by Betwa Sharma* (25 Maret 2010)
Salah satu gambar yang paling provokatif yang
dilukis Hanan Tabbara adalah sebuah lukisan dari pastel dan arang yang
menggambarkan darah berceceran, yang mengalir keluar dari vagina seorang
perempuan. Tabbara melukis gambar ini setelah seorang sahabat dekatnya
diperkosa, kemudian dia memasang lukisan ini pada gambar profil di
Facebook-nya. Kini sudah dua tahun mahasiswi ilmu politik yang berusia 20 tahun
dari Brooklyn ini melukis gambar-gambar telanjang. “Aku sadari bahwa hal ini
dilarang, tetapi aku tidak mau pusing,” kata Tabbara.
Sementara Alquran sendiri tidak secara khusus
melarang seni telanjang, namun pendapat yang hampir umum di kalangan para
pemuka agama Islam adalah bahwa Islam melarangnya. Akan tetapi, sejumlah
seniman Muslim telah dengan berani melukis gambar-gambar telanjang. “Hal ini
menimbulkan konsekwensi-konsekwensi moral yang melawan Islam,” kata Imam Shamsi
Ali, pemimpin Islamic Cultural Center of New York. “Tidak ada pembenarannya
untuk mengatakan bahwa melukis gambar telanjang diperbolehkan atas nama seni.”
Larangan ini pada dasarnya berasal dari tabu yang
tidak memperbolehkan orang memikirkan hal-hal seksual ketika memandang
gambar-gambar tubuh telanjang. Dilihat dari sudut ini, Imam Ali juga menjelaskan
bahwa “tidaklah diinginkan” jika kaum Muslim memandang lukisan-lukisan
telanjang, bahkan jika lukisan-lukisan ini dipandang sebagai karya-karya besar.
“Islam melihat bahaya yang ditimbulkan dari lukisan-lukisan semacam itu jauh
lebih besar ketimbang manfaatnya,” tegasnya. “Seorang artis dapat menyampaikan
suatu pesan penting di dalam karyanya tanpa harus menggambar orang telanjang.”
Tabbara, yang keluarganya berasal dari Lebanon,
berusaha menempatkan Allah secara seimbang dengan gelora seninya untuk melukis.
“Ada sangat banyak aturan, sosial dan politis, yang dapat melemahkan dan
menghalangi kreativitas artis manapun,” katanya, seraya mengaku dengan terbuka
bahwa dia telah melukis dengan memakai model-model telanjang.
Banyak mahasiswi Muslim mengikuti kuliah di
sekolah-sekolah seni yang mengharuskan mereka menggambar model-model telanjang.
Seorang ulama keagamaan Muslim Syi’ah, Mushin Alidina, menasihati kaum Muslim
untuk menolak mata kuliah ini sebab, di bawah Islam, kaum perempuan hanya dapat
memperlihatkan wajah, pergelangan tangan, lengan dan kaki, sementara kaum pria
perlu membuat bagian-bagian di antara pinggang dan lutut mereka tertutup.
“Gagasan ini dipertahankan untuk mencegah bangkitnya syahwat dasariah manusia,”
katanya menjelaskan.
Bagaimanapun juga, memakai model telanjang di
Barat, hanyalah suatu fenomena yang belum lama muncul. Seorang sejarawan seni
di Barnard College, Anne Higonnet, menjelaskan bahwa praktek ini berkurang
setelah kejatuhan Imperium Romawi, lalu muncul kembali sebentar selama masa
Renesans, lalu bangkit kembali di akademi-akademi kesenian Eropa abad ke-17 di
mana kebanyakan pose dilakukan oleh kaum perempuan kelas pekerja atau oleh para
pelacur. Debat mengenai apakah para seniman perempuan dapat bekerja dengan
model-model telanjang terus berlangsung sampai akhir abad ke-19.
Miss Liberty (karya Makan Emadi)
Higonnet menunjukkan bahwa stigma terhadap
ketelanjangan bahkan berlangsung hingga abad ke-20 ketika para kritikus seni
memperdebatkan gambaran Picasso mengenai lima orang pelacur di dalam karyanya
yang dibuat tahun 1907, yang kini sudah menjadi sebuah karya klasik, yang
diberi judul Les Demoiselles d'Avignon. “Lima pelacur ini dianggap
menggambarkan bahaya seksualitas,” katanya.
