Artikel Terkait
Diramu oleh Nasbahry Couto
Jim Supangkat bernama lengkap Jim Abiyasa Supangkat Silaen. Pria yang lahir 2 Mei 1948 di Makassar, Sulawesi Selatan ini banyak mewarisi darah seni dari paman dan kakeknya. Sehingga wajar bila sejak kecil ia telah mulai melukis dan bercita-cita menjadi pelukis. Kehidupan berkesenian memang telah dirasakannya sejak kecil. Terlebih lagi, ayahnya adalah kolektor benda seni. Tahun 1975, Jim menyelesaikan pendidikan seni dari Fakultas Seni Rupa ITB, Bandung.
Karya-karya Jim
Disharmony (1999) 444x394 oil on canvas
Pada lukisan-lukisannya dengan tema Bali, aboutness bisa segera ditangkap; Chusin ingin menampilkan kehidupan urban di Bali dan pengaruh tradisi pada kehidupan—terlihat nyata pada berbagai tanda yang jelas. Namun persoalan ini tidak mempunyai kedalaman bila pembacaan berhenti pada teks. Pengamatan yang umum biasanya memang berhenti sampai di sini. Padahal ada pesan yang lebih mendalam yang tersembunyi pada pengolahan bahasa ungkapan.
Diramu oleh Nasbahry Couto
Catatan
: Jim adalah teman seangkatan waktu kuliah
di ITB dahulu (angkatan 1970), penulis masuk jurusan Komunikasi, sedangkan Jim
jurusan patung. Sekolah bisa sama, tapi nasib berlainan. Rasanya menarik untuk
menuliskan tentang orang yang satu ini. Di bawah ini disertakan artikel kuratorial Jim tentang lukisan "realisme" gaya Yogya, Chusin Setiadikara.
Catatan penulis. Ini hanya sebuah analogi, hal yang agak istimewa, sejak awal sekolah seni di Yogya memang melatih murid-muridnya untuk menggambar secara benar. Walaupun Chusin bukan alumni Yogya, sebab dia pada dasarnya otodidak dan pernah belajar pada pelukis Lee Man Fong.
Jim Supangkat bernama lengkap Jim Abiyasa Supangkat Silaen. Pria yang lahir 2 Mei 1948 di Makassar, Sulawesi Selatan ini banyak mewarisi darah seni dari paman dan kakeknya. Sehingga wajar bila sejak kecil ia telah mulai melukis dan bercita-cita menjadi pelukis. Kehidupan berkesenian memang telah dirasakannya sejak kecil. Terlebih lagi, ayahnya adalah kolektor benda seni. Tahun 1975, Jim menyelesaikan pendidikan seni dari Fakultas Seni Rupa ITB, Bandung.
Pada
tahun 1970-an Jim menjadi penggagas Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, yang
diikuti oleh banyak seniman pada masa itu. Gerakan itu merupakan bentuk
pemberontakan terhadap seni rupa pada masa itu, yang dianggap cenderung
bersifat amatir.
Jim
Supangkat adalah seniman yang awalnya juga berprofesi sebagai wartawan. Ia
bahkan sempat menduduki jabatan Redaktur Pelaksana Majalah Tempo. Namun
kecintaannya pada dunia seni rupa, membuat ia akhirnya lebih memilih profesi
sebagai kritikus seni dan kurator. Dalam pembelajarannya sebagai kurator, Jim
banyak melakukan perjalanan ke luar negeri, antara lain ke sejumlah museum seni
rupa di Jepang. Di akhir 80-an, Jim bekerja penuh sebagai kritikus dan kurator.
Ia melakukan praktik kuratorial secara independen, seperti banyak kurator di
Eropa dan Amerika Serikat. Telah banyak tulisan kritik dan buku seni rupa yang
ditulisnya. Sebagai kurator, ia telah menjadi kurator bagi banyak sekali
pameran seni di Indonesia. Jim Supangkat dikenal sebagai pekerja keras. Ia juga
berani memperjuangkan hal yang dianggapnya benar.
Jim
Supangkat memulai karier seninya sebagai pematung. Namun, karya yang dihasilkan
tidak hanya patung, namun juga lukisan. Karyanya yang terkenal yaitu Pengumuman
(lukisan), Salib Gereja (patung), dan Ken Dedes (lukisan 1975 direstorasi tahun
1990)
Sebagai
seniman, sekaligus pengamat dan kritikus seni, serta kurator, Jim Supangkat
banyak menulis buku yang berhubungan dengan dunia seni dan seniman. Berikut
adalah beberapa karangannya antara lain.
- 1975. Seni Rupa Baru Indonesia, (editor)
- 1995. Lukisan, patung dan grafis G. Sidharta, , pen. Rekamedia Multiprakarsa
- 1997. Indonesian modern art and beyond, Indonesia Fine Arts Foundation, ISBN 9789799513908
- 1999. Entang Wiharso, Bentang Budaya,
- 2001. Nyoman Nuarta,
- 2002. Bunga Jeruk, Edwin's Gallery,
- 2005: Urban/Culture, ISBN 9789799100351
- 2005: Provocative bodies, interpreting the works of Mochtar Apin, 1990-1993, with Mochtar Apin, ISBN 9789799909107
- 2005: Gregorius Sidharta Sugijo : figurative works, with I Wayan Sukra, Lita and Arif B Prasetyo
- 2006. Seni Serat Biranul Anas (ditulis bersama Rizki Akhmad Zaelani)
- 2008: Self & reality Josephine Linggar, Nus Salomo, Davy Linggar, with Mia Maria, Adi Setiadi and Linggarseni
- 2009. Qi Zhilong 19922009, (bersama Li Xianting, Qi Zhilong)
- 2009: Emmitan Gallery & ArtSocietes present solo exhibition of Willy Himawan : Fusion of Paradoxes, Emmitan Gallery
- 2010: Pleasures of Chaos, Inside New Indonesian Art, with Primo Giovanni Marella, ISBN 9788862081313
- 2010: Love me or die: Entang Wiharso, with Arif Suryobuwono and Christine E Cocca, ISBN 978-9792563733
- 2011: Chusin's realistic painting: a thesis, with Henny Rolan, National Gallery, Jakarta
- 2011: Edopop, with A Anzieb, Henny Cecilia Rolan and Rachel Saraswati, ISBN 978-6029701579
Di bawah ini adalah salah satu contoh pengantar kuratorialnya pada tahun 2011 tentang pelukis Chusin.
Chusin Sang Pelukis Realis
Artikel Kuratorial oleh: Jim Supangkat
(untuk lukisannya lihat di slide)
(untuk lukisannya lihat di slide)
Pengantar
LUKISAN
realistik dalam perkembangan seni rupa Indonesia sekarang ini tidak bisa lagi
diamati dari satu sudut pandang. Dasar pemikirannya sangat beragam kendati di
permukaan memperlihatkan kesamaan. Berbagai jenis lukisan realistik yang
sekarang berkembang seperti melepaskan
diri dari wacana seni lukis realistik yang umum dikenal—akademisme,
neo-klasisisme, naturalisme, sur-realisme dan realisme. Keragaman lukisan
realistik ini berpangkal pada perubahan kedudukan fotografi terhadap seni lukis
realistik.
Sejarah
menunjukkan bahwa fotografi lahir dari seni lukis realistik yang sudah
menerapkan penggunaan camera obscura sejak Abad ke 17. Ketika fotografi pertama
kali muncul pada Abad ke 19 fungsinya tidak bisa disangkal menggantikan lukisan
realistik; membuat potret-potret kaum bangsawan dan orang-orang penting. Namun
pada Abad ke-20 fotografi melepaskan diri dari latar belakang sejarah ini.
Fotografi berkembang di banyak sektor di luar seni rupa. Penggunaan fotografi
di surat kabar dan periklanan membuat fotografi muncul sebagai gejala baru yang
jauh dari persoalan seni lukis realistik.
Ketika
lukisan realistik muncul kembali pada akhir 1960an di Inggris—di Indonesia pada
pertengahan 1970—dasarnya adalah perkembangan fotografi Abad ke 20 itu. Lukisan
realistik ini—diidentifikasi sebagai foto-realisme—lebih sesuai dikaji sebagai
penggunaan rupa-realistik (realistic images) untuk membangun komunikasi.
Rupa-realistik ini bisa disamakan dengan bahasa pada sebuah teks. Seperti
bahasa literal pada teks, rupa-realistik punya makna jelas dan bisa dibaca
karena commonality dan kesamaan persepsi.
Pada
perkembangan era 2000 ini referensi foto-realisme tidak lagi terbatas pada
fotografi. Foto-realisme ini dipengaruhi juga komik realistik, salah satu tanda
popular culture. Pangkal meluasnya komik jenis ini adalah penghidupan kembali
komik-komik realistik yang menampilkan superheroes.Komik ini lahir pada awal
Abad ke 20—Superman lahir pada 1938, Batman pada 1939 dan Captain Marvel pada
1940. (1) Sekarang pengaruh komik superheroes ini—yang sebenarnya membawa
tanda-tanda Perang Dunia II—terlihat paling nyata pada computer game dan
digital art.
Di
lingkungan digital art terjadi perkembangan substansial dalam membuat lukisan
dan gambar realistik. Pangkalnya adalah kemungkinan yang disodorkan teknologi
komputer yang tidak ada sebelumnya, yaitu kemampuan komputer mengkonversikan
foto menjadi lukisan atau gambar realistik. Maka seniman bisa menghasilkan
lukisan atau gambar realistik mengandalkan struktur gambar/lukisan realistik
yang disediakan foto. Seniman tinggal mengolah detail tanpa susah-susah membuat
sketsa atau bagan gambar/lukisan realistik. Di lingkungan digital art olahan
ini dikenal sebagai renderosity (berasal dari istilah rendering).
