Sebuah Interpretasi Terhadap Pameran Karya-Karya S. Sudjojono di Galery Soemardja ITB ( (27 Januari – 21 Februari 2014) serta hubungannya dengan keadaan Medan Sosial Seni Rupa Bandung.
oleh:
Dany K. Gunawan
(Kritikus & dosen seni rupa, alumni Seni Grafis FSRD ITB, Angkatan 2001)
Di depan kelambu Terbuka Potret Tetangga Di dalam Kampung
Perintis Gerilya Mengungsi Kawan-kawan Revolusi
MEMPOSISIKAN “diri” dalam ruang wacana kesenian memang tidaklah mudah, terutama bagi seorang penulis kritik seni yang baru terjun ke dalam medan sosial seni rupa Indonesia yang sangat luas. Tidak ada bekal yang sempurna untuk dikatakan dalam memulai kegiatan kritik ini selain keberanian dalam menelusuri dan mengungkapkan hasilnya di ruang publik secara gamblang. Kegiatan ini juga merupakan tanda sebuah keyakinan bahwa mengritik tidaklah terlarang atau tabu untuk dimunculkan di permukaan karena justru dengan adanya kritik maka prosesi ’kesejarahan’ seni rupa dapat menjadi seimbang dengan kenyataannya.
Jika boleh dikatakan, mengritik merupakan sebuah pencapaian luar biasa
bagi penulis, karena minimal, seorang
kritikus amatiran saja sudah dituntut untuk mampu sejajar, baik dari segi
bahasa, pemikiran maupun penampilannya dengan para pemikir seni rupa kawakan
atau dari sekolah seni rupa dalam hal-hal; otentifikasi, cara menimbang,
merumuskan dan menentukan selera khalayak banyak.
Hal demikian pula, merupakan keadaan yang sedang menjadi bahasan para
penentu arah seni rupa baru-baru ini di Bandung yang ditandai dengan adanya
pewacanaan panjang beberapa hari yang lalu di Galeri Soemardja ITB bertema
“Seni Rupa Bandung (Indonesia) Hari Ini Dalam 3 Sorotan: Kesenimanan,
Manajemen/Organisasi Seni Rupa dan Kekuratoran”. Dari sekian banyak pendapat
akan hal ini, maka penulis berharap tulisan ini mampu menjadi penghangat dalam
pembicaraan mereka dan sebagai jembatan wacana untuk kita sebagai apresiator
seni.
Terdapat berbagai model kritik yang dapat diungkapkan dalam ruang
publik namun, model kritik normatif seperti bentuk penulisan standar dan
pemakaian kaidah-kaidah aktual memang masih menjadi pakem kuat dari sebuah
tulisan. Tanpa mengurangi atau menyanggah aturan baku itu, saya kira tulisan
itu sendiri juga haruslah memiliki ‘jiwa hidup’, dan itu lebih utama.
Anggapan di atas tentu beralasan karena biasanya wacana yang rumit
menjadi terasa lebih kental, seperti pemakaian istilah-istilah tidak populer,
ketepatan analisis dan durasi kekaryaan yang berlebihan serta kurangnya
pembahasan yang lebih menyentuh perasaan personal merupakan kendala yang
dikhawatirkan akan semakin menjauhkan para penikmat seni dengan pewacanaan seni
rupa yang tadinya diharapkan akan terjalin jadi lebih baik.
Dalam mengkritik, memang partisipasi kita di dalam peristiwa-peristiwa
seni sangat berperan penting dalam menentukan sudut pandang. Dari situ, tahap
awal penafsiran biasanya dimulai dari aspek peristiwa atau fenomena, lalu
kesejarahan sebagai unsur pertama dari tema wacana yang dikembangkan, untuk
mengidentifikasi profesi kesenimanan secara menyeluruh. Sehingga akan di
dapatkan indeks-indeks prestasi dari profesi tersebut yang dapat diamati secara
langsung dari karya-karyanya.
Kesejarahan
di dalam Seni Rupa Saat ini di Anggap perlu untuk Diangkat Kembali
Aminudin T.H Siregar (Direktur sekaligus Ketua Tim Kurator Galeri
Soemardja) dalam pengamatannya pada karya-karya S. Sudjojono, beliau
beranggapan bahwa “…sejarah bukanlah entitas ruang-waktu-peristiwa yang
dibekukan (semata) dan kita maknai hari ini. Sejarah itu ibarat meniti jalanan
setipis rambut dibelah tujuh (tingkat kesulitannya)”.