Tetapi seorang seniman kelahiran Lebanon, Hala
Shoukair, 53 tahun, tidak merasa ada masalah ketika dia menggambar model-model
telanjang di Sorbonne, Paris, selama tahun 1970-an. “Satu-satunya koneksi
adalah antara aku dan pinsil…. Aku tidak memikirkan apakah Allah memandang ke
arahku dan berkata, ‘Hala, jangan lakukan itu,” katanya menjelaskan.
Shoukair yang sekarang berdiam di New York
menegaskan bahwa tabu yang melarang Muslim membuat lukisan telanjang berasal
dari suatu masyarakay yang konservatif, bukan dari agama Islam itu sendiri. “Kami
sekarang ini hidup pada zaman Abad Pertengahan, di mana segala sesuatu
dilarang, tetapi hal ini tidak akan selamanya demikian, dan suatu hari akan ada
perubahan lagi.”
Ms Nada Shabout, seorang professor kesenian Islam
di Universitas Texas Utara, sependapat bahwa Islam tidak pernah mengambil suatu
posisi formal sehubungan dengan lukisan telanjang, dan apa yang dipersepsi
sebagai suatu larangan keagamaan sebenarnya adalah suatu tabu kultural yang
dibebankan oleh suatu masyarakat konservatif. “Islam perlu dikeluarkan dari
wacana semacam ini; kenyataannya adalah orang yang berbeda mengatakan hal-hal
berbeda pada waktu-waktu yang berbeda,” katanya, sambil memperingatkan bahwa
sebuah tabu yang disamarkan sebagai suatu larangan suci telah menciptakan suatu
kesalahpahaman sangat besar dalam masyarakat. Sang professor menjelaskan bahwa
tidak ada larangan tersurat yang sungguh-sungguh diperlukan karena para pemuka
keagamaan, sejak dini, sudah melarang orang Islam melukis gambar-gambar yang
seperti manusia hidup, karena mereka takut pada pemujaan berhala, dan
kontroversi sekarang ini muncul hanya dalam abad ke-20 ketika sekolah-sekolah
seni gaya Eropa bermunculan di Timur Tengah.
Seorang seniman yang berusia 40 tahun, Khalid Al
Tahmazi, yang berbasis di Bahrain, yang telah membuat sedikit lukisan setengah
telanjang, menginginkan para pemuka keagamaan untuk tidak lagi hanya terpusat
pada subjek lukisan, melainkan hendaknya hanya fokus pada pesannya. “Kami tidak
membuat lukisan-lukisan itu untuk disembah; kami hanya membuat lukisan-lukisan
itu mengekspresikan pikiran dan perasaan kami,” tandasnya.
Bagaimanapun juga, lukisan-lukisan telanjang telah
muncul di sepanjang sejarah Islam, menurut pendapat seorang sejarawan seni,
Zainab Bahrani di Universitas Columbia, khususnya di dalam dekorasi-dekorasi
sampul manuskrip-manuskrip. “Tidak umum memang, tetapi ada,” katanya, sementara
menjelaskan bahwa ketelanjangan demi ketelanjangan tidak diizinkan. “Dalam
konteks suatu narasi atau suatu kisah, lukisan telanjang dimungkinkan dibuat.”
Bahkan pada masa kini, adanya sedikit contoh seni
dan fotografi telanjang hanya menimbulkan sedikit sakit kepala pada kaum imam,
yang lebih tersedot pada masalah pengaruh kuat pornografi pada kaum muda. Imam
Ali meragukan kalau di masa depan akan terjadi perubahan pada peraturan agama
yang sudah ada. “Islam menjaga umatnya untuk tidak terjatuh ke jalan yang
salah,” tegasnya.
Alasan menolak ketelanjangan di Barat, yang
berlangsung sudah demikian lama, juga lebih bersifat kultural ketimbang
religius, menurut Higonnet. “Hal ini terutama adalah suatu keresahan sosial
yang diwarnai oleh suatu penolakan Kristen yang sudah lama ada terhadap
kesenangan tubuh,” katanya. “Semua kebudayaan di seluruh dunia, di sepanjang
bagian terbesar sejarah mereka, telah merasa sangat cemas mengenai hal ini.
Bukan hanya dalam Islam.”
Empat tahun lalu, seorang seniman India, Maqbool
Fida, seorang Muslim, terpaksa meninggalkan negaranya karena adanya ancaman
pembunuhan dari kalangan fundamentalis Hindu dan ratusan kasus hukum yang menuduhnya
telah melukai perasaan publik karena telah melukiskan dewi-dewi Hindu dalam
pose telanjang. “Ketelanjangan dalam kebudayaan Hindu adalah sebuah metafora
kemurnian dan kesucian,” kata Husain dalam suatu wawancara baru-baru ini dengan
Tehelka, sebuah majalah mingguan India. Tetapi pendapat publik di negeri itu
tetap terpecah sehingga membuat sang seniman yang sudah berusia 95 tahun itu
terpaksa menyerahkan paspor Indianya lalu menjadi seorang warga negara Qatar.