Di
masa lalu kemampuan melukis secara realistik dipahami sebagai (1) kemampuan
membuat struktur atau skesta gambar/lukisan realsitik, dan, (2) kemampuan
menyelesaikannya sehingga terujud sesuatu lukisan realistik. Tanpa kedua
kemampuan ini seseorang dianggap tidak bisa melukis secara realistik. Namun
sekarang terungkap bahwa kedua kemampuan ini ternyata terpisah. Seorang seniman
yang tidak mempunyai kemampuan membuat struktur, bagan, sketsa gambaran
realistik ternyata bisa menghasilkan lukisan/gambar realistik. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa renderosity berkaitan dengan kemampuan dan kepekaan
tersendiri yang tidak menyatu dengan kemampuan membuat struktur, bagan, sketsa
gambar/lukisan realistik.
Dalam
perkembangan seni rupa di Indonesia, kemungkinan yang disodorkan teknologi
komputer itu lebih banyak memunculkan lukisan realistik (di atas kanvas) karena
digital art—yang lazimnya hadir dalam bentuk print atau buku—tidak populer.
Menggunakan perangkat in-focus, lukisan atau gambar yang sudah diolah di
komputer diproyeksikan ke kanvas untuk proses pengkopian. Di sini renderosity
bukan hasil penggunaan program komputer, tapi hasil melukis secara realistik
yang tidak berbeda dengan melukis secara realistik yang konvensional.
Rendorosity
itu tampil sebagai lukisan realistik yang sudah umum dikenal. Kesamaan ini
membuat renderosity pada lukisan realistik ini diamati seperti mengamati lukisan
realistik konvensional. Kendati kedudukannya hanya bahasa pada sebuah teks yang
tidak secara langsung menentukan isi(content), kecermatan pembuatannya mempengaruhi
penilaian; pengerjaannya yang tidak cermat membuat seluruh karya terkesan
jelek. Sejumlah seniman di Indonesia menyiasati persoalan ini dengan melibatkan
artisan yang memiliki kemampuan melukis secara realistik. Kemampuan artisan ini
disadari para seniman ikut menentukan baik-buruknya karya.
Pada
kritisisme yang menekankan pembacaan teks, sesuatu gambaran realistik akan
dilihat sebagai upaya menampilkan “tanda” yang diukur keterbacaannya
(readibility). Namun pada kritisisme yang menempuh pembacaan lebih kompleks,
readibility bukan satu-satunya persoalan. Pada pembacaan ini lukisan realistik
yang cermat dan bagus akan dirasakan sebagai “bahasa yang plastis” pada teks.
Gejala ini bisa dipadankan dengan bahasa plastis yang digunakan pada penulisan
novel, cerita pendek, atau esei bahkan artikel. Plastisitas bahasa ini
membangun kesenangan (pleasure) membaca dan bisa membuat pembaca terikat
(semacam kecanduan). Pesona ini ikut mengukuhkan narasi, namun sebenarnya
merupakan persoalan di luar alur cerita.
Di
antara semua bahasa rupa—termasuk bahasa tanda—yang digunakan untuk menyusun
sesuatu teks (karya seni) hanya rupa-realistik yang bisa disamakan dengan
bahasa literal karena rupa-realistik sangat dikenal. Kesamaan persepsi dalam
memahami bahasa ini dibentuk oleh tradisi seni lukis realistik yang panjang dan
juga perkembangan fotografi sebagai referensi. Penggunaan bahasa ini berbeda
dengan penggunaan benda, tanda, simbol, barang temuan atau artefak dalam
menyusun teks yang pembacaannya bertumpu pada pengetahuan tanda-tanda
(semiotisme). Gejala ini menunjukkan penggunaan rupa-realistik dalam bentuk
lukisan sebagai bahasa tidak bisa dilepaskan dari seni lukis realistik yang
sudah dikenal.
Lukisan realistik Chusin Setiadikara
Chusin
Setiadikara, seorang pelukis yang menguasai pembuatan struktur, sketsa, atau
bagan gambar/lukisan realistik dan sekaligus menguasai teknik melukis secara
realistik (renderosity).Kemampuannya membuat sketsa/bagan meyakinkan. Sekadar
contoh, untuk pembuatan sketsa lukisan realistik berukuran besar ia mengatasi
keharusan maju mundur (untuk menyesuaikan jarak pandang) dengan cara membuat
skesta dari jarak jauh. Ia memancangkan konte pada ujung tongkat sepanjang satu
setengah meter dan dengan tongkat ber-konte ini ia membuat sketsa dari jarak
jauh.
Chusin
tidak pernah menggunakan perangkat in-focus pada pembuatan sketsa maupun
penyelesaian detail gambar/lukisan realistik. Ia tidak memerlukan perangkat ini
karena menguasai teknik menggambar realistik (drawing) maupun teknik melukis
realistik. Keduanya berkembang paralel dan sejak tahun 2002 ia menyatukan
gambar dan lukisan realistik sebagai bahasa ungkapannya; keduanya tampil dalam
kesatuan pada lukisan-lukisannya.
Kecermatan
pada lukisan realistik Chusin itu memperlihatkan “plastisitas bahasa
rupa-realistik”. Plastisitas ini bukan cuma akibat kemampuan melukis secara
realistik. Plastisitas ini mempesona karena inovasi-inovasi bahasa. Pada awal
debutnya Chusin menampilkan lukisan realistik yang rinci dan “tajam” seperti
tercermin pada lukisannya yang terkenal, Pasar Kintamani I (1995). Pada tahun
2002 ia mengubah color policy pada lukisan-lukisannya dengan cara mengurangi
spektrum warna. Ia mencoba menampilkan “bahasa subtil” yang mengandalkan
nuansa. Chusin membangun gambaran realistik dengan warna putih di atas bidang
putih (dikenal sebagai white on white series). Sekarang ini karya-karyanya
kembali memperlihatan perubahan color policy. Paralel dengan perkembangan
menggabungkan drawing dan lukisan realistik ia mengembangkan spektrum warna
primer yang menghasilkan warna-warna mencorong.
Bahasa
rupa-realistik Chusin itu kembali bisa dipadankan dengan bahasa literal pada
novel-novelbest seller yang dikenal kaya dengan inovasi bahasa. Dari gejala di
dunia sastra ini muncul istilah “bahasa yang plastis.” Plastisitas bahasa
rupa-realistik yang diperlihatkan lukisan-lukisan Chusin, tidak pernah diamati
pada wacana seni lukis realistik karena lukisan realistik selalu dilihat
sebagai upaya menyalin realitas, yang berkaitan dengan perkembangan pemikiran
di dunia filsafat.
Lukisan
realistik mencerminkan konsep “representasi” yang paling awal pada perkembangan
filsafat di mana ketepatan menyalin realitas merupakan persoalan mendasar. Di
sini, representasi adalah “bangunan” yang persis sama dengan “bangunan”
realitas, bedanya yang satu artifisial (diskripsi atau penggambaran) yang
lainnya real. Dari keyakinan tentang kesamaan ini muncul kepercayaan bahwa
penemuan kebenaran pada representasi bisa diartikan penemuan kebenaran pada
realitasnya. Perdebatan panjang dan ruwet tentang realisme mencerminkan
keyakinan ini; paham-paham realisme, realisme sosialis, realisme facis, magic
realism, dan, sur-realisme “bertarung” karena masing-masing merasa telah
menemukan kebenaran (yang absolut dan satu-satunya) pada realitas. Padahal
kebenaran ini kebenaran ideologis.
Persepsi
tentang lukisan realistik seperti itu yang membuat penemuan fotografi diyakini
sebagai tanda berakhirnya seni lukis realistik. Dibandingkan foto, upaya
menyalin lewat lukisan yang bagaimana pun tepatnya akan kalah akurat. Di
samping itu, foto dianggap bisa menampilkan obyektivitas, sementara lukisan
realistik dicurigai mengakomodasi subyektivitas dan ideologi. Dalam tulisan
“The Ontology of the Photographic Image,” (1967) André Bazin menyatakan
kematian seni lukis realistik. Ia menegaskan, penemuan fotografi adalah
peristiwa paling penting dalam sejarah seni rupa. Fotografi membebaskan seni
rupa dari obsesi menghubungkan ungkapan seni dengan realitas (mendasari wacana
realisme yang merumit) dan mengembalikan seni rupa ke persoalan estetik yang otonom. (2)
Lukisan
realistik Chusin Setiadikara yang menekankan plastisitas tidak didasarkan
persepsi itu. Karena itu lukisan realsitiknya berada di luar wacana seni lukis
realistik yang umum dikenal. Chusin tidak menggunakan lukisan realistik sebagai
bahasa untuk menyusun representasi. Ia tidak pernah mencari kebenaran pada
kerja melukisnya. Maka tidak relevan untuk menanyakan apakah ia percaya pada
pencarian kebenaran absolut pada penyalinan realitas seperti terjadi pada semua
paham realisme. Jangankan kebenaran absolut, bahkan pencarian kebenaran saja
tidak ada pada mind set dan keyakinannya tentang seni. Karena itu keyakinannya
pada lukisan realistik sama sekali tidak terganggu ketika seni lukis realistik dinyatakan “mati” setelah munculnya fotografi. Ia tetap melukis secara
realistik.