Dari pernyataan yang penuh gairah itu, sebenarnya kita diajak untuk bangkit
bersama agar terus membangun seni rupa kita sebagai salah satu faktor penentu
identitas bangsa. Maka, jika kita beranggapan seni rupa baru-baru ini seakan
mau berhenti di situ-situ saja (Akhir Seni?), menurut saya pernyataan itu
bukanlah penutup dari wacana seni rupa kali ini melainkan sebuah gugatan yang
muncul atas respon terhadap keadaan transisi yang hinggap pada puncak-puncak
perubahan seni di garda depan, bukan karena seni secara eksplisit akan “bubar”.
Begitu pentingnya pemahaman seorang praktisi seni terhadap sejarah ini,
karena lambat laun akan menentukan laju kembangnya wacana seni itu sendiri,
bahkan dapat menentukan porsi benda seni pada tatanan kesejahteraan ekonomi
sekalipun. Sejalan dengan itu, meskipun terbatasi secara tipis antara porsi
kesejarahan di dalam kekaryaan, tapi tetap saja para praktisi seni terutama
seniman tidaklah harus menjadi sejarawan karena yang menjadi entitasnya
bukanlah suatu keharusan dalam pengkajian sistematis terhadap artefak yang
sudah ada melainkan menjadikan informasi-informasi dari artefak tersebut untuk
kepentingan gagasan baru yang nanti tertuang dalam karyanya.
Penelusuran terhadap sejarah tersebut dapat dipandang sebagai upaya
membuka pintu gerbang penelaahan sebab dan akibat dari peristiwa budaya dan
nilai-nilai karya seni yang di kandungnya sehingga dengan menjalankan semua itu
dengan benar maka sudah menjadi syarat pertama yang terpenuhi dari terciptanya
argumen atau apresiasi seni secara verbal.
Secara singkat, kita dapat merunut kembali juga arti dari sejarah itu
di bidang ilmu pengetahuannya sendiri, maka bentuk sejarah yang mudah di kenali
merupakan bidang ilmu yang khusus yang memerlukan syarat-syarat penerimaan
masyarakat karena berhubungan dengan hakikat diri dan lingkungannya di masa
lalu. Sejarah dibuat oleh ‘tim’ sejarawan yang memang dibekali dengan cara-cara
menyusun kesejarahannya untuk menghasilkan berbagai macam ketepatan informasi.
Akhir dari kegiatan para sejarahwan tersebut kelak menjadi produk sejarah.
Dalam penciptaan produk sejarah ini tentunya juga membutuhkan persetujuan sosok
majikan yang berkuasa ditingkat kebijakan di dalam penyerbarluasannya di
masyarakat. Pada tingkatan ini tak jarang banyak aspek, tokoh, waktu, skenario
sejarah, dll, yang dipilah dan tidak terpublikasikan.
Sejarah dalam pengertian lain juga merupakan haluan dari apa-apa yang
menjadi orientasi ilmu sosial saat ini untuk kedepannya. Istilah “ekskavasi
arkeologis” merupakan salah satu cara untuk memindai hubungan antara tokoh
sejarah dalam pencapaian-pencapaiannya dengan benda materil di samping adanya
teknik restorasi, dan ini membutuhkan keahlian khusus.
Sejarawan ataupun pelaku sejarah dalam masa proses kesejarahan yang
hidup dalam waktu yang sama dapat pula berkolaborasi untuk menciptakan produk
sejarah untuk masa depan kelak. Ini merupakan konsekwensi logis yang menjadi
tantangan itu sekaligus sebuah harapan bahwa nantinya akan ada orang-orang yang
mau berkolaborasi mengolah peluang tersebut dan mampu menempatkan diri sebagai
para pelopor sejarah seni rupa Indonesia.
Namun, sejarah juga bukanlah kebenaran absolut yang menjadi landasan
untuk pemrakarsaan karya manusia dimasa depan, dia merupakan rekaman memori
yang menitikberatkan pada artefak dan tokoh dari peristiwa masa lalu, bukan
suatu rumusan dalam pemprakarsaan karya saat ini, khususnya karya seni rupa.
Keadaan ini berbeda dengan konsep-konsep implementasinya. Misalkan, di dunia
teknik yang berpotensi untuk itu terdapat pada ranah perencanaan dan statistika
sedangkan dunia seni rupa sendiri tepatnya berada pada saintifikasi keindahan
atau estetika meskipun masing-masing itu memiliki porsi sejarah sebagai referensinya.