Dewasa ini para seniman yang melukis gambar
telanjang membuat diri mereka rentan pada ancaman dan sensor dari komunitas
yang lebih besar. Hal ini membuat keluarga-keluarga mereka merasa sangat cemas.
Tabbara, yang berencana mengadakan pameran umum pertamanya, telah mengabaikan
himbauan ibunya untuk “melembutkan lukisan-lukisan telanjangnya.” “Ibu
mengharapkan aku untuk tidak melukis demikian, tetapi dia menerimanya,” kata
Tabbara. “Ayahku selalu menopang aku.”
Pada pihak lainnya, bunda Amir Normandie yang
berusia 67 tahun, di Tehran, dengan kekeh menentang fotografi telanjangnya.
“Kamu tidak akan dapat mengubah dunia, jadi mengapa kamu menciptakan permusuhan
dan menimbulkan banyak musuh,” kata bundanya mengkritik puteranya. Fotografer
yang berbasis di Chicago ini telah terpaksa menutup pamerannya karena protes
yang sangat kuat dari mahasiswa-mahasiswa Muslim di Harper College di Illinois.
“Anda percaya bahwa karya-karya anda dilindungi oleh kebebasan berbicara,” kata
Normandie. “Tetapi karya-karya saya disingkirkan dengan cara yang sama seperti
kalau pamerannya diadakan di Iran atau di Timur Tengah.”
Satu seri potret Hijab yang dibuatnya menggambarkan
pemimpin besar Iran, Ayatollah Sayyed Ali Khamenei, sedang menarikan tango
bersama dengan seorang perempuan setengah telanjang bercadar. “Para imam di
Iran memaksa Iran dan kaum perempuan Iran menarikan tango,” kata Normandie,
yang memakai karya-karyanya untuk mengkritik rezim Iran atas apa yang
dilihatnya sebagai penaklukan perempuan secara menyeluruh.
Seorang seniman Iran lainnya, Makan Emadi, telah
menggunakan karya-karya lukisannya untuk menertawakan pengobjekan perempuan
baik di Barat maupun penindasan mereka di Timur. Serangkaian lukisannya yang
dinamakan Islamo-erotica menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang memakai
baju hitam panjang untuk menyingkapkan pose-pose mereka sebagai para bintang
dan hero. Lukisan-lukisannya ini mencakup lukisan seorang perempuan yang
memamerkan pantat, paha dan betisnya sementara duduk di dalam sebuah gelas
Martini, lukisan seorang perempuan sedang memangku sebuah senjata laras
panjang, dan lukisan seorang perempuan lainnya sedang memakai rok yang
terhembus ke atas, gaya Marilyn Monroe. “Ini adalah seksisme di mana-mana,”
kata Emadi, yang berdiam di Los Angeles. “Pada satu sisi dunia ini, seksualitas
adalah suatu produk yang menarik untuk dijual kepada umum, dan pada sisi
lainnya, seksualitas disangkal.”
Kedua seniman Iran-Amerika ini telah
mempertimbangkan kemungkinan adanya sebuah fatwa yang akan dikeluarkan terhadap
mereka, tetapi sejauh ini mereka hanya dibanjiri oleh email yang berisi
kebencian.
Al Tahmazi, yang berada di Timur Tengah, telah
berhasil menghindari kemarahan semacam yang dialami teman-temannya di Amerika.
“Di Bahrain, para penonton yang mengunjungi pameran-pameran adalah orang-orang
yang sudah dibebaskan dan mereka tidak memiliki keberatan-keberatan,” katanya.
“Para pemuka keagamaan tidak mau menyaksikan lukisan-lukisan ini, dan jika
mereka melihatnya, maka mungkin mereka akan menimbulkan persoalan.”
Sementara Normandie telah meminta polisi Chicago
melindungi dirinya, Emadi bergantung pada penyamarannya yang terjaga dan ditata
dengan seksama, tetapi dia bukanlah tidak menyadari bahaya yang bisa menimpa
dirinya. “Apakah aku ingin menjadi Salman Rushdie berikutnya, tentu saja tidak…
sejauh ini baik-baik saja,” katanya.