Bahasa metaforis
Wacana
seni lukis realistik harus dikaji ulang bila lukisan-lukisan realistik Chusin
diperhitungkan. Dengan memasukkan cara Chusin melukis, seni lukis realistik
berkaitan dengan dua bahasa. (1) Bahasa untuk menyalin kenyataan yang dasar
pemikirannya tidak bisa dipisahkan dari filsafat. (2) Bahasa ungkapan yang
menyediakan kemungkinan pengembangan plastisitas bahasa. Karena wacana seni
lukis realistik sampai sekarang hanya mempersoalkan bahasa yang pertama, bahasa
yang kedua—yang digunakan Chusin—bisa dilihat sebagai thesis (sampai kini belum
pernah diangkat sebagai persoalan) pada wacana seni lukis realistik yang tentunya
memerlukan argumentasi.
Langkah
pertama pada penyusunan argumentasi itu adalah menguraikan kebedaan kedua
bahasa. Tidak bisa lain upaya ini harus dimulai dengan mengkaji perkembangan
filsafat karena pemahaman wacana seni lukis realistik yang dikenal tidak bisa
dilepaskan dari persoalan “representasi” yang disebut Arthur C. Danto, central concept of philosophy. Pemikiran pada filsafat yang bisa
menunjukkan kebedaan kedua bahasa bisa ditemukan pada pemikiran filosof
Indonesia, Bambang Sugiharto. (4) tentang Bambang Sugiharto (lihat disini), dan tulisannya (lihat di sini)
Bagian
dari pemikiran Bambang Sugiharto yang membawa tanda-tanda itu adalah
pandangannya yang mengontraskan “bahasa literal”, dan, “bahasa metaforis”.
Pemikiran Bambang Sugiharto menggali pemikiran-pemikiran dalam filsafat yang
mengkaji bahasa metaforis ini. Ia melihat bahasa ini seringkali tampil pada
ungkapan seni—filosof ini memang dekat dengan dunia kesenian di Indonesia.
Bahasa metaforis ini bisa didekatkan dengan bahasa ungkapan Chusin Setiadikara.
Bahasa
literal adalah bahasa yang bersifat lugas, deskriptif, tersistem (mengenal
kategori-kategori, klasifikasi) dan digunakan pada pemikiran dengan bingkai
episteme (ilmu). Sejak berabad-abad lalu bahasa ini (dalam bentuk tulisan)
digunakan untuk mendeskripsikan realitas dalam upaya mencari kebenaran, hingga
perkembangan filsafat tidak bisa dipisahkan dari perkembangan teks. Karena itu
perkembangan mencari kebenaran pada filsafat menelusuri dua jalur. Di jalur
pertama, mencari kebenaran pada realitas dan di jalur kedua mencari kebenaran
pada himpunan teks.
Pencarian
kebenaran di jalur pertama tidak pernah mengalami kemajuan karena kebenaran
pada realitas sangat kompleks dan karena itu tidak pernah sesungguhnya bisa
dibuktikan. Pencarian kebenaran dalam filsafat kemudian bergeser ke jalur
kedua, yaitu teks. Bahasa yang tadinya digunakan untuk mendeskripsikan
kenyataan menjadi wilayah untuk mencari kebenaran. Muncul kemudian filsafat
bahasa.
Filsafat
bahasa merupakan bagian dari pemikiran modern yang dominan pada Abad ke 20.
Filsafat ini berkembang paralel dengan llmu pengetahuan (science). Seperti
semua cabang science yang masing-masing mempunyai sistem bahasa yang sangat
kompleks, filsafat mengembangkan sistem bahasa literal yang kompleks pula untuk
mencari kebenaran. Melalui sistem yang kompleks ini filsafat bahasa, dan juga
science, mengklaim telah menemukan kebenaran.
Namun
kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran yang bersifat spesifik yaitu
kebenaran yang berada “di dalam” lingkaran masing-masing ilmu. Kebenaran ini
ditegakkan di wilayah masing-masing berdasarkan kepastian sistem pengukurannya
(comensurability). Kepastian sistem pengurukuan ini bertumpu pada kesepakatan
di “lingkaran tertutup” dan karena itu tidak berlaku secara umum.
Seperti
kebanyakan pemikiran post modern, Bambang Sugiharto mempertanyakan
kebenaran-kebenaran yang diklaim filsafat bahasa. Penegakan kebenaran ini korup
karena filsafat bahasa mencoba menghubungkan kebenaran intra-linguistik
(kebenaran bahasa) dengan kebenaran ekstra-linguistik (kebenaran umum). Upaya
ini dilakukan dengan menata logika rumit yang koheren, tidak ambigu, dan, lepas
dari status tulisan agar terkesan transparan dan bisa menampilkan makna dan
kebenaran umum. Inilah puncak upaya filsafat menggunakan bahasa literal untuk
menemukan kebenaran absolut.
Upaya
itu gagal dan filsafat mengalami keguncangan setelah terjadi kehebohan yang
berawal pada pembacaan de-konstruktif Jacques Derrida—ia menguji
komponen-komponen bahasa yang tidak bermakna pada teks dan menemukan bahwa di
balik setiap makna ada makna lain. Ini salah satu penyebab munculnya isu
“post-modernisme” yang bukan isme baru tapi tanda terjadinya disorde pada semua
pemikiran modern yang dominan pada Abad ke 20.
Seni
rupa modern Abad ke 20 ikut terguncang. Sebagai bagian dari pemikiran modern
yang dasar-dasarnya tercermin pada filsafat bahasa, seni rupa modern
mengembangkan juga bahasa spesifik yaitu bahasa rupa. Bahasa rupa yang
terkurung pada wacana modernisme ini memunculkan problematik rupa yang spesifik
pula. Ini yang dimaksudkan André Bazin sebagai persoalan estetik yang otonom.
Paralel dengan seluk beluk science yang rumit dan tidak dimengerti masyarakat,
karya-karya seni rupa modern menjadi esoterik.
Keguncangan
seni rupa modern itu memunculkan perkembangan baru yang disebut-sebut seni rupa
kontemporer (pemahamannya masih goyang sampai sekarang). Pada perkembangan ini
muncul upaya membongkar teks dan melepaskannya dari kaidah-kaidah spesifik dan
memunculkan cara membaca yang umum dan lebih “terbuka” melalui pendekatan
semiotik dan hermenetik yang ternyata rumit juga. Di sini lukisan
realistik—bersama benda-benda—dilihat sebagai bahasa yang membawa makna umum.
Bahasa ini bisa dibaca karena persamaan persepsi dan pengetahuan tentang
tanda-tanda.
Menghadapi
perubahan besar itu, Bambang Sugiharto termasuk filosof yang mencoba kembali ke
dasar pemikiran yang menyatakan pemikiran adalah upaya memahami realitas.
Filsafat bukan satu-satunya pemikiran memahami realitas. Ia bersikap kritis
pada pemikirian logosentris (memburu kebenaran) karena berpendapat, pemikiran
sepanjang sejarah umat manusia tidak pernah menangkap realitas secara utuh.
Dengan sikap ini ia menoleh ke persoalan bahasa metaforis yang selama ini
tersingkir di dunia filsafat karena tidak menampilkan makna-makna pasti.
Berbagai
pemikiran tentang bahasa metaforis dalam perkembangan filsafat melihat bahasa
ini lahir dari imajinasi kreatif, pengalaman estetik, rasa sublim, sikap
kritis, kepekaan bahkan pengalaman mistik. Bahasa ini memunculkan metafor yang
tidak tampil sebagai proposisi yang memburu kebenaran. Dalam pengamatan Bambang
Sugiharto, metafor mencari “kebenaran ideal” yang muncul karena melihat
berbagai kondisi “tidak ideal” pada realitas. Kebenaran ideal ini tidak punya
pretensi menemukan kebenaran absolut karena itu hadir dalam tegangan dengan
berbagai kebenaran ideal lain. Selain pada pemikiran—termasuk filsafat—metafor
banyak ditemukan pada karya seni.
Metafor
seringkali tampil sebagai keanehan yang memancing pertanyaan-pertaynyaan karena
metafor cenderung menabrak kategori-kategori pemahaman. Namun justru keanehan
ini yang membuat metafor bisa dilihat membawa gejala realitas yang belum
dikenali atau belum disadari. Karena itu keanehan ini membangkitkan rasa ingin
tahu yang merangsang pemikiran.
Metafor
bukan pengetahuan tentang realitas tapi sumber pengetahuan tentang realitas.
Karena itu, semua metafor memerlukan pembacaan, bahkan penafsiran radikal.
Maknanya baru jelas bila dibongkar dan diterjemahkan ke bahasa literal.
Penerjemahan ini yang memunculkan kesadaran tentang sesuatu realitas yang
tadinya tidak disadari. Dalam pengamatan Bambang Sugiharto, metafor mempunyai
posisi sentral dalam kehidupan manusia karena metafor adalah karakter
fundamental bahasa dalam menandai realitas. Pola pemahaman melalui metafor
terjadi pada semua pemikiran, temasuk filsafat. Penggunaan bahasa literal untuk
mendeskripsikan realitas pada awalnya adalah upaya menerjemahkan bahasa
metaforis.
Melihat
lukisan realistik Chusin sebagai bahasa metaforis, tidak segera masuk akal.