Dari hasil pemprakarsaan karya seni itulah bahan-bahan “kritikisme”
biasanya lebih banyak ditemukan. Persoalan ini menjadi menarik bagi penulis,
karena saat ini telah terdapat cara pandang lain yang disuguhkan menjadi bahan
kritik seni rupa, yaitu kritik arkeologi seni rupa sebagai ranah baru
argumentasi yang sangat rentan.
Mungkin akan lebih baik jika para pemikir seni dewasa ini sedikit
melirik perubahan yang sedang terjadi. Khususnya dalam jangkar pembahasan yang
relevan yaitu; pertama sebagai tolak ukur kajian ilmiah seni rupa yang tengah
berjalan, kedua sebagai isu tekanan sistemik yang sejajar dengan keadaan ranah
kesenimanan di ‘garda depan’ yang melatar belakangi wajah diskursus seni rupa
Indonesia saat ini, dan yang ketiga sebagai proposal yang patut untuk
dipertimbangkan urgensinya.
Dari sekian banyak hal yang dapat kita analisa bersama dari sebuah
peristiwa kesenian, setidaknya dari dua bahan wacana itu saja yaitu peristiwa
dan sejarah, sedikitnya kita akan cukup memahami arti pentingnya sebuah pameran
seni rupa. Apakah peristiwa seni yang terjadi tersebut berhubungan dengan
sejarah seni rupa itu sendiri? Apakah peristiwa tersebut merupakan benih
sejarah yang kelak akan disebut-sebut oleh generasi kita mendatang? Atau,
apakah di masa seni rupa kontemporer ini, peristiwa tersebut hanya akan menjadi
‘boomerang’ bagi praktisi seni rupa hari ini?
Hari ini, mungkin seorang kritikus haruslah juga seorang arkeolog seni
rupa dan jika memang demikian maka, tantangan hebat menanti di persimpangan
jalan bagi para pemikir seni rupa di Indonesia. Pernyataan kuratorial dalam
pameran di Galeri Soemadja kali ini sudah memberikan sinyal kepada kita akan
pergeseran bentuk wacana dan penambahan bahan dalam pewacanaannya. Sehingga
upaya menjembatani antara publik seni khususnya non akademisi dan wacana yang
muncul ke permukaan haruslah dicairkan dengan model apresiasi kritik yang
tepat. Kita semua sadar, jika kritik seni rupa ini terus dikembangkan maka
medan sosial seni rupa Indonesia akan menjadi lebih baik lagi karena akan terus
terjadi komparasi yang saling melengkapi, meluruskan dan mengembangkan
pewacanaan seni rupa hari ini untuk ke depannya. Dan saya kira, pameran S.
Sudjojono saat ini merupakan format peristiwa yang mewadahi kemunculan
peristiwa baru itu.
Melihat Kembali S. Sudjojono
Mari kita lihat kembali pameran karya S. Sudjojono kali ini, dan
membandingkan dengan tulisan ini. Memang akan terjadi keanehan dalam pemikiran
kita, adanya suatu kegelisahan dalam pemikiran. Anda sekarang mendapatkan
“boom” dengan seribu pertanyaan terhadap Pameran “Kita dan Dia, S. Sudjojono
dalam Arsip“ yang sedang diselenggarakan di Galeri Soemardja ITB (27 Januari –
21 Februari 2014) terhadap nuansa medan sosial seni rupa di Bandung kali ini.
Saya kira, bagi para pengunjung yang sudah menyaksikan, sedikitnya akan
mendapatkan kesan bahwa pameran ini merupakan sebuah review dari peristiwa
bersejarah sekaligus penciptaan kesejarahan yang nyata dan sedang terjadi.
Hal itu ditandai karena adanya karya-karya S. Sudjojono yang rapi
terpajang di dinding sebagai artefak seni yang bernilai, baik lukisan, sulaman
ataupun sketsa. Lalu, adanya para pengunjung yang hadir menikmati karya-karya
tersebut baik dari golongan angkatan kedua setelah S. Sudjojono era angkatan
tahun 40-60an maupun generasi saat ini. Kita juga akan mendapatkan bonus wacana
dari sang kurator sebagai panelis pameran yang menggariskan situasi bahwa saat
itu sedang terjadi “kontradiksi kesejarahan” beliau menuliskan di dalam essay
katalog pembukaan pameran bahwa; “Pameran ini kontradiktif. Di satu sisi dia
menampilkan serangkaian wewenang, legitimasi ketokohan S. Sudjojono melalui
arsip; lalu di sisi lain memancing munculnya pertanyaan-pertanyaan yang
berseberangan, terutama sekali dari arah yang tidak diakui, yang saling tumpang
tindih dan berjalinan rumit “.
