berasal dari sekitar tahun 1700 SM.
Sumber Eropa lainnya menyebutkan bahwa St Silvester, seorang uskup Roma (314-335 Masehi), menerima hadiah 150 pon cengkeh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada tahun 547 Cosmos Indicopleustis mencatat di antara barang-barang dagangannya terdapat rempah-rempah yang didatangkan dari Tiongkok dan Sri Lanka.
Sebuah sumber Tiongkok menginformasikan bahwa salah seorang Kaisar Dinasti Han (abad ke-3 SM) mengharuskan para petinggi kekaisaran Tiongkok untuk mengulum cengkeh ketika menghadap dan berbicara dengan kaisar. Tujuannya supaya mulut petinggi tersebut berbau harum. Informasi dari sumber-sumber tadi menimbulkan pertanyaan. Sebuah komoditas yang ”hanya” dihasilkan dari Maluku, tetapi ada di tempat lain yang letaknya jauh dari sumbernya.
Pertanyaannya, siapa yang membawa komoditas tersebut? Apakah mereka yang datang mengambil, atau saudagar Melayu dari Maluku yang membawanya? Atau dibawa secara berantai dari Maluku, lalu ke India (Sri Lanka), kemudian melalui jalan darat sampai ke Eropa. Sumber-sumber tertulis tersebut mengindikasikan bahwa bukan pembeli yang datang ke Maluku, melainkan orang-orang dari Maluku yang datang ke pasar.
Sampai seberapa jauh para pelaut/saudagar Nusantara ini mengarungi laut. Apakah mereka hanya melayari laut yang memisahkan antarpulau, atau lebih jauh lagi sampai ke Eropa di barat, atau Tiongkok di timur?
Sebuah gambar cat air yang dibuat oleh Alphonse Pellion yang berjudul ”Kora-kora from Gebe, North Moluccas, 1818” menggambarkan sebuah perahu besar dengan 9-10 pendayung dan sebuah layar besar. Perahu besar ini sangat layak untuk pelayaran jarak jauh dan dipergunakan untuk mengangkut rempah-rempah, khususnya pala dan cengkeh, ke pelabuhan entrepĂ´t di Asia Tenggara.
Benih sengketa
Rempah-rempah merupakan komoditas yang menggiurkan pada sekitar abad ke-16. Gara-gara harumnya kuncup bunga ini, berbagai bangsa datang mencarinya sampai ke bumi Maluku Utara.
Pada awalnya orang Maluku yang membawa keluar komoditas ini. Kemudian saudagar dari Persia, India, dan Tiongkok yang datang membeli. Ketika para saudagar ini datang, perdagangan di Maluku masih berjalan normal. Hubungan antarsaudagar masih berjalan baik.
Setelah para saudagar Asia berhubungan dagang dengan Ternate, tibalah saatnya saudagar Eropa yang datang. Orang Eropa yang datang pertama kali ke Ternate adalah Lopes de Sequiera, seorang avonturir dari Portugis. Ia muncul pertama kali di Nusantara pada tahun 1509.
Kemudian, pada tahun 1512, Antonio de Abreu, seorang perwira armada Alfonso de Albuquerque, tiba di Maluku, pulau penghasil rempah-rempah. Setelah orang-orang Portugis, berturut-turut orang Spanyol, Belanda, dan Inggris. Inilah awal sengketa di Maluku di antara penduduk setempat.
Orang Portugis awalnya diterima dengan baik oleh penduduk Ternate. Bahkan orang Ternate sendiri yang minta dibuatkan benteng. Sebagai imbalannya, orang Portugis mendapat monopoli perdagangan cengkeh. Akhirnya sebuah perjanjian dibuat antara Portugis dan Ternate, tetapi perjanjian tersebut lebih merugikan Ternate. Mulailah ketidaksenangan orang Ternate.
Pada tahun 1521, melalui jalur utara dari Filipina, datanglah bangsa Spanyol. Kedatangannya disambut baik oleh orang Maluku. Namun, keberadaan Spanyol hanya sampai tahun 1534. Dengan dalih perjanjian Tordesillas yang ditandatangani pada 7 Juni 1494, Spanyol harus keluar dari Maluku.
Akibat dari datangnya orang-orang Barat, sengketa di antara orang-orang Maluku mulai terjadi. Satu kesultanan bersahabat dengan salah satu bangsa Barat, sementara itu kesultanan lain membela bangsa Barat yang lain.
Bangsa-bangsa Barat inilah yang membangun benteng-benteng pertahanan di Ternate, Tidore, Bacan, dan beberapa pulau lain. Ternate merupakan pulau yang terbanyak dengan tinggalan bentengnya, misalnya Tolocco (1512), Castella (1521), Kalamata (1540), dan Oranye (1607).
http://djuliantosusantio.blogspot.com/2009/03/ternate-semerbak-cengkeh-sampai-ke.html