Proposisi ini akan mudah diterima bila lukisan Chusin misalnya simbolik, atau
memperlihatkan distorsi, atau bahkan abstrak. Lukisan realistik Chusin tidak
terkesan menampilkan metafor. Lukisan-lukisan ini justru terkesan menyalin
realitas.
Tanda
yang bisa dijadikan dasar untuk melihat lukisan realistik Chusin sebagai bahasa
metaforis adalah lukisan-lukisan ini mencerminkan upaya memahami realitas. Pada
upaya ini Chusin tidak menciptakan bahasa baru. Seperti seniman di mana pun,
bahasa ungkapan dalam berkarya diadaptasi dari berbagai pilihan yang disodorkan
sejarah seni rupa. Chusin mengadaptasi seni lukis realistik—sudah berkembang
dan digunakan untuk menyalin realitas—dan menjadikannya bahasa metaforis.
Chusin mengkonversikan bahasa ini menjadi bahasa metaforis.
Pengubahan
itu sama sekali bukan gagasan Chusin. Kendati tidak sepenuhnya ia sadari Chusin
mengadaptasi pengubahan ini dari perkembangan seni lukis di China. Konversi ini
terjadi pada awal Abad ke 20 ketika seni lukis realistik dimasukkan ke
perkembangan seni lukis tradisional. Gejala cultural translation ini dicatat
dalam sejarah seni rupa China namun tidak pernah digali dan dimunculkan sebagai
kajian estetik apalagi thesis. Perkembangan ini terlanda realisme sosial
sesudah Perang Dunia II sebelum menjadi wacana yang punya arti pada
perkembangan seni rupa global. Sesudah reformasi China yang terjadi pada awal
1990an, tanda sejarah ini tetap tidak diangkat menjadi pemikiran. Karena itu
lukisan realistik yang masih luas dipraktekkan di China tidak terbaca secara
benar. Lukisan-lukisan realistik ini dilihat sebagai lukisan-lukisan yang
ketinggalan zaman karena menggunakan bahasa yang disebut André Bazin, bahasa
yang sudah mati.
Chusin dan seni lukis realistik di
China.
Hubungan
Chusin dengan perkembangan seni rupa di China bukan cuma karena ia seorang
pelukis Tionghoa. Perkembangan politik di Indonesia memunculkan kondisi yang
membuat ia terpaksa dekat dengan berbagai perkembangan di China karena bahasa
yang dikuasainya adalah Bahasa Mandarin. Informasi yang diserapnya terutama
informasi dalam Bahasa Mandarin, tidak terkecuali informasi perkembangan seni
rupa yang kemudian ikut membentuknya.
Chusin
lahir di Bandung pada tahun 1949, dari keluarga tradisional Tionghoa. Dalam
kehidupan sehari-hari keluarga tradisional ini menggunakan Bahasa Mandarin dan
dialek (Bahasa Sunda) sebagai bahasa perantara. Chusin anak keenam dari tujuh
bersaudara. Ayahnya seorang petani penggarap perkebunan di kawasan pegunungan
di Utara Bandung. Ibunya seorang pekerja sosial yang punya peran dalam
mengenalkan seni rupa pada Chusin dan saudara-saudaranya. Chusin dan tiga
suadaranya mempunyai kemampuan melukis sejak kecil. Pada usia sekolah dasar
Chusin sudah mampu melukis secara realistik.
Pendidikan
Chusin ditempuh seluruhnya di sekolah Tionghoa yang menggunakan Bahasa Mandarin
sebagai bahasa perantara. Ia masuk Sekolah Dasar pada tahun 1955. Di sini
seorang gurunya menemukan bakatnya melukis secara realsitik. Pada masa ini ia
sudah melukis intensif karena dibimbing kakak-kakaknya. Lukisannya yang
realistik dikagumi di sekolah karena Chusin sudah mulai membuat lukisan potret
dan menerima pesanan.
Pada
tahun 1966 pendidikan Chusin terhambat. Waktu itu ia duduk di Sekolah Menengah
Atas Chiao Ching di Bandung. Sekolahnya dibubarkan karena terjadinya perubahan
politik di Indonesia. Pada tahun 1965 pemerintahan Sukarno yang berhaluan kiri
dijatuhkan. Digantikan pemerintahan yang
militerisitis di bawah Jendral Suharto. Pemerintahan baru yang sangat anti-komunis
ini memutuskan hubungan diplomatik dengan China dan menjalankan politik dalam
negeri yang anti-China. Selain melarang sekolah Tionghoa, pemerintahan ini
melarang juga penggunaan Bahasa Mandarin di semua ruang publik. Satu-satunya
koran berbahasa Mandarin yang diizinkan beredar dikendalikan sepenuhnya oleh
militer. (5)
Perubahan
politik itu menyulitkan kehidupan masyarakat Tionghoa Indonesia. Ketika itu
China masih menerapkan Undang-undang yang mengklaim orang Tionghoa di seluruh
dunia sebagai warga-negaranya. Karena itu masyarakat Tionghoa Indonesia
mempunyai dua kewarga-negaraan, China dan Indonesia. Seorang Tionghoa baru
diakui sebagai warga-negara Indonesia bila menolak kewarga-negaran China
melalui proses hukum. Ketika Indonesia punya hubungan akrab dengan China pada
masa pemertintahan Sukarno, memiliki dua kewarga-negaraan tidak menimbulkan
masalah. Namun ketika hubungan diplomatik Indonesia-China putus pada tahun 1965
muncul persoalan. Kewarganegaran China tidak diakui di Indonesia dan
orang-orang Tionghoa yang tidak menolak kewarga-negaraan China secara hukum
bukan warga-negara Indonesia walau sudah turun-termurun tinggal di Indonesia.
Menghadapi keadaan ini pemerintahan Suharto mengeluarkan paspor “stateless”
yang membingungkan dan menimbulkan kesulitan ketika digunakan dalam perjalanan
ke negara manapun karena paspor jenis ini tidak dikenal di seluruh dunia.
Chusin
dan keluarganya adalah keluarga Tionghoa sederhana yang menjalani kehidupan
berdasarkan tradisi—karena itu Chusin masuk sekolah Tionghoa. Keluarga ini
tidak memahami seluk beluk hukum dan Undang-undang Kewarganegaraan. Sebelum
1965 mereka mempunyai dua kewarga-negaraan namun sesudah 1965 mereka memegang
paspor “stateless” karena proses mendapat warga-negara Indonesia menjadi sulit
dan sangat mahal. Keluarga ini tidak punya cukup uang untuk mengurus
kewarga-negaraan mereka. Dengan status “stateless” tertutup bagi Chusin untuk
memasuki pendidikan mana pun karena pemegang paspor ini tidak diperbolehkan
mengikuti pendidikan yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa
perantara.
Sebagai
pemuda putus sekolah Chusin bersama saudara-saudaranya mencoba mengikuti jejak
sang ayah menjadi petani penggarap. Namun ia berhenti setelah beberapa tahun.
Chusin menyatakan pada keluarganya bahwa ia ingin menjadi pelukis dan pernyataannya
memunculkan ketegangan. Ia dianggap menghindar dari keharusan bekerja. Pada
tahun 1969 Chusin meninggalkan rumah dan berkelana mencari jalur untuk menjadi
pelukis. Kemampuannya menggambar dan melukis menunjang kehidupannya. Dengan
penghasilan menjual gambar atau lukisan, ia bisa hidup dan mencari informasi
tentang seni rupa.
Ketika
itu Chusin mempelajari dengan intensif lukisan dan pandangan Lee Man-Fong
(1913-1988) pelukis Tionghoa Indonesia yang sudah terkenal. Chusin melihat
pelukis ini termasuk salah seorang
pembaru seni lukis tradisional China. Pembaruan ini terjadi karena Lee
Man Fong—dan sejumlah pelukis di China—memasukkan seni lukis realistik ke
perkembangan seni lukis tradisional. Walau Lee Man-Fong berkarya di luar China,
upayanya menggabungkan seni lukis realistik dengan seni lukis tradisional
diakui di China.
Chusin
benar, pada tahun 1956, Lee Man-Fong
bertemu pelukis Ch’i Pai-Shih di Beijing—ia bahkan membuat potret
pelukis terkemuka China ini. Ch’i Pai-Shih dikenal sebagai salah seorang
pembaru seni lukis tradisional. Di sini lukisan realistik Lee Man-Fong mendapat
pengakuan. (6)
Lukisan
Lee Man-Fong yang realistik bukan salinan realitas yang mencari kebenaran. Lee
Man-Fong sendiri menyatakan bahwa lukisan realistiknya adalah hasil
transformasi obeservasi realitas yang sangat mendalam. Observasi ini memerlukan
penghayatan dan kejujuran. Tentang teknik melukis yang disebutnya “rendering”,
ia menyatakan teknik ini harus mencapai tingkat kemampuan yang sophesticated
untuk bisa merekam hasil observasi realitas. (7)
Lee
Man-Fong lahir di daratan China namun besar di Singapura. Ia mengikuti
orangtuanya yang pindah ke Singapura pada tahun 1920. Sebagai pelukis otodidak
yang sudah melukis sejak kecil, pelukis Tionghoa ini hijrah ke Indonesia—ketika
masih menjadi koloni Belanda—pada tahun 1937, mula-mula bekerja sebagai
ilustrator dan perancang grafis di percetakan besar Kolf & Co. (8) Beberapa
tahun kemudian ia menjadi pelukis terkenal—ketika itu nama pelukis-pelukis
Indonesia, Soedjojono, Affandi, Basuki
Abdulah, Hendra Gunawan, dan Agus Djaya sedang muncul ke permukaan. Lukisan
realistik Lee Man-Fong dan Basuki Abdullah dikagumi karena pada masa itu seni
lukis realistik mendominasi perkembangan seni rupa di seluruh Asia Tenggara.