Pernyataan di atas tampaknya memang sengaja menarik nalar kita untuk
mengakui, bahwa pameran ini penting untuk dihadirkan berikut berbagai kemelut
dalam masing-masing persoalannya, antara tokoh dan karyanya, khususnya
berkaitan dengan intrik-intrik sejarah seni rupa yang terjadi pada masa-masa
retorika seni Trisno Sumardjo terhadap S. Sudjojono sekitar tahun 50an sampai
saat ini. Pembahasan tentang ini, tentunya akan hadir dalam event diskursus
selanjutnya dalam pameran tersebut.
Fakta lain menunjukan bahwa karya-karya tersebut memang telah dikaji
dengan pendekatan sistematis dan langsung berhadapan dengan para pelakunya atau
orang-orang yang memiliki hubungan dengan artefak tersebut oleh Tim Kurator Galeri.
Namun, tentu saja tidak semua publik dapat mengakses pemahaman itu secara lebih
terperinci karena berbagai macam alasan yang logis.
“Pengalaman menelusuri, mendasari kepuasan dan keingintahuan kita dalam
mengapresiasi karya seni rupa”
Saat itu, para pengunjung yang hadir dalam pembukaan pameran di Galeri
Soemardja seolah-olah sedang diajak berdialog dengan berbagai instrumen sejarah
seni rupa yang diwakilkan dengan kehadiran berbagai tipe karya S. Sudjojonodi
di ruang itu, tulisan yang sangat pribadi milik beliau serta
pencapaian-pencapaian naskah akademik miliknya baik yang berbentuk buku-buku
yang sudah tua dan tak ketinggalan juga pendapat-pendapat orang tentang
dirinya, format pameran seperti ini sudah biasa terjadi jika mengedepankan
porsi para pelaku sejarah seni rupa yang sudah “diakui” dan “dipercayai”.
Selanjutnya, kita sebagai penikmat seakan diajak untuk menembus dimensi
ruang dan waktu secara langsung dengan mengapresiasi karya-karya S. Sudjojono
sekaligus mencipta kesejarahan seni rupa itu sendiri dengan media penokohan S.
Sudjojono sebagai pemicu peristiwa itu. Keadaan itu menegaskan bahwa ada
sesuatu yang spesial dengan sosok S. Sudjonono dibandingkan dengan para pelaku
sejarah seni rupa lainnya karena wacana yang di-‘cetak’ sebagai tulisan kurasi
di katalog terhadap tokoh dan karya adalah justru persoalan suatu "memori" yang
seakan masih disalahartikan oleh kita semua, mungkin tentang suatu kekhilafan
kita akan keadaan seni rupa saat ini.
Di dalam pembukaan pameran itu khusunya, kita dapat melihat adanya
sepercik harapan akan kesesuaian maksud terhadap penggambaran “Kontradiksi
Kesejarahan” ini, yang kiranya terdapat hubungan yang penting dalam
perkembangan seni rupa Indonesia, yang tak lain adalah sebuah upaya penyadaran
akan visi kecintaan kita pada profesi sebagai praktisi seni rupa Indonesia.
Selain itu, ini adalah salah satu upaya pendekatan aktual antara sejarah seni
rupa beserta pelaku dan artefaknya dengan generasi penerusnya. “Hoger, hoger,
hoger, top“ merupakan judul karya yang memungkinkan kita untuk memasuki
pemaknaan ruang wacana di atas, dan hal tersebut merupakan suatu misi yang
sangat mulia.
Namun, terkadang khalayak ramai senang menafsirkan yang lain, bahkan
kebanyakan hanya ingin bernaung dalam format memori yang sudah ada. Tidak mau
lagi mengkritisi asal-usulnya sendiri, meskipun yang demikian itu tidak banyak
mendatangkan faedahnya. Penulis menganggap bahwa, hal ini adalah persoalan yang
laten dan sensitif.
Hanya satu jalan yang menjadi pengecualiannya yaitu, dengan mau duduk
berhadapan mencari kebenaran sejati dari peristiwa-peristiwa kesenian yang
terjadi. Minimal dalam hal merevisi apa yang salah dan menambahkan apa-apa yang
kurang dalam perkembangan seni rupa baru-baru ini. Setidaknya, itulah kesadaran
yang diharapkan muncul dari para pengunjung berlabel akademisi seni rupa.