Pada
tahun 1946 Lee Man-Fong mendapat bea siswa untuk belajar seni lukis realistik
di Belanda di mana ia tinggal bersama keluarganya selama enam tahun. Setelah
kembali ke Indonesia Lee Man-Fong mengukuhkan padangannya tentang seni lukis
realistik yang disebutnya seni lukis realistik oriental. Di masa ini, Lee
Man-Fong menjadi kawan dekat Presiden Sukarno yang dikenal sebagai kolektor.
Pada tahun 1962, Lee Man-Fong diangkat menjadi kurator koleksi Istana Negara
Indonesia. Setelah kejatuhan Sukarno pada tahun 1965, Lee Man-Fong dan
keluarganya hijrah ke Singapura pada tahun 1967. Pemerintah Singapura
memberinya status penduduk tetap. (9)
Pandangan
Lee Man-Fong yang terbentuk antara 1920 -1930 punya kaitan dengan perkembangan
seni lukis di China pada Awal Abad ke 20 yang menggabungkan seni lukis
realistik dan seni lukis tradisional. Sekarang, setelah reformasi budaya dan
poilitik di China, perkembangan fenomenal ini mulai dibahas sebagai bagian dari
perkembangan seni rupa China.
Seperti
seni lukis tradisional di Jepang dan Korea seni lukis tradisional di China
mengenal kecencenderungan membangun
gambaran yang realistik tidak simbolik dan tidak terdistorsi. Dasar
pemikirannya mirip dengan konsep representasi pada filsafat. Gejala ini
tercermin pada pandangan filosof Abad ke-17 Dinasti Ming, Gu Yanwu yang
menyatakan bahwa keutamaan lukisan adalah menyalin penampilan obyek pada
realitas yang dilakukan melalui penghayatan.
Gambar
realistik pada seni lukis tradisional di China itu tentunya berbeda dengan
lukisan realistik yang berkembang di Eropa. Perbedaannya antara lain, gambar
ini tidak memanfaatkan cahaya dalam membangun gambaran realistik. Pembentukan
gambaran realistik ini dilakukan melalui tekanan pada tarikan garis pena atau
kuas yang menghasilkan ketebalan garis atau blabar (brush strokes) yang sangat
beragam.
Pernyataan
Gu Yanwu menunjukkan proses sulit dalam melahirkan lukisan realistik. Pertama,
seorang pelukis harus sesungguhnya mengenal realitas melalui kontemplasi dan
bukan hanya melalui observasi pemikiran. Kedua, seorang pelukis harus melakukan
percobaan berulang-ulang untuk sampai pada sesuatu kemampuan melukis yang bisa
merekam hasil penghayatan tadi.
Setelah
berkembang tiga abad, seni lukis tradisional yang menampilkan gambaran
realistik itu mengalami kemerosotan pada awal Abad ke 20. Para pelukis tidak
lagi melibatkan proses penghayatan—yang membutuhkan waktu lama—untuk menghasilkan
karya. Para pelukis menempuh jalan pintas dengan cara menyalin lukisan para
master. Gambaran yang dihasilkan nyaris sama (karena kecermatan meniru) namun
lukisan yang dihasilkan memperlihatkan keindahan permukaan karena tidak
didasarkan kontemplasi. Pada perkembangan maneristik ini nyaris tidak muncul
lagi inovasi. Terjadi pengulangan subject matter gunung, orang tua, pepohonan
di tepi sungai dan rumpun bambu.
Menghadapi
kemerosotan itu sekelompok pelukis dan intelektual China merasa diperlukan
upaya untuk mengembalikan kualitas seni lukis (tradisional). Nah, upaya yang
dilihat bisa mengatasi kemerosotan ini adalah mengadaptasi seni lukis realsitik yang berkembang di
Eropa. Karena tekniknya yang cukup rumit dan pembuatannya yang memerlukan kecermatan
tidak mungkin seni lukis ini digunakan untuk jalan pintas.
Seni
lukis realistik masuk China pada Abad ke 19 bersama pemikiran modern pada
Dinasti Qing—modernisasi China dikenal berawal pada Dinasti Qing ini. Maka
sudah sejak Abad ke 19 seni lukis realistik diajarkan di China. Namun seni
lukis ini belum dikaitkan dengan seni dan hasilnya dianggap bukan karya seni.
Waktu itu lukisan dan gambar realistik digunakan untuk melengkapi berbagai
dokumentasi. Terjadi sebelum fotografi ditemukan. Baru pada awal Abad ke-20
seni lukis ini dikaji dan diangkat
menjadi persoalan seni ketika seni lukis tradisional mengalami kemunduran.
Pada
1918 dua pelukis berpengaruh dari Akademi Seni Rupa Shanghai, Xu Beihong dan
Liu Haishu, mengukuhkan gagasan memasukkan seni lukis realistik itu ke seni
lukis tradisional. Mereka menurunkan tulisan-tulisan tentang perlunya reformasi
seni lukis di China. Xu Beihong adalah pelukis yang kompeten dalam mengangkat
persoalan ini. Ia pernah belajar seni lukis realistik di Prancis. Karena itu ia
mampu menguraikan rinci-rinci penggabungan prinsip-prinsip seni lukis realistik
dan seni lukis tradisional. Namun ia bisa secara kritis pula melihat perbedaan
keduanya.
Xu
Beihong mengemukakan bahwa metode dan teknik melukis realistik pada seni lukis
realistik yang dibayangkannya seharusnya tidak cuma menyalin kenyataan seperti
pada seni lukis realistik Barat. Bukan mata yang diperlukan untuk mencapai
akurasi dan kecermatan dalam merekam realitas, tapi penghayatan.
Pada
tahun 1930 pelukis-pelukis Kang Youwei, Liang Qichao, dan Cai Yuanpe yang
belajar di luar negeri mengukuhkan pandangan Xu Beihong dan Liu Haishu. Mereka
membentuk New Culture Movement yang menyatakan bahwa adaptasi seni lukis
realistik (Barat) diperlukan untuk mengembangkan pemikiran rasional dan
pemahaman ilmu pengetahuan modern. Gerakan ini membuat reformasi seni lukis
tradisional di China menjadi sekaligus tanda munculnya seni rupa modern China.
Konsep
dan pemikiran seni lukis realistik itu menghadapi tantangan ketika sastrawan
terkemuka Lu Shun memperkenalkan seni rupa Marxis pada 1928. Prinsip-prinsip
estetiknya menjadi semakin memudar ketika Partai Komunis China mempromosikan
realisme sosial pada tahun 1930. Jumlah pelukis yang masih meneruskan reformasi
dan konsep seni lukis realistik semakin menyusut di daratan China. Sejak tahun
1950an boleh dibilang hanya teknik melukis realistiknya yang dikembangkan. Pada
tahun 1964 Mao Zedong menurunkan instruksi resmi agar seni lukis di China
dikembangkan berdasarkan realisme sosial.
Ketika
Revolusi Kebudayaan melanda China antara
tahun 1966 dan tahun 1976,
pandangan-pandangan Xu Beihong dan Liu Haishu malah dihujat karena pemikiran
dan paham tentang seni lukis—bersama semua pemikiran intektualistis—dihancurkan
secara sistematis. (10)
Membaca lukisan realistik Chusin
Dengan
pengetahuan tentang Lee Man-Fong dan perkembangan seni lukis di China itu,
Chusin mengukuhkan keyakinannya tentang seni lukis realsitik yang sebenarnya
sudah dipraktekkannya sejak kecil. Dengan keyakinan ini pada tahun 1970 ia
masuk Balai Seni Barli yang didirkan pelukis Barli Sasmitawinata. Studio ini
menyelenggarakan pendidikan informal yang mengajarkan seni lukis
realsitik—dikenal sebagai akademisme—sebagai basis pengajaran seni rupa.
Barli
Sasmitawinata (1921-2007) seorang pelukis realistik terkemuka Indonesia yang
belajar melukis pada pelukis Italia Luigi Nobili yang tinggal di Indonesia.
Barli termasuk di antara pelukis Indonesia yang ikut merintis kemunculan seni
rupa Indonesia di masa kolonial pada tahun 1930-an. Ia membentuk gerakan di Bandung
bersama Affandi dan Hendra Gunawan pada tahun 1935. Setelah Indonesia merdeka
ia mendapat bea siswa untuk belajar di Rijksacademie Voor Beeldende Kunsten
(Akademi Seni Rupa Kerajaan), Amsterdam, Belanda antara 1951 sampai 1957. (11)
Sekembalinya
di Bandung ia seharusnya menjadi pelukis kompeten untuk menyusun kurikulum
pendidikan seni rupa di Bandung. Namun pahamnya yang percaya bahwa akademisme
adalah dasar pengajaran membuat ia tersisih. Pada akhir 1950an, pendidikan seni
rupa di Bandung terlanda paham modernisme yang menganggap seni lukis realistik
sebagai bahasa ungkapan yang sudah mati. Barli kemudian mendirikan studio
sendiri dan merealisasikan pengajaran seni rupa berdasarkan keyakinannya. (12)
Di
Balai Seni Barli, Chusin menemukan informasi tentang seni lukis realistik yang
umum dikenal. Dari pengajaran teori ia memahami pula kedudukan seni lukis ini
pada sejarah seni rupa—yang menunjukkan perkembangan seni rupa di Eropa,
Amerika Serikat, namun dianggap sebagai dasar perkembangan seni rupa dunia.
Namun Chusin bertahan hanya enam bulan di studio ini dan masih pada tahun 1970
ia kembali berkelana, antara lain menetap beberapa lama di Bali. Baru pada
tahun 1978 ia kembali ke Balai Seni Barli dan kali ini bertahan selama dua
tahun.
Penjelajahan
yang berliku itu tidak segera menampilkan lukisan realistik Chusin. Pada tahun
1980an ia lebih banyak membuat gambar realisitik. Ia memanfaatkan kemampuannya
antara lain untuk memproduksi kaos bergambar bersama kawan dekatnya Fong-Fong.
Waktu itu kaos bergambar menjadi trend dan kaos dengan gambar realsitik yang
diproduksinya ternyata laku. Kehidupannya menjadi lebih stabil dan pada 1982 ia
dan Fong-Fong menikah. Pada tahun yang sama pasangan ini berhasil menanggalkan
status “stateless” dan menjadi warga-negara Indonesia setelah melalui proses
birokratis yang sulit.
Antara
1982-1985 Chusin mencoba membuat patung realistik. Ia membuat sejumlah patung
lilin yang hyper-realistic mengikuti rencana Taman Mini Indonesia Indah,
Jakarta membangun sebuah museum patung lilin. Rencana ini tidak diteruskan,
namun patung lilinnya yang sempat menarik perhatian publik adalah patung lilin
Wakil Presiden Adam Malik yang ditempatkan di Museum Seni Rupa Adam Malik,
Jakarta—diulas oleh majalah berita terkemuka Tempo sebagai hasil kerja
yang excelent.
Pada
1987 Chusin hijrah ke Bali bersama Fong-Fong
dan meneruskan usahanya memproduksi kaos dengan gambar realistik.
Produknya kembali laku dan kehidupannya kembali tertunjang. Chusin dengan sadar
memilih Bali karena merasa menemukan kondisi untuk menjadi seniman. Karena itu
di Bali ia mulai mengembangkan lukisan realistiknya. Pada tahun 1991 ia bertemu
dengan Andy Yustana pemilik Andy Gallery, Jakarta ketika menggelar pameran
tunggal di Balai Budaya, Jakarta. Pertemuan ini membangun keyakinannya untuk
menjadi pelukis profesional yang hidup dari menjual lukisan. Sejak itu secara
bertahap Chusin meninggalkan kegiatan usahanya membuat kaos.
Namanya
mulai muncul ketika karya-karyanya disertakan pada serangkaian pameran lukisan
realistik yang dibingkai dengan konsep foto-realisme. Chusin, memang
memanfaatkan foto untuk membuat lukisan-lukisan realistiknya. Namun ia tidak
mengangkat foto, dari misalnya sobekan majalah. Ia menggunakan foto-foto yang
dibuatnya sendiri. Di samping melukis, Chusin memang mendalami fotografi.
Foto-realisme
yang berkembang di Indonesia sejak pertengahan 1970-an memiliki kesamaan dan
kebedaan dengan foto-realisme yang sudah berkembang pada perkembangan seni rupa
dunia. Kemunculannya memperlihatkan gejala lokal yang berpangkal pada perubahan
politik di Indonesia dari “politik tertutup” di bawah pemerintahan berhaluan
kiri, ke “politik terbuka” di bawah pemerintahan yang beroreintasi pada
perkembangan ekonomi. Muncul cultural shock karena berubahnya kondisi di mana tidak
ada film Amerika, billboard iklan, majalah dengan disain yang bagus, menjadi
kondisi meriah karena masuknya advertisement perusahaan-perusahaan
multi-nasional, majalah life style, dan, informasi tentang revolusi komunikasi.
Di tengah keadaan ini, sejumlah pelukis menggunakan lukisan realistik untuk
mengkopi tanda-tanda baru yang mengejukan pada perubahan ini—foto-foto pada
majalah life style, iklan, logo produk industri, billboard dan neon sign.
Seniman-seniman ini secara kebetulan merayakan pop culture dan karya-karyanya
seperti menampilkan teks. (13)
Perubahan
itu ditandai pula meluasnya penjualan pocket camera yang murah, diikuti
pencetakan foto secara cepat. Muncul dari sini gejala lain foto-realisme.
Sejumlah seniman menggunakan kamera untuk merekam realitas sekeliling dan foto
yang dihasilkan digunakan untuk membuat lukisan realistik. Lukisan-lukisan ini
menampilkan realitas pada masyarakat—social commentary—karena terjadinya
perubahan sosial. Kecenderungan ini diperlihaktan lukisan-lukisan realistik
Dede Eri Supria, Ivan Sagita, Koeboe Sarawan, Agus Kamal, Alm. Rachmat Subani,
dan, Chusin.(14)
Memasuki
tahun 2000, Chusin lebih banyak tampil sendiri. Kecermatan lukisan-lukisan
realistiknya yang berkembang semakin nyata membuat lukisan-lukisannya menjadi
tidak bisa dikaji hanya berdasarkan foto-realisme. Pada proses melukisnya foto
hanya referensi. Pengolahan gambaran realistik pada kanvasnya selalu menjauhi
foto yang digunakannya untuk mulai melukis. Chusin biasa menggunakan sejumlah
foto untuk sebuah lukisan. Ketika melukis pasar Kintamani, ia bahkan
menggunakan puluhan foto.
Setelah
terbentuk lukisan-lukisan realistik Chusin terlihat lebih dekat ke gambar
daripada lukisan. Lukisan realistik Chusin tidak memperlihatkan akademisme yang
nyata pada lukisan-lukisan Lee Man-Fong, dan lukisan-lukisan Barli
Sasmitawinara. Lukisan realistik Chusin yang dekat dengan gambar mengandalkan
penyusunan nuasa warna pada satu lapisan. Karena itu lukisannya hampir rata.
Bila dibandingkan, lukisan realistik berdasarkan akademisme dibangun dari
tumpukan cat yang membentuk lapisan-lapisan. Karena itu lukisan realistik ini
selalu memperlihatkan ketebalan.
Metode
melukis yang dekat dengan metode menggambar itu membuat lukisan realistik
Chusin menjadi bahasa yang lebih dekat ke “tubuh” daripada ke pikiran. Bahasa
ini peka dalam merekam perasaan, emosi, kegelisahan, rasa senang, rasa gembira
dan berbagai kondisi mental lain. Melukis dan membuat gambar merupakan
kebutuhan baginya. Karena itu tidak selalu ia membuat lukisan yang membawa
statement. Ia mengemukakan, membuat gambar merupakan upaya menghilangkan
keletihan, bahkan untuk menghilangkan beban psikis.
Dengan
kerja yang berulang secara tetap itu ia mengenal sekali hubungan gambar yang
dibuatnya dengan berbagai perasaan dan emosi yang dirasakannya. Dengan cara
kerja ini secara tidak langsung ia menjelajah mencari bahasa ungkapan yang bisa
merekam hal-hal subtil di dunia perasaan. Bila dilihat sebagai pencarian
bahasa, kerja melukisnya bisa didekatkan ke padangan Xu Beihong tentang bahasa
ungkapan, pandangan yang diulang Lee Man-Fong.
Lepas
dari persoalan lukisan realistik Chusin, pemahaman tentang bahasa ungkapan
itu—dalam bentuk apa pun—merupakan pemahaman umum di Indonesia. Dari seniman
profesional sampai pengamat seni rupa dan publik seni rupa percaya pada
pemahaman ini. Namun tidak umum disadari bahwa pemahaman seperti ini ternyata
bermasalah bila dikaitkan dengan wacana -wacana seni rupa yang mendasari
perkembangan seni rupa dunia.
Pemahaman
itu dekat ke pemikiran estetika yang dikenal sebagai filsafat keindahan—bagian
dari filsafat. Pemikiran ini mempersoalkan perasaan menyenangkan karena sensasi
yang muncul akibat pertemuan dengan keindahan. Dalam wacana seni rupa pemikiran
yang berkembang di Eropa pada Abad ke 19 ini dianggap lepas dari perkembangan seni rupa sekarang
ini. Karena itu karya seni yang menunjukkan pemahaman seni berdasarkan
pemikiran estetika ini dianggap karya-karya seni yang dibuat tidak berdasarkan
wacana seni rupa.
Persoalan
itu terpendam dan menjadi pangkal kesalah-pahaman dalam membaca karya seni yang
berkembang di luar Eropa, Amerika Serikat karena tidak pernah dibahas. Namun,
teoretikus seni rupa kontroversial Arthur C. Danto menyentuhnya—ia menjadi
terkenal karena mengeluarkan pernyataan, “the end of art” dan sesudah itu
menerbitkan buku, After The End of Art. (15)
Danto
membenarkan pemikiran estetika Abad ke 19 tidak segera bisa diekspor ke masa
kini (pendapatnya ambigu). Perkembangan seni rupa sekarang bertumpu pada wacana seni rupa yang mengkaji
“hasil ekspresi” (karya seni) dan mengurangi pengkajian yang dianggap
spekulatif tentang perasaan—seluk beluk pengalaman merasakan keindahan—yang
menghasilkan ekspresi ini. Wacana seni rupa adalah himpunan kajian “hasil
ekspresi” ini. Gejala ini menunjukkan perkembangan seni rupa bertumpu pada
wacananya sendiri dan melepaskan diri dari filsafat.