Kritik terhadap pameran ini adalah penting, karena dilihat dari
berbagai aspek. Seperti, selain terbukanya ranah penafsiran juga munculnya
‘gagasan injeksi’ metoda-metoda arkeologis dalam pembahasan karya-karya seni
rupa yang merupakan cikal bakal komunikasi pewacanaan seni rupa masa depan.
Kurasi memberitakan suatu urgensi terhadap pembenahan keadaan medan sosial seni
rupa saat ini, yang tengah mengalami kondisi “opname” dari keadaan kritis
berkepanjangan di era kontemporer. Kondisi ini menentukan dan berdampak besar
bagi perkembangan seni rupa ke depannya khususnya di Indonesia.
Penulis berupaya mengemukakan semua hal yang menjadi penting dalam
peristiwa dan wacana pameran di atas, namun gubahan ini juga perlu untuk
dibatasi, sehingga kritik ini bermuara pada 2 pertanyaan yang mewakili khalayak
ramai, yaitu; 1. Apakah metodologi kesejarahan cukup dan layak menjadi
satu-satunya acuan dalam melegitimasi kepeloporan yang terjadi di dalam
paradigma seni rupa di Indonesia hari ini? Padahal untuk menjadi generasi
pelopor sejarah seni rupa selanjutnya setelah kasus S. Sudjojono saat ini
sangatlah terbuka lebar karena pesatnya perkembangan sistem informasi dan
komunikasi. Kita semua tahu, bahwa sekarang semua orang dapat menjadi “dalang”
dalam waktu singkat. 2. Apakah kasus S. Sudjojono dapat menjadi contoh efektif
bagi seniman-seniman kontemporer yang ada saat ini? Pertanyaan kedua ini
bersifat fenomenologi dimana fakta dan prinsip-prinsip kesenimanan yang
berkembang saat ini justru berafiliasi dengan pakem ‘ego’ yang sensitif.
Saya kira, pertanyaan-pertanyaan di atas dengan sendirinya dapat
menjadi kesimpulan bahwa saat ini sedang terjadi peristiwa penyilangan metoda
kesejarahan dalam menganalisa artefak seni untuk tujuan khusus dalam bingkai
seni rupa Bandung.
Sosok dan karya-karya S. Sudjojono memang perlu untuk dikaji kembali
secara lebih mendalam, khususnya untuk pembenahan keilmuan seni rupa di
Bandung. Mungkin akan ada perspektif atau kritik lain yang muncul dari
orang-orang yang mau mengkajinya. S. Sudjojono adalah seniman besar? Saya kira,
jawabannya adalah: ya! selain itu, beliau juga dikelilingi oleh orang-orang
besar.
Mungkin, tentang semua itulah maksud dari keadaan kontradiksi kesejarahan
seni rupa kita dalam representasi S. Sudjojono di Galeri Soemardja itu. Suatu
gambaran hidup seperti karya-karya S. Sudjojono yang menuangkan kalimat
bijaknya kepada kita atas pengalaman-pengalaman kesenimanan beliau semasa
hidup.
Kita boleh bertanya: Apakah benar “My Only Love…Mia “? Untuk itu,
pameran “Kita dan Dia”, S. Sudjono dalam Arsip” kali ini merupakan peristiwa
yang sangatlah menarik untuk diamati dan mengasyikan untuk disaksikan bersama.
***
Referensi:
- Mostavan, Aman dkk, Aura Biru: Catatan Para Pelaku Sejarah ITB, ISBN:978-979-1344-85-2, Bandung 2010
- Rita L, Atkinson dkk, Pengantar Psikologi, Edisi Kesebelas, Jilid dua, Stanford University
- Edward W Said, Culture and Imperialism, Chatto & Windus Ltd, London 1993
- Rizky A Zaelani, Seni Rupa Kontemporer: ‘Akhir Seni’?, Media Komunikasi Galeri Nasional, Edisi kedua, Jakarta 2013
- Aminudin TH Siregar, Kita Dan Dia: S. Sudjojono Dalam Arsip, katalog Galeri Soemardja ITB, Bandung 2013
Sumber Gambar: Koleksi Sukarno
Untuk Bacaan Lebih Lanjut: Tulisan yang terkait
(1) Tentang Sejarah baca: Tirani Sejarah Nasional oleh Mestika Zed.(2) Tentang Emosi Seniman baca: Naluri dan instink dalam Seni oleh Nasbahry Couto
(3) Tentang Mashab Bandung: Budaya Visual oleh Agus Sachari
(4) Tentang Seni Indonesia oleh Dharsono