Pada
perkembangan seni rupa modern Abad ke 20, persoalan yang dikaji pada “hasil
ekspresi” (karya seni) itu adalah bahasa rupa spesifik yang dibedakan secara
tajam dari bahasa literal yang digunakan dalam filsafat—di sinilah bahasa rupa
yang menyalin kenyataan, seperti dalam filsafat, dianggap mati. Ungkapan pada
karya seni bukan lagi representasi, central concept of philosophy.
Danto
termasuk teoretikus yang kritis melihat perkembangan seni rupa modern Abad ke
20 itu—dari sikap ini pernyataannya the end of art, keluar. Danto kembali ke
filsafat—pemikirannya berada di lingkungan philosophy of art (salah satu teori
seni rupa). Dan ia kembali ke representasi dengan kesimpulan radikal. Bagian
penting pada pemikirannya adalah ia melihat batas di antara realitas dan
representasi mengabur. Danto dikenal sebagai teorertikus yang mengkaji
penggunaan obyek/barang jadi sebagai media ekspresi (dalam seni rupa). Baginya
barang jadi yang diangkat dari realitas adalah realitas. Ia menunjuk karya Andy
Warhol yang menampilkan packaging yang tidak diolah—Brillo Box (1964). Danto
melihat karya ini sebagai representasi.
Akan
tetapi dalam mengkaji kembali representasi (representational properties) Danto
menyinggung “mental language” yang disebutnya memerlukan analisis dari berbagai
macam arah, dan, “aboutness” yaitu hubungan antara deskripsi dan kenyataan.
Kedua istilah ini disinggungnya ketika mempersoalkan pikiran George Santayana
dalam bukunya yang terkenal The Sense of Beauty—buku klasik pada philosophy of
art yang menampilkan estetika Abad ke 19. (16)
Kedua
istilah yang disodorkan Danto merupakan celah untuk menghubungankan wacana seni
rupa dengan pemahaman seni di luar Eropa, Amerika Serikat. Pemikiran Bambang
Sugiharto bisa digunakan untuk menguatkan peluang kedua istilah ini. Mental
language bisa didekatkan dengan bahasa metaforis yang dilihat Bambang Sugiharto
berkaitan dengan kondisi mental—gajala psikis, pengalaman mistis, gejolak
perasaan—dan berkaitan pula dengan pemikiran logis yang punya penyebab
(aboutness). Dengan perbandingan ini celah yang muncul dari kedua istilah yang
disodorkan Danto membuka lebih lebar. Hasil mediasi ini bisa digunakan untuk
membaca lukisan-lukisan realistik Chusin, tidak hanya sebagai teks.
Pada
lukisan realistik Chusin hubungan antara kondisi mental dengan bahasa pada
ungkapannya terlihat paling nyata pada upayanya mengembangkan bahasa subtil
dengan mengurangi secara drastis spektrum warna. Upaya ini bukan sekadar gejala
artistik walau pada kenyataannya melahirkan inovasi bahasa. Ada aboutness pada
gejala ini. Gagasan pengembangan bahasa ini berpangkal pada kegelisahan Chusin
menghadapi isu santer tentang kejadian pada Mei, 1998; pemerkosaan perempuan
Tionghoa yang melibatkan mob rape dan gang rape ketika terjadi pergolakan
sosial menjelang jatuhnya pemerintahan
militeristis Jendral Suharto setelah berkuasa selama 32 tahun.
Kendati
berbulan-bulan disinyalir media massa, peristiwa itu tidak pernah terungkap.
Namun sejumlah kesaksian yang diangkat komunitas perempuan lokal maupun
internasional menunjukkan perisitiwa ini bukan berita rekayasa. Dalam kajian
perilaku seksual, gejalanya juga mudah dikenali.
Dalam
sejarah, mob rape dan gang rape muncul berulang sebagai kejahatan perang (dari
Zaman Jengis Khan sampai Perang Vietnam), sebagai bagian pada pertentangan
etnis (seperti terjadi pada ketegangan Pakistan-Bangladesh), dan, media
menyatakan kebencian rasial (menjadi upacara ritual gerakan Klu Klux Klan di
Amerika Serikat). Kajian perilaku seksual menunjukkan penistaan tubuh perempuan
ini selalu dilakukan untuk menjatuhkan mental sesuatu masyarakat.(17)
Pergolakan sosial yang terjadi pada Mei 1998, tidak bisa disangkal menyerang
masyarakat Tionghoa sebagai akibat ketegangan rasial yang panjang pada pemerintahan
Suharto.
Chusin
membuat dua lukisan dengan tema kejadian itu; Disharmony (1999) dan The Float
and The Might (2002). Pada Disharmony, kegelisahan yang terlihat nyata membuat
lukisannya menjadi tidak biasa. Lukisan ini, misalnya, memberitakan kekerasan
lewat tanda-tanda jelas, dan, kesedihan sentimental lewat simbol bunga mawar.
Namun The Float and The Might yang mencerminkan proses kontemplasi tidak lagi
memperlihatkan tanda-tanda kejadian Mei, 1998. Chusin mengemukakan, akhirnya ia
memang tidak punya pendapat tentang persitiwa ini. Paralel dengan
lukisan-lukisan ini Chusin membuat serangkaian lukisan nude dengan warna
khromatik yang kemudian dikenal sebagai white on white series. Lukisan-lukisan
ini membangun kesan sublim.
Disharmony (1999) 444x394 oil on canvas
Pada lukisan-lukisannya dengan tema Bali, aboutness bisa segera ditangkap; Chusin ingin menampilkan kehidupan urban di Bali dan pengaruh tradisi pada kehidupan—terlihat nyata pada berbagai tanda yang jelas. Namun persoalan ini tidak mempunyai kedalaman bila pembacaan berhenti pada teks. Pengamatan yang umum biasanya memang berhenti sampai di sini. Padahal ada pesan yang lebih mendalam yang tersembunyi pada pengolahan bahasa ungkapan.
Bila
diamati lebih cermat bisa dilihat semua subyek pada lukisan-lukisan itu—sendiri
(perempuan dalam kostum tradisional) maupun berkelompok (masyarakat di
pasar)—tidak ada yang tampil frontal. Bila dilihat dari sudut pandang
fotografi, tidak ada subyek yang menatap kamera. Gambaran yang tampil mirip
dengan foto yang dicuri. Namun Chusin tidak berhenti pada konsep fotografi, ia
memperbesar (mendekatkan) “foto yang dicuri” ini melalui kemampuannya melukis
secara realistik. Gambaran yang tampil tidak sama dengan foto yang dicuri dari
jarak jauh menggunakan lensa tele.
Dengan
penggambaran subyek semacam itu Chusin ingin menampilkan subyek yang “tidak
sadar kamera” dan karena itu subyek tidak berusaha menunjukkan sesuatu citra
atau kepentingan lain. Chusin mengemukakan ia tidak ingin membuat poster yang
biasanya menampilkan pesan. Chusin tidak ingin lukisannya menampilkan sesuatu
pendapat dan ia menghindari konspirasi di antara dia sebagai pelukis dan subyek
lukisannya dalam menyampaikan sesuatu pernyataan. Chusin mendambakan kejujuruan
padanya maupun pada subyek yang dilukisnya. Penggambaran ini mengandung
renungan yang mengganggu perasaannya karena tidak mudah mencapai kesimpulan.
Chusin
tertarik pada Bali karena memperlihatkan kultur artistik—ini sebabnya ia
menetap di Bali. Namun ia tidak bisa memastikan pendapatnya tentang Bali. Ia
tertarik pada tradisi Bali namun ia melihat kritis pada pendapat yang
mempropagandakan perlunya konservasi tradisi. Ia menangkap perubahan sosial di
Bali dan ini tercermin pada berbagai obyek dalam lukisannya—kantung plastik,
ikan asin, sepeda motor, truk, timbangan, uang. Namun, tiga lukisannya yang
mengangkat tema "Pasar Kintamani" mencerminkan perasaannya menyayangkan pengubahan
pasar tradisional ini menjadi pasar modern berdasarkan program pembangunan
pemerintah.
Ia
mengemukakan, setelah tinggal 20 tahun lebih di Bali ia merasa tidak bisa
menemukan tradisi Bali yang sebenarnya. Pandangan yang terkesan membingungkan
itu ternyata punya dasar. Sekarang ini sedang berkembang pada wacana global art
kecenderungan mengkaji ulang pemahaman tentang ethnicity. Pangkalnya adalah
kegelisahan para kurator museum ethnography di Eropa dan Amerika Serikat yang
merasa museum jenis ini bertumpu pada persepsi kolonial. Dari persoalan ini
hasil-hasil kajian etnologi dan antropologi tentang masyarakt di daerah bekas
koloni ikut dipertanyakan.
Kajian yang cenderung mencari keunikan dan keaslian ini seringakali mengabaikan perubahan sosial akibat modernisasi—kajian inilah yang melihat perlunya konservasi tradisi. Padangan-pandangan yang dibangun dari kajian-kajian ini ternyata menjadi dominan dan dipercaya. Padangan-pandangan ini—yang mengandung persepsi kolonial—digunakan berbagai masyarakat yang masih terikat tradisi untuk memahami identitas mereka. Bali tidak terkecuali dan kenyataan ini yang membuat tradisi Bali yang sebenarnya secara masuk akal memang menjadi kabur. (18)
Kajian yang cenderung mencari keunikan dan keaslian ini seringakali mengabaikan perubahan sosial akibat modernisasi—kajian inilah yang melihat perlunya konservasi tradisi. Padangan-pandangan yang dibangun dari kajian-kajian ini ternyata menjadi dominan dan dipercaya. Padangan-pandangan ini—yang mengandung persepsi kolonial—digunakan berbagai masyarakat yang masih terikat tradisi untuk memahami identitas mereka. Bali tidak terkecuali dan kenyataan ini yang membuat tradisi Bali yang sebenarnya secara masuk akal memang menjadi kabur. (18)
Di
antara semua lukisan Chusin bertema Bali itu ada beberapa lukisan yang harus
dikecualikan; empat lukisan yang masing-masing Gadis Puri I (1991), Sight
(1994), Gadis Puri II (1994), dan, (1996). Lukisan-lukisan ini
menampilkan seorang anak perempuan dalam kostum Bali (model keempat lukisan
ini, sama). Pose anak perempuan pada tiga dari empat lukisan ini frontal; anak
perempuan ini sadar kamera, matanya menatap kamera.
Dalam
perkembangan lukisannya sejak 2006, gejala yang terasa tidak biasa itu, menjadi
jelas. Pose frontal itu ditampilkan Chsuin karena subyek yang dilukisnya
anak-anak. Kecenderungan ini cukup jelas terlihat pada perkembangan 2006 karena
tema anak-anak mendominasi perkembangan ini.
Chusin
seperti berubah sikap ketika menghadapi anak-anak. Ia seperti meninggalkan
sikap tidak berpendapat. Pada kebanyakan lukisannya, Chusin berusaha tidak
merekam emosi, karena ia berusaha mencari karakter yang mendasar. Namun pada
lukisan-lukisan yang mengangkat anak-anak sebagai subyek, ia berusaha merekam
emosi mereka. Chusin sendiri tidak menahan emosinya ketika melukis. Kali ini ia
seperti mencoba menyatukan subyektivitas padanya dan subyektivitas pada subyek
yang dilukisnya. Ia tidak terlalu peduli apa, lukisannya akan menjadi seperti
poster atau tidak. Namun lLukisan-lukisannya kemudian justru menguatkan
tampilan perilaku mendasar pada anak-anak—rasa ingin tahu, ceria, tidak peduli,
malu, excited, menebak perasaan orang—yang tidak segera tampak pada foto dan
kenyataan.
Gejala
emosional itu menguatkan dimensi gambar pada lukisan-lukisan Chusin.
Garis-garis arsir pada gambar-gambar ini merumit. Pada sejumlah lukisan—di
antaranya, Kids of Kintamani I, II(2010), Street Boy (2010), Kuta
(2011)—garis-garis ini (bersama warna-warna dengan spektrum primer) membangun
kesan komikal yang menunjukkan keinginan menampilkan narasi. Anak-anak yang
dilukisnya (aboutness pada lukisannya) mempengaruhi kondisi mental Chusin dan
juga bahasa ungkapannya yang tampil sebagai pengolahan artistik. Gejala ini
menunjukkan proses penerjemahan mental language.
Penutup
Kendati
pemahaman lukisan realistik Chusin bisa dijelaskan masih ada jarak di antara pemahaman
ini dengan wacana seni rupa yang diyakini mendasari perkembangan seni rupa
dunia. Masih diperlukan diskusi, bahkan perdebatan bila jarak ini mau
didekatkan. Namun peluang untuk pertemuan pikiran ini belum terbuka walau tidak
bisa dibilang “tertutup” seperti terjadi pada perkembangan seni rupa dunia tiga
puluh tahun yang lalu.
Pangkalnya
adalah sulitnya membangkitkan keyakinan bahwa tidak masuk akal menuntut
karya-karya Chusin—dan banyak karya seniman yang berkarya di luar Eropa,
Amerika Serikat—didasarkan wacana seni rupa yang mendasari seni rupa dunia.
Pemahaman lukisan Chusin menunjukkan akan salah bila lukisan realistiknya
dibaca sebagai menyalin realitas mengikuti wacana seni lukis realistik yang
dikenal pada perkembangan wacana seni rupa. Pembacaan ini akan tersesat lebih
jauh bila penyalinan realitas ini dihubungkan dengan representasi dan
tegangannya dengan bahasa dalam lingkup filsafat.
Seperti
dikemukakan Bambang Sugiharto persoalan representasi, bahasa literal dan teks
bertumpu pada perkembangan filsafat selama berabad-abad (pada masyarakat
Barat). Bandingkan dengan pemahamannya di Indonesia yang baru muncul pada tahun
1993 bersama riuhnya pembicaraan tentang post-modernisme—sebelumnya persoalan
ini dipahami hanya di lingkungan pendidikan filsafat. Pada tahun 1993 itu di
berbagai diskusi terlihat bahkan para pemikir tertatih-tatih mencari pengertian
“representasi”. Kendati berbagai refrensi dikaji—secara dadakan—dan sebagian
pemikir membuat definisi ringkas untuk kebutuhan praktis, tidak bisa dihindari
terjadi pemahaman yang simpang siur tentang apa sebenarnya representasi. Tapi
apa pun yang dilakukan, mustahil memahami persoalan representasi pada isu
post-modernisme tanpa memahami sejarahnya.
Melihat
keadaan seperti itu mustahil mengharapkan seniman di Indonesia, yang tentunya
punya jarak dengan dunia pemikiran, untuk memahami persoalan itu. Padahal untuk
dijadikan dasar pemikiran pada ungkapan, penguasaan persoalan ini tidak bisa
berhenti hanya pada pemahaman dan pemikiran. Pemahaman dan pemikiran pada
ungkapan seni berkaitan dengan kesadaran dan keyakinan yang memerlukan
pemahaman lanjut.
Di
tengah kemustahilan itu, pemikiran Bambang Sugiharto tentang bahasa metaforis,
terasa lebih masuk akal kendati punya kaitan dengan filsafat (yang berkembang
di dunia Barat) karena pemikiran ini kembali ke dasar pemikiran dan mendekati
gejala fundamental pada manusia. Mediasi pemikiran ini dengan pemikiran Arthur
Danto menunjuk pemikiran yang punya kemungkinan memendekkan jarak pemahaman
seni yang berkembang di luar Eropa, Amerika Serikat dengan wacana seni rupa
(dunia). Pemikiran ini, estetika Abad ke 19. Kendati berada di lingkungan
filsafat, pandangannya tentang pengalaman merasakan keindahan dekat juga dengan
gejala fundamental pada manusia. Berangkat dari kesamaan fundamental berbagai
kebedaan pada perkembangan seni rupa dunia lebih mudah dipahami—Chusin dan
“perkawinan” seni lukis realistik di China pada awal Abad ke-20, sebuah contoh.
Catatan Akhir:
- (1) American Comics. Nicky Wright. Prion Books Ltd. London. 2000. Hal.2-3.
- (2) Dalam What is Cinema?. Andre Bazin. University of California Press. Berkeley. 1967. Hal. 9-16.
- (3) The Body/Body Problem. Arthur C. Danto. University of California Press. Berkeley. 2001. Hal. 12.
- (4) Dalam buku Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat. Ignatius Bambang Sugiharto. Kanisius, Yogyakarta. 1996. Buku ini menguraikan secara komprehensif latar belakang pergolakan pemikiran yang memunculkan isu postmodernisme—istilah yang tidak pernah disepakati pengertiannya. Namun buku ini bukan cuma uraian tentang, apakah postmodernisme. Dalam buku ini bisa ditemukan visi Bambang Sugiharto tentang bahasa metoforis yang bisa dilihat sebagai teori yang lahir dari pikiran dan pengalamannya.
- (5) Keadaan ini berakhir dengan jatuhnya Jendral Suharto dari kursi kepresidenan pada 1998. Presiden-presiden sipil sesudah Suharto (Abdurachman Wahid dan Megawati Sukarno) mencabut berbagai ketentuan pemerintah yang mendiskriminasikan masyarakat Tionghoa.
- (6) “Lee Man Fong, Oil Painting Made Oreintal”. K.C.Low. Dalam The Oil Painting of Lee Man-Fong.K.C.Low (ed.). Art Book. Co. Taipei. 1984. Hal. 9.
- (7) “My Views on Painting”. Lee Man-Fong. Opcit. Hal.11
- (8) “The Artist Lee Man-Fong”. Leong San. Opcit Hal.12.
- (9) Ibid. Hal.13.
- (10) “Art Journey on Realism in China in 20th Century.” Position paper Cao Tai, kurator Guangdong Museum, China pada seminar. “Realism in Asia”. National Museum of Contemporary Art, Seoul. Korea. Juli. 2007.
- (11) Titik Sambung – Barli Dalam Wacana Seni Lukis Indonesia. Jim Supangkat. Etnobook, Jakarta.1996. Hal. 48-49.
- (12) Ibid. Hal.52-53.
- (13) “Painstaking Realism in Indonesian Contemporary Painting”. Pengantar kuratorial. Jim Supangkat. Katalog Pameran The Mutation. The Japan Foundation Forum, Tokyo. Agustus 1997.
- (14) Ibid.
- (15) The Body/Body Problem. Ibid. Hal.1-18.
- (16) Opcit. Hal.20-21.
- (17) Bizarre Sex. Roy Eskapa. Grafton. London. 1987. Hal. 169-182.
- (18) “Ethnicity Now”. Pengantar Kuratorial. Jim Supangkat. Katalog pameran Ethnicity Now. Galeri Nasional, Jakarta. Desember 2010.
KEPUSTAKAAN